Usai sudah drama penyanderaan, dan proses hukum harus berlangsung. Mereka yang terbukti membunuh dan merusuh tetap dihukum sesuai hukum yang berlaku.
Salut, polisi mengedepankan penegakan hukum dengan memberi kesempatan para narapidana kasus terorisme menyerahkan diri, ketimbang langsung masuk menyerbu para narapidana terorisme, yang selama hampir 30 jam menguasai 3 blok rumah tahanan cabang Salemba yang berada di dalam markas Brimob Kelapa Dua Depok.
Warganet seperti biasa, terpolarisasi menjadi pro, kontra, dan netral. Mereka yang kontra dengan keputusan POLRI geram, menganggap POLISI bersikap lunak setelah lima orang anggota polisi menjadi korban dalam kerusuhan. Mereka yang pro dengan keputusan POLISI untuk tidak langsung masuk menyerbu, menganggap tindakan tersebut menunjukkan profesionalisme Kepolisian RI sebagai aparat penegak hukum, bukan hukum itu sendiri.
Redaksi juga pro dengan keputusan Kepolisian RI, karena kolom opini tidak ada kewajiban harus netral, walaupun begitu berusaha sedapat mungkin melihat dengan banyak sudut pandang dari kedua sisi.
Pertama: Memutuskan Rantai Dendam
Polisi dan para penganut paham radikalisme keduanya manusia, dalam setiap konflik dan peperangan yang selalu menjadi korban pertama, pasti nilai-nilai kemanusiaan. Dengan tidak langsung menyerbu begitu sandera terakhir dikeluarkan, Polisi telah memutuskan rantai dendam dari sisi mereka.
Hal serupa, yang menjadi sebab perdamaian bisa tercipta dan terjaga pasca kerusuhan Ambon dan kerusuhan Poso. Ketika kubu yang bertikai memutuskan berhenti mendendam. Beberapa aksi-aksi provokasi yang mencoba menyulut kembali kerusuhan, menyalakan api dendam, menjadi mati angin.
Tentu, kasus yang terjadi di rutan di dalam kompleks Mako Brimob Kelapa Dua Depok tidak tuntas selesai jika hanya dengan memutuskan rantai dendam di satu pihak saja, kedua belah pihak seharusnya.
Hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana yang membunuh polisi petugas rutan, haruslah hukuman yang adil dan setimpal. Dihukum karena melanggar hukum menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja, bukan karena pemahaman radikal yang selama masih dalam kepala tidak diwujudkan menjadi aksi yang terlarang, dan dihukum bukan karena dendam.
Selain lingkaran dendam, masih ada lingkaran lain yang membuat peperangan antara anti teror dan teroris menjadi awet.
Lingkaran Kedua: Perbedaan Ideologi
Dalam tulisan berseri berjudul “Sketsa Indonesia” yang masih dalam proses penulisan redaksi, ada satu Bab yang khusus membahas tentang gambar besar NKRI yang tertuang dalam dasar negara Pancasila, yang disebut oleh Grand Syekh Al-Azhar, Ahmed Mohamed Ahmed El-Thayeb dalam kunjungan kali ketiganya di Indonesia tanggal 2 Mei 2018 lalu, bukan hanya sejalan dengan nilai-nilai Islam, tetapi juga merupakan esensi ajaran Islam. Pendapat yang sejalan dengan tulisan “Sketsa Indonesia” yang belum selesai tersebut. Berikut kutipannya:
Jika Pancasila disusun menurut logika syarat dan prasyarat, maka urutan Pancasila seharusnya: “Karena bangsa ini berketuhanan yang maha esa, maka wajib hukumnya berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang menjadi pondasi bangunan keadilan sosial, hingga seluruh komponen bangsa mau bersatu, dalam hikmat kerakyatan permusyawaratan dan perwakilan.”
Meskipun bagi yang berpikiran tertutup, setiap pemikiran yang mencoba mencari jalan keluar terlihat sebagai masalah baru, usaha menjelaskan perbedaan ideologi bernegara dengan ideologi beragama bukanlah perbandingan yang sepadan harus tetap dilakukan, sebagai bentuk ikhtiar.
Agama berada jauh di atas ideologi berbangsa dan bernegara, menembus sekat-sekat perbedaan bangsa, ras. Seseorang yang memahami agamanya dengan baik, akidahnya akan tetap terjaga sekalipun ia sedang berfungsi sebagai komponen sebuah bangsa dan negara yang berideologi komunis sekalipun. Ia seperti lebah yang tidak merontokkan kelopak bunga ketika mengambil madu sekaligus membantu penyerbukan, sembari menghasilkan manfaat dari keberadaannya berupa madu. Keberadaannya tidak menjadi mudharat.
Lingkaran Ketiga: Kepicikan dan Kebodohan
Jangan bawa-bawa Tuhan dulu, tidak ada jalan pintas ke sorga, mati syahid tidak semudah memekikkan kalimat tauhid dan takbir. Menjadi syuhada dengan berbakti kepada kedua orang tua saja kita belum tentu berhasil.
Hampir semua ibadah formal umat muslim, salat, haji, puasa, dan lain-lain manfaat langsungnya untuk yang melaksanakan, bukti bahwa kita mencintai diri kita dan berusaha menjadi lebih baik dengan lebih taat perintah Tuhan. Namun menebar manfaat kebaikan dan kasih sayang kepada alam semesta, bukti keislaman seseorang sebagai pembawa rahmat, bukti kecintaannya pada Tuhan.
Menegakkan ghirah, atau kehormatan Islam tidak selalu sama dengan menjaga kehormatan simbol-simbol, bila sampai mengabaikan nilai yang dibawa oleh simbol-simbol tersebut.
Banyak konflik yang terjadi karena ingin menjaga kehormatan simbol dengan mengorbankan nilai yang berada dalam simbol tersebut, padahal itu lebih menghina ketimbang yang menghina simbol karena memang tidak mengimani isi dan nilainya.
Ketika Rasulullah dihina, ditimpuk batu, kotoran, pernahkah Beliau SAW membalas dengan perlakuan yang kurang lebih sama demi menegakkan kehormatan? Tidak pernah. Ketika Al Qur’an disebut orang sebagai karangan Beliau SAW, apakah beliau marah? Tidak, malah memaklumi akan selalu ada manusia yang mengingkari dan melecehkan kandungan Al Qur’an.
Pada setiap konflik yang terjadi, tidak pernah benar-benar peperangan murni antara hitam dengan putih, kebaikan dan keburukan, selalu banyak kepentingan yang ikut terlibat.
Kepentingan yang tidak peduli harus berada di sisi hitam atau putih, bagian dari kebaikan atau keburukan, selama kepentingannya terakomodir dan konflik tersebut membantu mencapai tujuannya.
Kebodohan yang dimaksud bukan sesuatu yang bisa tuntas lewat sekolah formal, cukup dengan kejernihan akal dan nurani, dan hati yang sejuk terbiasa dibasuh dengan wudhu dan dzikir bila muslim.
Kebodohan yang bisa membuat orang membenci, mendendam, menghasut, merusak, dan membunuh atas nama Tuhan. Kebodohan yang bisa membuat aparat hukum bertindak sebagai hakim sekaligus algojo pelaksana vonis.
Kebodohan yang membuat seseorang dikuasai nafsu dan emosi, hingga mudah dijadikan alat peraih tujuan oleh pemilik kepentingan yang tidak memiliki lagi nurani pengingat mana yang baik, dan mana yang buruk, di mata mereka semua baik selama tujuannya tercapai.
Lingkaran Keempat : Kemiskinan
Mau diakui atau tidak, faktanya uang sejak lama menggantikan peran Tuhan sebagai motif utama penggerak sebagian besar umat manusia di dunia.
Uang juga tak berpihak juga tak bertuhan, ia bisa berada di semua sisi yang bisa terbeli atau tergadai. Uang tidak mengenal baik dan buruk. Pemilik kepentingan bila gagal bermain di tataran ideologi, harga diri, kebencian, dendam, dan cinta akan menggunakan uang sebagai alatnya. Setelah bergabung, tentu tetap akan diberikan asupan untuk emosi, pikiran dan jasmaninya, sesudah kelaparan karena kemiskinannya tertutupi.
Jangan kira semua peperangan dan konflik dimulai dengan cita-cita dan semangat (yang terdengar) mulia.
Banyak jihadis IS yang direkrut dengan janji gaji yang tinggi dan janji petualangan berperang sesungguhya. Mereka bahkan pernah memasang iklan rekrutmen di internet.
Sekitar tahun 2004 redaksi pernah didatangi seseorang yang tak kami kenal. Meminta mencari calon “pengantin” yang akan meledakkan bom bunuh diri, setelah gagal merayu supaya kami yang menjadi pengantin. Bila lajang, kehidupan kedua orang tuanya sampai mati akan ditanggung, bila berkeluarga kehidupan anak istrinya yang ditanggung. Mungkin karena mengamati keadaan ekonomi kami ketika itu. Kami menolak tegas, “Kami memang miskin, tetapi tidak bodoh. Mana ada jaminan langsung ke sorga dengan bunuh diri?”
Alhamdulillah, tidak semakin banyak darah yang tumpah sebelum memasuki ramadan. Semoga aparat yang gugur diterima amal baiknya di sisi Tuhan, dan pelaku bertaubat sebelum menerima hukumannya. (*)