Sekitar sepuluh tahun sejak awal operator seluler GSM beroperasi di Indonesia, antara pertengahan tahun 90an sampai tahun 2010. Kawan-kawan seangkatan di kampus Politeknik Negeri jurusan Listrik dan Elektronika yang memilih berwirausaha, panen proyek dari para operator selular. Mulai dari proyek studi teknis dan sosial pemilihan lokasi menara, pembebasan lahan, pembangunan menara-menara pemancar dan distribusi, menara utama, menara penghubung, modul-modul radio, antena distribusi dan backbone, jaringan listrik, hingga baterai dan generator listrik cadangan. Kami yang terlibat langsung dalam beberapa proyek, terkagum-kagum dengan rumitnya antisipasi rancangan induk maupun rancangan setiap menara milik semua operator selular. Sampai burung yang suka membuat sarang dalam sudut-sudut gelap gardu, dalam kotak panel radio dan panel listrik telah mereka antisipasi. Apalagi sebesar hal-hal tidak diharapkan seperti banjir, gempa, dan pemadaman listrik dalam jangka waktu lama.
Suatu pagi seorang kawan yang baru saja kami kenalkan dengan kepala Divisi Perlengkapan operator GSM si Kuning, yang kebetulan bertetangga dengan kami di Makassar, mendadak berkunjung. Kantung matanya bergelayut tanda semalaman belum tidur. Katanya malam tadi ada kejadian luar biasa, karena teleponnya tidak kami jawab, terpaksa berangkat sendiri.
Pukul satu malam tadi, dia ditelepon tetangga kami yang baru ia kenal tiga hari lalu. Menara induk jaringan telepon seluler milik perusahaannya yang belum lama mulai beroperasi, setiap dua jam kehilangan daya listrik. Baterai sumber tenaga listrik cadangan memang bisa menyuplai daya hingga enam jam untuk seluruh perangkat di menara jika kehilangan daya listrik dari PLN, masalahnya sedang tidak ada pemadaman tapi panel listrik otomatis memutuskan suplai tiap dua jam. Setiap menara dirancang mandiri, mustahil menaruh satu pegawai di sana hanya untuk menaikkan ‘circuit breaker’ setiap dua jam sekali. “Tolong selesaikan masalah ini Pak, atau saya dan seluruh jajaran pimpinan di Makassar besok menerima surat mutasi ke pedalaman Papua. Ini kesempatan Bapak mencatatkan perusahaan Bapak sebagai rekanan terpercaya, yang baru saya daftarkan ke pusat data sebagai perusahaan calon rekanan. Semua biaya, berapapun akan diganti esok pagi.” Kata tetangga kami padanya.
Setahun di atasku, mengambil jurusan Listrik Arus Kuat sedangkan kami di Elektronika Arus Lemah, langsung mengiyakan, kapan lagi mendapat jalan pintas untuk kredibilitas perusahaannya, ketimbang harus pernah menjadi rekanan lima proyek tanpa masalah terlebih dahulu. Di lokasi yang dimaksud sudah berkumpul jajaran direksi yang membawahi jaringan seluler di pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua, lengkap dengan teknisi terahli yang mereka punya. Semuanya sudah menyerah mencari sumber permasalahan, memandang kedatangannya penuh harap bak melihat juru selamat. Kawan kami bermodalkan pisau lipat serbaguna dari salah satu koleksinya, dan pengetahuan utuh tentang karakter arus listrik, tidak membutuhkan waktu lama menyimpulkan ada arus bocor yang memicu pengaman memutuskan suplai daya. Kebocoran kecil, yang membutuhkan waktu dua jam memenuhi kuota batas tidak aman pemutus sirkuit. Dibantu teknisi perusahaan dia mulai memeriksa seluruh jaringan suplai dan distribusi. Ketemu, bukan pada jaringan yang menyalurkan tegangan fasa, tapi pada jaringan netral dan pentanahan. Perusahaan yang membangun modul suplai listrik, menanam arde pentanahan terlalu dekat dengan gardu induk, bocor melalui tanah di Sulawesi yang banyak mengandung besi dan induksi melalui udara yang lembab di malam hari. Masalah selesai dengan membuat arde pentanahan baru di tempat yang lebih jauh, selesai sampai subuh.
Awal tahun dua ribu sudah sedemikian taktis perusahaan seluler mengantisipasi kesiapan prosedur standar antisipasi kejadian tidak diharapkan, lengkap dengan sanksi bila gagal.
Kisah kesigapan operator seluler memulihkan jaringannya kembali teringat. Ketika listrik padam serentak sekitar tujuh jam kemarin (Minggu, 4/8) di Jakarta, Banten, Bandung, dan sebagian Jawa Tengah. Ponsel kami lima menit setelah listrik padam mulai menurunkan kualitas sinyalnya, dari 4G, 3G, GPRS, GSM, kemudian hilang sama sekali. Bukan enam jam lagi seperti awal tahun dua ribu. Lima jam kemudian, satu operator pulih, si merah, operator lain masih tepar sampai listrik kembali menyala pukul tujuh malam di Jakarta Pusat. Apa lagi jaringan telepon kabel di rumah-rumah yang kini beralih ke kabel serat kaca, juga menggantungkan operasionalnya pada suplai listrik lebih dulu padam.
Banyak sebab teknis mengapa tak sesigap dulu, bisa saja pengelolaan dan perawatan menara-menara seluler kini telah dipihakketigakan seperti rencana dahulu yang kami ketahui, dan pihak ketiga belum sesigap operator. Tapi yang lebih mengkhawatirkan, jika tidak ada lagi antisipasi terhadap kemungkinan kegagalan prosedur standar antisipasi. Kembali ke habit lama, lena dan santai.