Kemarin menemukan buku langka. Fotokopian tulisan yang diketik dengan mesin ketik konvensional. Nama penulisnya A.A. Punagi, diterbitkan (diperbanyak dengan mesin fotokopi tepatnya) oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di tahun 1983.
Dua buku karya penulis terdaftar di katalog perpustakaan nasional Australia. Buku langka karena sulit menemukan orang yang mau berbaik hati menerjemahkan huruf lontar dari serat lontar arsip kerajaan Gowa, Bone dan kerajaan lain di Sulawesi Selatan ke huruf latin, lengkap dengan terjemahan dan tafsiran oleh penulisnya.
Sampai artikel ini ditulis, telah membaca ulang buku tersebut hingga dua kali dan masih memberikan kesan yang sama, sejarah memang berulang. Pesan-pesan dalam Uluade atau Ulukanayya masih aktual di masa sekarang, utamanya tentang pemimpin dan rakyat dalam sebuah bangsa dan kerajaan.
Tentang Pemimpin
Bukunya di beri judul “Uluada”. Uluada terdiri dari dua kata, “Ulu” yang berarti utama, kepala, adiluhung, “Ada” atau ade’ berarti kata, yang pernah diikrarkan atau dikatakan. “Uluada” dalam bahasa Makassar disebut “Ulukanayya” makna dan artinya sama dengan Uluada dalam bahasa Bugis atau Bone.
Uluada umumnya tidak dituliskan, orang-orang terdahulu benar-benar meletakkan kehormatan diri, keluarga dan kaumnya pada lisan. Setiap ucapan yang dianggap sebagai “Uluada” kalaupun dicatat dalam lontar, bukan sebagai bukti yang berkekuatan hukum seperti di jaman sekarang, melainkan sekedar arsip oleh pihak-pihak yang mengikrarkan “Uluada”.
Uluada yang telah diikrarkan otomatis menjadi aturan dan hukum yang mengikat, untuk ikatan yang sifatnya penting, seperti perjanjian damai antara kerajaan Bone dan Gowa diikuti dengan sumpah siap menanggung sanksi berat bila melanggar kesepakatan ikrar Uluada.
Ulukanayya atau Uluada yang terkenal antara kerajaan Bone dan kerajaan Gowa, adalah “ULUKANAYA (ULUADE) RI TAMALATE”, antara raja Gowa yang bergelar “TUMAPARISI KALLONNA” Raja Gowa ke IX (arti gelarnya: raja yang lehernya sakit) dengan “LA ULIYO BOTE’E”, Raja Bone ke VI. Ulukana ini diikrarkan sekitar abad XVI, sesuai dengan masa bertakhta La Uliyo Bote’E (1543 – 1568 Masehi).
Isi Uluade-nya sungguh mulia, jauh dari bayangan kelak Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin bisa berseteru diadu kolonial Belanda. Dalam bahasa Bugis sebagai berikut: “Narekka engka perikna Bone, Maddaungngi tasie naola Mangkase, Narekko engka perikna Gowa, makkumpellek buleu naola to Bone.”
Artinya oleh A.A. Punagi: “Sekiranya orang Bone mengalami kesukaran maka membentang luaslah lautan itu diarungi orang Makassar menuju Bone untuk membantu, dan sekiranya orang Makassar mengalami kesukaran, maka ratalah gunung-gunung dilalui orang Bone menuju Makassar untuk membantu.”
Ulukanayya Ri Tamalate terdiri dari empat butir, butir terakhir ditutup dengan sanksi yang akan diterima oleh kedua kerajaan dan keturunannya jika melanggar perjanjian perdamaian yang telah disepakati, dalam bahasa Bugis ditulis: “Nigi-nigi temmarengngerang ri ada torioloe, mareppai urikku kurinna, lowak-lowakna. Padai itello ri addampessangnge ri batue tanana.”
“Barangsiapa yang tidak mengindahkan akan perkataan (ikrar, uluade, ulukana) orang-orang terdahulu, maka pecah berantakanlah periuk-belanganya, negerinya mengalami kehancuran bagaikan sebutir telur yang dihempaskan ke atas batu.”
Uluade di atas gambaran bagaimana raja-raja terdahulu membangun tata negara, sistem pemerintahan dan sistem kemasyarakatan hanya dengan lisan atau ucapan yang menjadi undang-undang, pemimpin menjaga lurusnya niat sejak dari dalam hati, hingga terucap dan menjadi laku. Ucapan raja menjadi hukum tak tertulis juga dikenal di kesultanan Yogyakarta dan kerajaan Inggris Raya.
Monarkis di kerajaan Bone dan Gowa berdasarkan permusyawaratan, tidak murni turun dari bapak ke anak, dan tidak membuka kesempatan seluas yang diberikan oleh sistem demokrasi, yang memungkinkan semua orang yang memiliki hak dipilih untuk diamanahi tanggung jawab memimpin.
Keturunan bangsawan tidak serta merta mewarisi tahta, masih ada para patih dan arif yang mewakili rakyat akan menentukan siapa dari keturunan dan kerabat sang raja yang akan diangkat menjadi raja berikutnya, berdasarkan kompetensi atau kecakapan.
Sistem demokrasi bukan sistem yang buruk, seandainya terpisah antara tugas kepemimpinan dan tugas kepemerintahan atau administratur. Kekuatan modal yang mau diakui atau tidak, telah menjadi faktor penentu kemenangan dalam pesta demokrasi, memungkinkan pemilik modal menaruh pion yang akan mewakili kepentingannya dalam sebuah sistem kenegaraan atau kekuasaan.
Namun bila terpisah antara tugas memimpin dan tugas administratur, kendali pemerintahan masih bisa diharapkan berpihak pada pemilik suara atau rakyat, bukan pada pemilik modal, minimal berimbang dengan adanya pemimpin negara di samping pemimpin pemerintahan.
Sementara dalam sistem kerajaan kekuatan modal tak serta merta mampu membeli keterpihakan kebijakan istana hanya dengan mengirim upeti kepada seorang raja, selain kekuatan modal terbesar biasanya juga milik istana, bukan pihak luar.
Tergabungnya amanah dan tanggung jawab antara pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan bukan mustahil mampu dilakukan oleh seseorang yang terpilih melalui sistem demokrasi. Walau dari yang sudah-sudah, masih terjadi tumpang tindih menjalankan dua amanah sekaligus dan dibuat sibuk oleh pemilik modal yang ikut berperan dalam kemenangannya saat pemilihan, mengabaikan pemberi amanah sesungguhnya, para rakyat.
Bila terpisah antara pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan, keriuhan opera sabun dan intrik kekuatan-kekuatan politik tidak akan mengganggu program dan sistem pemerintahan yang dibentuk dari, demi dan untuk rakyat.
Kalaupun tetap menjadi satu kepemimpinan dan sistem, maka sebaiknya para politikus mulai menyadari diri, penjahatnya bukanlah mereka yang berbeda partai, ideologi atau agama yang masih bangsa sendiri, tetapi diri mereka sendiri yang ‘mau’ mengambil tanggung jawan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan untuk masyarakat dan rakyat banyak, yang masih jauh untuk bisa disebut tercapai.
Mengartikan kembali melawan bangsa sendiri bukan melawan orangnya, tapi melawan dengan membuka ruang dialog terhadap sudut pandang, cita-cita, dan ideologi, bagaimana mencapai tujuan bersama. Melawan bangsa sendiri seperti melawan keburukan diri sendiri. Memperbaiki kebiasaan buruk tidak harus sampai memotong anggota tubuh sendiri. Berarti bersama-sama menyingkirkan penghalang dan mengobati penyakit yang membuat bangsa ini terus terpuruk.
Tentang Rakyat
Enaknya menjadi rakyat atau raja sesungguhnya, rakyat tidak pernah salah. Bila sebuah negeri sengsara, rakyat tidak akan disalahkan, mesti kesalahan para pemimpin atau rajanya, padahal para pemimpin adalah gambaran rakyat mereka yang pimpin.
Tidak demikian yang tertulis dalam Uluade, dimana rakyat dan pemimpin di masa lalu saling bergantian menjadi cahaya dan bayangan. Rakyat dan pemimpin tidak ada yang manja dan dimanjakan, tidak ada yang sambat dan berpangku tangan.
Kondisi tersebut tergambar dari Ulukana antara ‘Tomanurung’ atau yang diyakini mengemban amanah dari langit untuk menjadi raja dengan Kasuwiyang Salapanga (patih yang berjumlah sembilan orang) yang mewakili rakyat jelata, saat menemui Tomanurung untuk membawa hasil mufakat mereka, siapa yang akan diangkat menjadi raja.
“Bertahtalah engkau, dan kami para patih beserta rakyat tunduk dan patuh. Kalau kami menjunjung maka kami tidak memikul; kalau kami memikul maka kami tidak menjunjung.”
Penulis A.A. Punagi menafsirkan ikrar tersebut sebagai tuntutan para patih yang mewakili rakyat, agar tomanurung yang telah diangkat menjadi raja, harus berlaku adil.
Ada nuansa lebih luas yang terbawa dengan kondisi aktual saat ini pada dua kata kerja yang digunakan oleh sembilan patih yang saling menjadi syarat, “menjunjung” dan “memikul” saat mereka berikrar mewakili rakyat.
Sesuatu yang dijunjung tinggi, pastilah sesuatu yang dipuja. Sedangkan sesuatu yang dipikul, mesti sesuatu yang berat atau membebani.
Kondisi kontras tergambar pada dua keadaan tersebut. Ketika rakyat menjunjung tentu masalah kesejahteraan telah selesai diatur oleh sang raja, namun saat rakyat memikul, ada masalah dengan keadilan dan kesejahteraan yang dikelola oleh sang raja dan mereka siap membantu.
Menggelitik pikiran, mengapa patih yang sembilan tidak menggunakan kalimat: “Bila kami tidak menjunjung, maka kami akan mengeritik, memaki dan merundung (bully).”
Rakyat di masa lalu jauh lebih arif menghadapi permasalahan bangsanya. Mereka memilih memikul menyelesaikan beban bersama agar mampu menjunjung raja dan bangsa mereka dengan kesejahteraan, keadilan, dan kejayaan, ketimbang menjadi oportunistis dan pragmatis di daerah abu-abu antara “menjunjung” dan “memikul”. Kondisi yang jamak saat ini.
Terkagum bagaimana ‘chemistry’ dan semangat para raja dan rakyat di masa lalu bisa menyatu sedemikian kuat hanya dengan Uluade atau Ulukana, dengan saling mempercayai lisan.
Jauh sebelum proklamator Soekarno menyebut perjuangan penerusnya lebih berat karena harus melawan bangsa sendiri, mereka telah selesai memaknai melawan bangsa sendiri bukan person, bukan pembawa pesan, tapi menyelesaikan masalah dalam tubuh diri, golongan, partai, dan bangsa sendiri.