Bulan Agustus tahun 2000 silam, mendiang WS. Rendra diundang mahasiswa ITB berdiskusi tentang buku kecilnya di Bandung.
Buku “Rakyat Belum Merdeka” kecil dan tipis, berisi kurang seratus lima puluh lembar halaman, terakhir terlihat di Makassar.
Semoga sudah hilang, kemudian ikut mengayakan cakrawala berpikir dan berempati siapapun yang kini sedang menyimpannya.
Sebagai budayawan, istilah yang tidak dikenal dalam bahasa lain di dunia kecuali bahasa Indonesia, sepertinya kosa kata baru ciptaan wartawan, untuk menggambarkan dan mengapresiasi seniman yang mampu memandang dan memahami banyak hal dalam cakrawala kesenimannya, tapi belum ingin merasa paripurna atau tidak mau merasa sempurna dengan menyebut diri sebagai ‘Begawan’ atau ‘Empu’.
Di buku ini WS. Rendra memaparkan sembilan agenda untuk menjawab dan meringkas kenyataan temuannya, bahwa rakyat belum merdeka.
Sembilan agenda tersebut menurut kami, setelah mengingat-ingat kembali, memaparkan kegagapan–yang berujung kegagalan–komponen bangsa Indonesia mengejawantahkan sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, akibat ketidakmandirian kita sebagai bangsa dan negara. Sehingga berdampak pada pencapaian sila-sila berikutnya. Persatuan, kerakyatan, permusyawaratan dan permufakatan, hingga kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila pertama, pondasi utama empat sila lain, mungkin sengaja tidak menjadi pokok bahasan mendiang. Bisa karena WS. Rendra dalam beberapa kesempatan menyebut dirinya seseorang yang fakir pengetahuan agama, atau bisa juga karena mendiang WS. Rendra sepenuhnya menyadari adanya faktor hidayah, faktor suka-suka Tuhan, sebelum manusia Indonesia mampu memahami dan menerjemahkan sila pertama Pancasila menjadi perilaku dan karakter.
Membaca buku ini pertama kali, kemandirian yang dimaksud WS. Rendra sebagai kondisi ideal yang dibutuhkan agar rakyat merdeka, termaknai sebagai swasembada. Berswasembada apapun itu. Tetapi, setelah membaca ulang, rasa-rasanya kemandirian yang mendiang maksud adalah ‘integritas’. Apalagi di era sekarang, negara-negara kini nyaris tanpa batas, kampung-kampung global yang rumpi.
Mustahil Indonesia atau negara mana pun bisa mandiri, dalam arti semuanya dikerjakan sendiri untuk kemudian dinikmati sendiri, secara sukarela atau dipaksa keadaan.
Boikot dan embargo terbukti tidak mampu memboikot manusia dari naluri alami sebagai mahluk sosial yang harus bersosialisasi, dan gagal mengembargo naluri bertahan hidup.
Mandiri bukan lagi mengasingkan diri, hidup sendiri di atas kaki sendiri, tetapi bekerja sama tanpa kehilangan integritas.
Dalam agenda ketujuh gamblang WS. Rendra memaknai kemandirian sebagai integritas.
“Empat tahun masa jabatan–kata jabatan ini kemudian Ia coret lalu diganti ‘kerja’– (dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif) bila tidak mampu menghasilkan undang-undang (kebijakan) yang lebih adil untuk mengangkat daulat rakyat, jelas sudah kalau mereka itu sekadar bakul-bakul nasi berjalan, yang sibuk dengan intrik perjuangan daulat partai, dan tidak berguna untuk reformasi.”
Kemerdekaan yang diproklamasikan 74 tahun lalu, telah memerdekakan rakyat dari kondisi bangsa jongos. Tetapi belum memerdekakan sebagian besar dari kita, sebagai apapun posisi dan fungsinya dalam NKRI, karena tidak punya integritas.
Hanya dengan integritas seseorang (baik sebagai rakyat, pejabat, wakil rakyat, dan aparat) bisa merdeka dari serba rupa kepentingan, imbalan, dan godaan, agar mampu mengambil dan menjalankan keputusan yang adil.
Memang, proklamasi kemerdekaan saja tidak akan cukup untuk menjadi dasar membangun integritas individu maupun lembaga. Namun tanpa integritas, bagaimana lagi cara kita berterima kasih, sebagai generasi yang tidak harus mengalami perjuangan fisik dan psikis merebut kemerdekaan.
Mari malu dengan para pejuang kemerdekaan yang memiliki integritas, yang tertuang jelas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, segala bentuk penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.
Mari malu, karena tanpa integritas, seseorang akan terjajah syahwat, ambisi, baik yang datang dari sendiri, golongan, maupun dari orang lain. Tanpa integritas, pantaskah pekik “Merdeka!” melantang dari mulut kita.