WARTAKITA.ID, JEMBER – Sucipto, petani dari Dukuh Dempok, Jember, Jawa Timur, masih ingat betul masa-masa ketika bertani terasa seperti berjudi dengan nasib. Setiap musim tanam, ia hanya bisa menabur pupuk berdasarkan “ilmu kira-kira” warisan turun-temurun.
Hasilnya? Panen jagung yang stagnan, keuntungan yang pas-pasan untuk menutupi utang, dan ketidakpastian yang selalu membayangi. “Dulu itu asal tanam saja, tidak tahu kondisi tanahnya bagaimana. Kalau ada masalah hama, ya bingung sendiri,” kenang Sucipto sambil menatap hamparan tanamannya yang kini hijau subur.

Kisah Sucipto adalah cerminan dari jutaan petani kecil di Indonesia yang terperangkap dalam siklus tantangan yang sama: minimnya pengetahuan teknis, sulitnya akses modal, dan ketiadaan jaminan pasar. Mereka adalah garda terdepan ketahanan pangan, namun seringkali menjadi yang paling rentan.
Namun, beberapa tahun terakhir, sebuah perubahan senyap mulai menjalar di pedesaan. Sebuah ekosistem bernama Program Makmur, yang diinisiasi PT Pupuk Indonesia (Persero), datang menawarkan jalan keluar dari labirin persoalan tersebut.
Titik balik bagi Sucipto datang ketika ia bergabung dengan Program Makmur. Keraguan awalnya sirna saat ia merasakan manfaat pertama yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. “Untuk pertama kalinya, saya tahu pH tanah saya berapa. Kami difasilitasi untuk tes lab tanah, dan itu gratis, sudah dibantu,” ujarnya dengan antusias.

Pengetahuan sederhana ini menjadi revolusi kecil baginya. Ia tak lagi menabur pupuk secara membabi buta. Setiap butir pupuk yang diberikan kini sesuai dengan resep dan kebutuhan spesifik lahannya, didampingi oleh agronom yang siap sedia memberikan solusi jika ada kendala.
Hasilnya melampaui ekspektasi. Panennya melonjak, dan keuntungannya meningkat drastis. Kisah Sucipto bukanlah anomali. Di berbagai daerah, Program Makmur mencatatkan dampak kuantitatif yang luar biasa.
Data dari Pupuk Indonesia menunjukkan, petani padi yang mengikuti program ini mengalami lompatan produktivitas rata-rata dari 5,7 ton per hektar menjadi 8 ton per hektar. Yang lebih penting, keuntungan bersih di kantong mereka meroket dari sekitar Rp15 juta per hektar menjadi Rp24 juta per hektar per musim tanam.
Tabel: Lompatan Kuantum Petani Padi Program Makmur
| Indikator | Sebelum Program Makmur | Sesudah Program Makmur | Peningkatan |
| Rata-rata Hasil Panen | 5 ton per hektare | 9 ton per hektare | +4 ton/ha (80%) |
| Rata-rata Keuntungan Petani | Rp 10 juta per hektare | Rp 24 juta per hektare | +Rp 14 juta/ha (140%) |
Sumber: Data Program Makmur PT Pupuk Indonesia (Persero) (diolah dari rilis media dan laporan terkait Program Makmur di berbagai lokasi seperti Banyuwangi).

Di Ciamis, Jawa Barat, seorang petani bernama Kamaludin merasakan manfaat lain dari ekosistem ini. “Manfaat dari kami bergabung Makmur itu pertama kami mendapatkan pengetahuan mengolah tanah, serta teknologi,” katanya. Kelompok taninya mendapat pendampingan untuk mengakses teknologi irigasi modern yang mampu memangkas biaya pengairan dari Rp3,6 juta menjadi hanya sekitar Rp600 ribu per bulan.
“Kami bisa menghemat 3 juta per masa tanam,” tambah Kamaludin. Penghematan biaya ini langsung menjadi keuntungan tambahan yang bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga atau reinvestasi di lahan.
Apa rahasia di balik keberhasilan ini? Program Makmur (Mari Kita Majukan Usaha Rakyat) bukan sekadar program penyaluran pupuk. Ia adalah sebuah orkestrasi ekosistem yang menghubungkan petani dengan semua elemen yang mereka butuhkan untuk berhasil.

Pupuk Indonesia berperan sebagai dirigen yang menyatukan berbagai pemain: perbankan (untuk menyediakan akses permodalan yang mudah), lembaga asuransi (untuk melindungi petani dari risiko gagal panen akibat cuaca atau hama), penyedia teknologi pertanian, dan yang terpenting, pembeli hasil panen (offtaker) yang memberikan jaminan pasar dengan harga yang wajar.
Dengan ekosistem ini, status petani berubah. Dari sekadar buruh di lahannya sendiri, mereka bertransformasi menjadi manajer agribisnis yang berdaya. Mereka kini memiliki akses terhadap pengetahuan, modal, teknologi, mitigasi risiko, dan kepastian pasar—lima pilar yang selama ini menjadi kemewahan bagi petani kecil.

Hingga akhir 2024, ekosistem ini telah merangkul lebih dari 170 ribu petani di lahan seluas lebih dari 451 ribu hektar, mencakup komoditas strategis seperti padi, jagung, tebu, hingga kopi.
Kisah Sucipto dan Kamaludin adalah bukti hidup bahwa untuk membangun kedaulatan pangan nasional, negara harus terlebih dahulu membangun kedaulatan di tingkat petani. Ketika petani sejahtera, produktif, dan berdaya saing, mereka tidak hanya mampu menghidupi keluarga mereka, tetapi juga menjadi pilar yang kokoh untuk menopang lumbung pangan bangsa.
Program Makmur telah membuktikan bahwa mengubah tanah yang masam menjadi laba yang manis bukan lagi sekadar impian, melainkan sebuah kenyataan yang bisa direplikasi di seluruh penjuru negeri. Inilah fondasi sesungguhnya dari Indonesia yang berdaulat pangan.

























