WARTAKITA.ID, JAKARTA — Ketika Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengumumkan penurunan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi sebesar 20% pada 22 Oktober 2025, publik bertepuk tangan. Media massa ramai memberitakan. Petani bergembira. Namun, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan: dari mana dana penurunan harga ini berasal?
Menteri Amran dengan tegas menjawab: “Tanpa menambah subsidi APBN.” Kalimat ini sekilas terdengar seperti jargon politik yang klise. Namun, di balik pernyataan tersebut, tersembunyi sebuah strategi ekonomi jangka panjang yang jarang terekspos—sebuah transformasi industri pupuk nasional senilai Rp54 triliun yang telah dimulai sejak bertahun-tahun lalu, yang kini mulai membuahkan hasil nyata.
Inilah kisah yang jarang diceritakan: bagaimana modernisasi pabrik-pabrik tua yang boros energi, yang dimulai diam-diam jauh sebelum slogan “penurunan harga pupuk” menggema, kini menjadi kunci tersembunyi di balik kebijakan populis pemerintah Prabowo. Dan lebih dari itu—bagaimana investasi triliunan rupiah ini tidak hanya menurunkan harga pupuk, tetapi juga diproyeksikan mendongkrak laba Pupuk Indonesia hingga Rp7,5 triliun pada 2026, sekaligus menghemat anggaran negara hingga Rp10 triliun.
Beban Masa Lalu: Pabrik Tua yang Menguras Energi
Untuk memahami besarnya pencapaian ini, kita perlu mundur sedikit ke belakang. Indonesia memiliki industri pupuk yang cukup besar, dengan 15 pabrik Urea yang tersebar di seluruh nusantara yang dikelola oleh anak perusahaan Pupuk Indonesia. Namun, ada masalah besar: delapan dari 15 pabrik tersebut berusia di atas 30 tahun—sebuah usia yang dalam standar industri petrokimia sudah dianggap sangat tua dan tidak efisien.

Pabrik-pabrik tua ini memiliki rata-rata konsumsi gas sebesar 32,2 MMBTU (Million British Thermal Unit) untuk memproduksi satu ton Urea. Bandingkan dengan standar global modern yang hanya berkisar 21-23 MMBTU per ton. Artinya, pabrik-pabrik Indonesia menghamburkan energi hingga 40-50% lebih banyak dibandingkan pabrik modern di negara lain. Dan gas alam, sebagai bahan baku utama pupuk Urea, adalah komponen biaya terbesar dalam produksi pupuk—mencapai 70-80% dari total biaya produksi.
Akibatnya? Biaya produksi pupuk Indonesia sangat tinggi. Efisiensi rendah. Daya saing lemah. Dan yang paling menyakitkan: petani Indonesia, yang seharusnya menikmati pupuk murah karena negara ini memiliki sumber daya gas alam yang melimpah, justru harus membayar harga yang tidak jauh berbeda dengan negara importir pupuk.
Rahmad Pribadi, Direktur Utama Pupuk Indonesia, dalam berbagai kesempatan telah mengakui tantangan ini. “Kami mewarisi infrastruktur industri yang sudah uzur. Jika dibiarkan, pabrik-pabrik ini akan menjadi beban, bukan aset. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun lalu, kami memutuskan untuk melakukan revitalisasi total,” ujarnya.
Rp54 Triliun: Investasi Strategis untuk Masa Depan

Revitalisasi bukanlah proyek kecil. Total kebutuhan investasi yang dibutuhkan untuk memodernisasi seluruh pabrik pupuk Pupuk Indonesia mencapai Rp54 triliun—sebuah angka yang fantastis. Untuk perspektif, angka ini setara dengan lebih dari separuh anggaran Kementerian Pertanian dalam satu tahun, atau hampir dua kali lipat anggaran infrastruktur nasional untuk pembangunan jalan di seluruh Indonesia.
Proyek revitalisasi ini mencakup berbagai aspek:
- Modernisasi Teknologi Produksi: Mengganti mesin-mesin tua dengan teknologi terkini yang jauh lebih efisien dalam konsumsi energi.
- Optimalisasi Proses Kimia: Memperbaiki proses sintesis Urea agar menghasilkan lebih banyak output dari input gas yang sama.
- Sistem Pengendalian Otomatis: Mengimplementasikan sistem kontrol berbasis AI dan IoT yang dapat mengoptimalkan setiap tahap produksi secara real-time.
- Infrastruktur Pendukung: Memperbaiki pipa gas, sistem pendinginan, dan fasilitas penyimpanan yang juga sudah usang.
Salah satu proyek flagship adalah pembangunan Pabrik Pusri-IIIB di Palembang, Sumatera Selatan. Pabrik baru ini dirancang dengan standar efisiensi internasional, dengan target konsumsi gas hanya 21,7 MMBTU per ton Urea—jauh di bawah rata-rata pabrik lama yang mencapai 32,2 MMBTU per ton.
Angka 10,5 MMBTU—selisih antara konsumsi pabrik lama dan pabrik baru—mungkin terdengar teknis dan abstrak. Namun ketika diterjemahkan ke dalam rupiah, dampaknya luar biasa. Dengan kapasitas produksi sekitar 1 juta ton Urea per tahun dan harga gas yang fluktuatif namun rata-rata sekitar $6-8 per MMBTU, efisiensi 10,5 MMBTU per ton berarti penghematan biaya produksi sekitar Rp1,5 triliun per tahun hanya dari satu pabrik saja.
Bayangkan jika delapan pabrik tua lainnya juga direvitalisasi dengan tingkat efisiensi yang sama. Penghematan kumulatif bisa mencapai Rp10-12 triliun per tahun—sebuah angka yang cukup signifikan untuk mengubah struktur biaya industri pupuk nasional secara fundamental.
Dari Efisiensi Industri ke Penurunan Harga: Connecting the Dots
Inilah bagian yang jarang dijelaskan oleh pemerintah dan media: penurunan HET pupuk 20% yang diumumkan pada 22 Oktober 2025 adalah hasil langsung dari efisiensi industri yang telah dicapai melalui proyek revitalisasi. Bukan keajaiban. Bukan subsidi tambahan. Tetapi hasil kerja keras bertahun-tahun yang kini mulai membuahkan hasil.
Mari kita hitung logikanya:
- Sebelum Revitalisasi: Biaya produksi per ton Urea = (32,2 MMBTU × $7) + biaya lain-lain ≈ $225 per ton ≈ Rp3,5 juta per ton
- Setelah Revitalisasi: Biaya produksi per ton Urea = (21,7 MMBTU × $7) + biaya lain-lain ≈ $152 per ton ≈ Rp2,36 juta per ton
- Penghematan per ton: Rp1,14 juta per ton
Dengan produksi Urea nasional mencapai sekitar 5-6 juta ton per tahun, penghematan kumulatif dari efisiensi industri ini bisa mencapai Rp5,7-6,8 triliun per tahun. Inilah “dana segar” yang memungkinkan pemerintah menurunkan HET tanpa harus menambah subsidi APBN.
Menteri Amran Sulaiman, dalam pengumumannya, dengan jelas menyatakan bahwa penurunan harga dicapai melalui “efisiensi industri” dan “pemangkasan rantai distribusi.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika—ini adalah hasil perhitungan ekonomi yang matang, yang didasarkan pada data riil performa pabrik-pabrik yang sudah direvitalisasi.
Instruksi Presiden: Political Will untuk Akselerasi
Pada 16 Oktober 2025—hanya enam hari sebelum pengumuman penurunan HET—Presiden Prabowo Subianto mengadakan rapat terbatas di kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Dalam rapat tersebut, Presiden memberikan instruksi tegas kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk mempercepat revitalisasi pabrik pupuk agar produksi lebih efisien dan harga pupuk bisa diturunkan.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, yang hadir dalam rapat, menjelaskan: “Bapak Presiden memerintahkan Menteri Pertanian mencari skema dan terobosan untuk memastikan ketersediaan pupuk aman dan jika memungkinkan melakukan revitalisasi terhadap pabrik-pabrik pupuk yang kita miliki. Tujuannya agar jauh lebih efisien dan dapat menurunkan harga pupuk, harapannya meringankan para petani kita.”
Instruksi ini bukan tanpa dasar. Presiden Prabowo, yang dikenal sebagai pemimpin dengan latar belakang bisnis dan manajemen yang kuat, memahami bahwa untuk menurunkan harga secara berkelanjutan, solusinya bukan menaikkan subsidi (yang akan membebani APBN), melainkan menurunkan biaya produksi melalui efisiensi industri. Ini adalah pendekatan yang lebih rasional dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Menanggapi instruksi Presiden, Menteri Amran menyatakan: “Kami tentu siap melaksanakan arahan Presiden Prabowo. Revitalisasi pabrik pupuk akan kami dorong agar produksi lebih efisien, pasokan lebih stabil, dan harga lebih terjangkau bagi petani. Ini sejalan dengan semangat besar pemerintah untuk mencapai swasembada pangan.”
Proyeksi Laba Rp7,5 Triliun: Efisiensi yang Menguntungkan Semua Pihak
Yang lebih menarik lagi, efisiensi industri ini tidak hanya menguntungkan petani melalui harga pupuk yang lebih murah, tetapi juga menguntungkan Pupuk Indonesia sebagai BUMN. Menurut estimasi Rahmad Pribadi, yang disampaikan pada 22 Oktober 2025, hasil revitalisasi dan efisiensi tata kelola pupuk bersubsidi berpotensi menambah keuntungan PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp2,5 triliun pada 2026, dengan estimasi total keuntungan mencapai Rp7,5 triliun.
Ini adalah bukti bahwa efisiensi adalah win-win solution:
- Petani menang: Mereka mendapatkan pupuk lebih murah.
- Negara menang: APBN tidak perlu menambah subsidi, bahkan berpotensi menghemat Rp10 triliun.
- Pupuk Indonesia menang: Profitabilitas meningkat, yang berarti dividen lebih besar untuk negara dan kemampuan reinvestasi yang lebih kuat untuk terus memodernisasi industri.
Laba yang lebih tinggi juga memungkinkan Pupuk Indonesia untuk terus berinvestasi dalam riset dan pengembangan produk pupuk yang lebih canggih dan ramah lingkungan, seperti pupuk slow-release yang lebih efisien diserap tanaman, atau pupuk organik yang mendukung pertanian berkelanjutan.
Stok 259% dari Minimum: Kesiapan Menghadapi Musim Tanam
Untuk memastikan bahwa efisiensi produksi ini benar-benar berdampak kepada petani, Pupuk Indonesia telah menyiapkan stok yang sangat besar. Per 30 September 2025, stok pupuk bersubsidi nasional meliputi:
- Urea: 510.262 ton
- NPK: 610.649 ton
- NPK Formula Khusus/Kakao: 14.316 ton
- ZA: 8.759 ton
- Pupuk Organik: 56.693 ton
Total stok ini sudah berada di gudang produsen hingga gudang penyangga di kabupaten/kota seluruh Indonesia. Dan untuk menghadapi musim tanam Oktober–Maret 2025/2026, Pupuk Indonesia telah menyiapkan 1,2 juta ton pupuk bersubsidi—setara dengan 259% dari ketentuan minimum stok yang dipersyaratkan pemerintah.
Angka 259% bukan hanya sekadar “lebih dari cukup.” Ini adalah pernyataan kepercayaan diri bahwa industri pupuk nasional, setelah direvitalisasi, kini memiliki kapasitas produksi yang sangat kuat dan stabil. Tidak akan ada lagi cerita kelangkaan pupuk di musim tanam, tidak akan ada lagi petani yang harus antri berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk mendapatkan pupuk.
Plt. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB, Muhamad Riadi, menyampaikan optimismenya: “Menurunnya harga pupuk dapat menurunkan biaya pertanian. Hal ini mestinya berdampak pada turunnya harga jual beras. Mudah-mudahan secara logika ekonominya, kalau cost produksi turun, biaya produksi juga menurun. Berarti harga jual beras mestinya turun kan?”
Pernyataan ini menunjukkan efek domino positif dari kebijakan ini: harga pupuk turun → biaya produksi petani turun → harga pangan di pasar turun → inflasi terkendali → daya beli masyarakat meningkat. Ini adalah contoh sempurna bagaimana kebijakan mikro (revitalisasi pabrik) dapat berdampak pada ekonomi makro (inflasi dan kesejahteraan).
Tantangan ke Depan: Dari 8 Pabrik ke 15 Pabrik
Meskipun pencapaian saat ini sudah luar biasa, tugas belum selesai. Dari 15 pabrik Urea milik Pupuk Indonesia, baru sebagian kecil yang sudah direvitalisasi. Masih ada 6-7 pabrik lagi yang masih beroperasi dengan tingkat efisiensi suboptimal. Untuk mencapai transformasi penuh industri pupuk nasional, investasi Rp54 triliun yang telah direncanakan harus terus dikucurkan secara konsisten dalam 5-10 tahun ke depan.
Pemerintah juga menargetkan pembangunan tujuh pabrik pupuk baru untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku dan meningkatkan kapasitas produksi nasional. Lima di antaranya ditargetkan selesai pada 2029. Pembangunan pabrik baru ini akan semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang tidak hanya swasembada pupuk, tetapi juga berpotensi menjadi eksportir pupuk ke negara-negara tetangga.
Namun, tantangan finansial tetap ada. Investasi sebesar Rp54 triliun adalah angka yang sangat besar, bahkan untuk BUMN sekelas Pupuk Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan skema pembiayaan kreatif, termasuk kemungkinan penerbitan obligasi hijau (green bonds) untuk menarik investor yang peduli pada keberlanjutan lingkungan, atau kerja sama dengan lembaga pembiayaan internasional seperti Asian Development Bank (ADB) atau World Bank yang memiliki program khusus untuk mendukung transformasi industri ramah lingkungan.
Dari Beban Menjadi Aset Strategis
Untuk waktu yang lama, industri pupuk nasional dianggap sebagai “beban” negara—perusahaan BUMN yang harus terus disubsidi, yang kinerjanya stagnan, dan yang tidak mampu bersaing dengan produsen pupuk internasional. Namun, narasi ini kini mulai berubah.
Dengan revitalisasi yang terencana dan eksekusi yang solid, industri pupuk Indonesia kini bertransformasi menjadi aset strategis negara. Bukan hanya karena mampu menyediakan pupuk murah bagi petani, tetapi juga karena menjadi motor pertumbuhan ekonomi—menyerap tenaga kerja, mendorong industri pendukung, menghasilkan dividen untuk negara, dan bahkan berpotensi menjadi sumber devisa melalui ekspor.
Kementerian Pertanian optimistis bahwa dengan sistem produksi pupuk yang lebih modern, efisien, dan ramah lingkungan, biaya produksi pertanian dapat ditekan dan kesejahteraan petani semakin meningkat. Dan yang terpenting, Indonesia tidak lagi rentan terhadap gejolak harga pupuk internasional—karena kini kita memiliki industri pupuk domestik yang kuat dan efisien.
Pelajaran Penting: Investasi Infrastruktur Membutuhkan Visi Jangka Panjang
Kisah revitalisasi Pupuk Indonesia adalah pelajaran penting bagi pengambil kebijakan di berbagai sektor. Seringkali, pemerintah tergoda untuk mengambil kebijakan populis jangka pendek yang memberikan hasil instan tetapi tidak berkelanjutan—seperti menaikkan subsidi. Namun, pendekatan yang benar adalah berinvestasi pada infrastruktur dan efisiensi yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membuahkan hasil, tetapi ketika hasilnya datang, dampaknya jauh lebih besar dan berkelanjutan.
Revitalisasi pabrik pupuk dimulai bertahun-tahun sebelum pengumuman penurunan HET 20% pada Oktober 2025. Proyek ini tidak terdengar seksi. Tidak ada foto pemotongan pita yang dramatis. Tidak ada berita besar di media. Tetapi ketika hasilnya mulai terlihat—dalam bentuk pupuk yang lebih murah, laba perusahaan yang lebih tinggi, dan penghematan APBN triliunan rupiah—barulah publik menyadari bahwa investasi jangka panjang yang visioner adalah kunci sesungguhnya dari transformasi ekonomi.
Ketika Presiden Prabowo memberikan instruksi pada 16 Oktober untuk mempercepat revitalisasi, beliau sebenarnya sedang melanjutkan dan mempercepat momentum yang sudah dimulai. Dan ketika Menteri Amran mengumumkan penurunan harga pada 22 Oktober, beliau tidak sedang membuat keajaiban—beliau sedang memanen hasil dari investasi strategis yang telah ditanam bertahun-tahun sebelumnya.
Inilah kisah sesungguhnya di balik penurunan harga pupuk 20%. Bukan sekadar kebijakan populis untuk mendapatkan pujian jangka pendek, tetapi hasil dari strategi jangka panjang yang matang, investasi triliunan rupiah, dan eksekusi yang konsisten. Dan ini baru permulaan. Dengan 6-7 pabrik lagi yang akan direvitalisasi, dan tujuh pabrik baru yang akan dibangun, masa depan industri pupuk Indonesia—dan dengan demikian, masa depan kedaulatan pangan nasional—terlihat jauh lebih cerah daripada sebelumnya.
***
Catatan Penulis: Artikel ini ditulis berdasarkan data resmi dari Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia (Persero), dan analisis industri petrokimia. Data investasi revitalisasi (Rp54 triliun), efisiensi konsumsi gas (dari 32,2 ke 21,7 MMBTU per ton), dan proyeksi laba (Rp7,5 triliun pada 2026) bersumber dari pernyataan resmi manajemen perusahaan dan dokumen publik yang dapat diakses.

























