Toleransi dalam ilmu-ilmu teknik yang berarti ambang batas kesalahan atau ketahanan, berbeda dengan toleransi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan bernegara.
Dalam ilmu konstruksi toleransi adalah ‘daya tahan’ atau ambang batas menerima kedaan tertentu sebelum pecah, patah atau rubuh semisal beton bertulang struktur bangunan, pola pembesian, komposisi campuran semen, dan lain-lain memiliki toleransi terhadap guncangan gempa skala tertentu, beban atau gaya vertikal atau horizontal maupun diagonal, sebelum kemudian ‘intoleran’ atau rubuh.
Toleransi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tidak sepasti struktur beton. Dalam skala pribadi, toleransi lahir dari kesadaran memandang manusia lain sebagai sesama manusia, sesama ciptaan Tuhan, dan sesama hamba Tuhan yang pasti satu, hanya menempuh jalan yang berbeda bisa karena pilihan, bisa karena lingkungan tempat lahir dan dibesarkan, dengan perspektif berbeda dalam ‘memproyeksikan’ Tuhan ke dimensi ciptaan.
Pada skala komunal, dari skala rumah tangga hingga negara dan benua, toleransi yang coba ‘dipaksakan’ melalui regulasi yang kalaupun berhasil hanya akan menciptakan ‘kerukunan palsu’ karena tak lahir dari kesadaran tapi dari koridor yang sewaktu-waktu bisa rubuh atau dirubuhkan.
Toleransi pada skala yang lebih besar dari diri sendiri hanya bisa dibangun bila dasarnya kerukunan. Dan kerukunan hanya bisa terwujud bila ada tiga hal : 1. Keadilan hukum dan Keadilan sosial; 2 Kesejahteraan; 3. Pendidikan dan kebudayaan (adab).
Melalui pendidikan dan kebudayaan, negara dan komponen masyarakat masih gagal membangun pondasi toleransi. Contoh uang kertas edsi terbaru pecahan 10.000 rupiah bergambar pahlawan nasional dari Papua yang juga bagian dari NKRI, ramai dikomentari negatif di media sosial. Anehnya banyak yang jengkel dan kesal dengan komentar yang sebagian besar melecehkan, padahal setiap hari menonton, membaca, melihat dan mendengar standarisasi kesuksesan, kecantikan dan kegantengan di berbagai media, jengkel tapi lupa selama ini mungkin masih bagian dari penyebab masyarakat menjadi dangkal dalam menilai sesuatu. Kesal, tapi masih menilai buku dari sampulnya.
Rasa kesal saja sudah termasuk sikap tidak toleran pada diri sendiri. Kita tidak akan membiarkan orang jahat masuk dan berbuat kerusakan dalam rumah kita, tapi membiarkan pikiran jahat orang lain masuk ke dalam diri kita, lalu melawannya dengan pikiran yang sama jahat. Padahal di media sosial bisa berlapis-lapis kebohongan dan kepalsuan, media di mana alter ego, kegilaan dan kebencian bawah sadar bebas lalu-lalang, menjelekkan pihak sendiri hal biasa untuk main jadi pihak teraniaya.
Tentu masih ingat kejadian viral di media sosial, hiasan Natal di sebuah hotel di Jambi yang terpaksa ditutup oleh Walikota jambi sebelum massa yang mulai berkumpul hilang akal, karena pada halaman miniatur gereja terdapat lafaz ‘Allah’ dalam huruf arab? Ternyata bentuk sebenarnya tanpa lafaz Allah, seseorang telah mengubahnya, dikonfirmasi oleh Netizen yang sempat berfoto di sana sebelum hiasan natal tersebut diubah.
Dua pondasi lain: Keadilan hukum, keadilan sosial; dan kesejahteraan. Terlalu banyak contoh bahwa tanpa kedua hal tersebut, kerukunan kemudian toleransi mustahil bisa tercipta. Memang ada daerah yang berhasil, tapi masih lebih banyak yang belum.
Selain pondasi toleransi berupa kerukunan yang belum terbangun, masih banyak yang menyamakan pemahaman toleransi dalam ilmu teknik dengan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, beragama dan bernegara.
Sekilas memang mirip, karena setiap agama, suku dan ras memiliki ambang batas dalam berhubungan sosial dengan yang berbeda. Ada nilai-nilai yang mustahil disama-samakan.
Berusaha menaikkan ambang batas toleransi pada perbedaan menggunakan perspektif toleransi ilmu teknik, dengan menyama-nyamakan apa yang jelas-jelas berbeda hanya akan menciptakan kerukunan palsu dan rapuh, bahkan mungkin karena dorongan rasa takut dan belum siap dengan perbedaan.
Homeless and elderly people often spend the holidays alone, because they don't have families to go to. Hasan Musad, the Muslim owner of Shish restaurant in London, wants to make sure that no one spends the holiday alone this year. He wanted to reach out to those, who are in need of company and a hot meal. He proved a three course meal to those in need… absolutely free, also keeping them company so they didn't feel lonely#feedingthehomeless#feedingtheelderly#tistheseason#humanity?❤??
Kerukunan mestinya lahir dari kemampuan menerima perbedaan diri sendiri dan menerima orang lain yang berbeda. Melihat kesamaan dalam perbedaan bukan lahir dari menyama-nyamakan, tapi membesarkan skala hubungan silaturrahim. Dari perbedaan mahzab, menjadi satu agama. Dari perbedaan agama dan negara, menjadi satu bangsa dan sesama manusia.
Walaupun pada tingkat kesadaran tertentu Tuhan nyata meliputi segalanya. Tingkat dan kadar kesadaran yang belum tentu semua manusia telah berhasil meraihnya. Bila ada yang memaksakan, dengan meledek, dengan membenci atau menghujat mereka yang belum diijinkan meraih kesadaran tersebut, maka hampir pasti pelakunya hanya mengetahui ada kesadaran serupa itu, tapi belum berada dalam kesadaran bahwa Tuhan meliputi segalanya.
Kesempitan ruang berpikir, kebelum tahuan, dan ketidaksadaran orang lain, bagi mereka yang memiliki kesadaran sebagai sesama manusia dan sesama ciptaan tidak terlihat sebagai bahan ledekan, kesempatan naik dengan menginjak, tapi kesempatan berbagi kesadaran dan tidak melakukannya di media sosial, media yang masih terlalu jauh untuk bisa dianggap permukaan tempat berdialog yang tak hanya melibatkan aksara.