Tak ada yang tahu ke mana perginya anak kecil penggenggam duri Mawar. Penduduk negeri itu hanya tahu, setiap tetes darah jemarinya, dijemput matahari sebelum menyentuh tanah, diterbangkan angin menjadi awan. Sebagian jelma kupu-kupu dan kunang-kunang. Awan menghujan, hujan membadai, badai dan guruh mendamaikan keriuhan. Negeri yang dulu gaduh kini sedamai subuh.
Tak ada yang tahu ke mana perginya anak kecil penggenggam duri Mawar. Penduduk negeri itu hanya tahu setiap kali badai berkunjung, kilatan halilintar tak lagi membutakan, dalam badai mengenal keheningan. Melupakan kegaduhan suara sendiri, menikmati bisikan mesra hati nurani.
Tak ada yang tahu ke mana perginya anak kecil penggenggam duri Mawar. Penduduk negeri itu hanya tahu semenjak kepergiannya, setia angin mengantar wangi Mawar ke sudut-sudut negeri. Ratusan kupu-kupu, mungkin ribuan, beterbangan mengiringi angin. Kadang hinggap di hidung bayi yang baru lahir, di gagang kursi taman, menemani sepasang kekasih mengenang masa mengolah hidup berdua, sebelum waktu melunaskan tugas mereka.
***
Tak ada yang tahu dari mana asal gadis kecil itu. Penduduk negeri hanya tahu, ia menari riang dalam badai. Hingga matahari menjulurkan benang cahaya untuknya.
Di depan gunung, di balik pekatnya batang pinus, tersembunyi kebun Mawar yang menebar wangi ke sudut-sudut negeri. Kini hampir seluruh layu. Pada setangkai Mawar terakhir yang mekar. Gadis kecil itu melirihkan kidung.
sampai atau tak sampai
rindumu seharusnya mengungkap siapa
kini tak penting lagi sejak aku di sini
rindumu menjenguk hati sepenjuru negeri
kepergiannya telah melukai
aku akan kembali sepulang mengobati
Di depan gunung, di balik pekatnya batang pinus, tersembunyi kebun Mawar yang menebar wangi ke sudut-sudut negeri. Mawar terakhir meluruhkan sehelai kelopak bunga. Gadis kecil meraihnya sebelum jatuh ke tanah.
Di bawah setangkai Mawar terakhir yang mekar. Terbaring jasad seorang anak kecil, tangannya erat menggenggam duri Mawar. Tidak ada yang tahu dia siapa, mungkin namapun tak punya.
Ia telah meninggalkan para demonstran. Meninggalkan para seniman. Meninggalkan para cendekiawan. Meninggalkan para raja. Meninggalkan para begawan. Meninggalkan semua kepura-puraan dan kebodohan. Meninggalkan pesan dalam wangi Mawar yang terbawa angin ke seluruh negeri, “Tidakkah kalian ingin menanam bunga ini. Lihatlah, sebentar lagi ia akan layu”.
***
Di padang rumput hijau, seorang perempuan menahan perih membasuh duri di kaki. Ia menggumam, mungkin berdoa. Aku tahu siapa gadis kecil yang berjanji membawakan kelopak Mawar pengobat luka. Ia melewati musim, berkawan badai dan matahari, untuk akar yang tak mengenal musim. Ia alasan Mawar terakhir menolak mati dan melukai setiap kali coba kupetik. (AB)
***