Awalnya kami mengira tante Ras masih keluarga jauh bapak, karena nama tengah yang sama-sama ‘Ras’. Ternyata tidak ada hubungan darah sama sekali. Beliau lahir 14 Februari 1935 di Bulukumba, wafat 19 Januari 2023.
Keakraban bapak dengan Almarhumah sudah dimulai sejak sama-sama berkuliah di Yogyakarta, tante Ras senior bapak, sementara om Amir suaminya, junior bapak.
Ketika sama-sama mengabdi di IAIN Alauddin, mendiang dan bapak masih mengikuti hirarki angkatan semasa kuliah. Setiap tanggung jawab yang mendiang lepas karena menerima tanggung jawab lebih besar, bapak yang melanjutkan, itu berlangsung sampai keduanya pensiun.
Dari sekian banyak sahabat perempuan bapak, yang berhasil membuat mendiang Ibu tidak cemburu hanya tante Ras.
Hubungan persahabatan antara tante Ras dengan bapak membuat kami yakin kalau cinta tidak sesempit lagu-lagu sentimentil dan novel roman, harus bersama atau patah hati tidak terobati.
Cinta dalam persahabatan mereka kami bangga-banggakan ke kawan-kawan sejak SMA. Menjadi bahan obrolan tengah malam dalam rimba saat mendaki, bahkan sampai sekarang. Cinta terasa asyik ketika menjadi sebab dan tujuan berteman. Mencintai karena dorongan seksual dan keinginan memiliki, membuat cinta menjelma penjara. Tidak membebaskan. Membuat kami kelabakan ketika mengenal cinta kepada lawan jenis. Apa yang kami pakai berteman dan bersahabat ternyata itu juga yang dipakai sepasang kekasih.
Perkataan mendiang yang menjadi judul esai ini, kami ingat sampai sekarang. Ketika itu masih kelas V sekolah dasar, mendiang dengan suami dan sopirnya tiba-tiba mampir ke rumah sebelum berangkat ke kantor, memeriksa apakah bapak sudah membelikan kami anak-anaknya seperangkat komputer atau belum.
“Belum sempat ke toko komputer,” jawab bapak.
“Nanti di kantor saya minta pemasok komputer di kampus mengirim satu set komputer pribadi ke sini. Kwitansi saya taruh di meja Bapak untuk diselesaikan.”
Jadilah hari itu kami memiliki seperangkat personal komputer. Mulai dari kelas prosesor XT-086 dan printer dot-matrix, berusaha kami upgrade sesuai perkembangan sampai sekelas Pentium 4, sebelum akhirnya komputer jinjing terjangkau. Andai mendiang tidak memaksa bapak agar membeli komputer, kami belum bisa membayangkan takdir kami hari ini.
Ketika bapak dan ibu sering membawa kami sekeluarga saling bersilaturahmi ke rumah koleganya, belum cukup kosa kata apa lagi pengetahuan untuk ikut dalam perbincangan mereka yang selalu terasa hangat. Terlebih semasa SD sampai kelas I SMP kami harus berjuang melawan kecemasan saat harus bertemu dengan orang yang belum kami kenal.
Kami tidak seakrab kakak-kakak di rumah dengan Almarhumah Prof. Rasdiyanah Amir, tante Ras (demikian kami biasa memanggilnya) atau suaminya om Amir, dan putra-putri mendiang.
Semasa kanak-kanak, hampir semua kolega bapak semasa mengabdi sebagai dosen di IAIN (sekarang UIN) tidak akrab dengan kami yang lebih suka mengurung diri dalam kamar saat ada tamu. Nanti setelah remaja dan berhasil mengatasi kecemasan bertemu orang-orang baru, beberapa putra dan putri kolega bapak semasa mengajar satu persatu mulai akrab dengan kami. Adi Iktimal putra pak Umar Shihab, putra pak Saleh Putuhena, sampai pernah jatuh cinta dengan putri pak Quraish Shihab, qadarullah kami tidak berjodoh. Ketika kami mulai akrab dengan dunia kesenian di Makassar, ternyata tante Ras juga banyak menulis karya sastra, dari persahabatan bapak dan koleganya kami banyak belajar tentang silaturrahim.
Selamat jalan tante Ras. Kami bersyukur dan berterima kasih pernah melihat, pernah ikut merasakan hangatnya persahabatan dengan bapak. Tanpa itu kami tidak mengenal jenis cinta yang sedemikian indah antar kolega, antar manusia tanpa lampiran kepentingan dan keharusan.
Tourist ke daerah operasi di perbentengan pandang–pandang/ pengabdian di lereng–lereng bukit misteri/ menggotong bara dan lava dari djantung/ berdenjutkan tjinta mas/ mati atau menang/ sjukur atau kufur/ dua titian/ dua djalan kau rintis sjuhada-sjuhada/ atau hidup mulia karena tjinta/ karena kekasih dan kemanusiaan/ di atas bukit munadjat abadikan nama kekasih/ djandjiNya bersyarat: Tjintamu jang melandasi budi tachmid akan menumbuh tjendawan//
Kutipan puisi dari buku refleksi 75 tahun Prof Dr Hj Rasdiyanah. Puisi tersebut ditulis Professor Andi Rasdiyanah pada bulan Desember 1957. Ketika mahasiswi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dimuat majalah Panji Masyarakat nomor 28 tanggal 1 Agustus 1960.
Innalilahi wa Inna ilaihi raji’un.