Di tengah hiruk pikuk perbincangan mengenai kondisi bangsa, ada satu pepatah bijak dari Makassar yang mungkin dapat menjadi cermin refleksi bagi kita semua. Pepatah tersebut berbunyi,
“Teako Doraka ri Ammaknu, natabako sassang sallang Nak, punna anggappa jako singarak, mingka singarak kanjoli.”
Artinya, jangan durhaka pada ibumu, nanti kamu ditimpakan kegelapan, kalaupun ada cahaya yang bisa kau temukan, itu hanyalah kelip cahaya lampu teplok—lampu minyak bersumbu yang cahayanya tidak seberapa, kelap-kelip dan mudah padam.
Kegelapan sebagai Konsekuensi Kedurhakaan
Pepatah ini mengandung kearifan filosofis yang mendalam dan relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Seorang anak yang durhaka pada ibunya akan hidup dalam kegelapan, dengan cahaya minim yang hanya memungkinkannya melakukan aktivitas yang sangat terbatas jangkauannya. Ibarat lampu teplok, penglihatan kita menjadi sempit dan terbatas, hanya mampu menerangi area kecil di sekitar kita.
Kondisi ini persis menggambarkan bagaimana para pemangku kepentingan negara—eksekutif, yudikatif, legislatif, media massa, dan buzzer media sosial—seringkali terjebak dalam aktivitas-aktivitas yang hanya mengatasi “simptom” permasalahan. Keterbatasan cahaya membuat kita tidak mampu menjangkau atau melihat sumber masalah yang sebenarnya, yang berada di luar jangkauan terang cahaya teplok. Suluh pendidikan dan pengetahuan yang diharapkan menjadi sumber terang terakhir, pun redup, beberapa bahkan padam.
Fakta lain yang mengindikasikan kegelapan, di mana kaum penguasa kegelapan bisa bergerak dengan sangat leluasa. Maling, rampok, begal, penipu, preman, mafia, dan koruptor merajalela nyaris tak tersentuh hukum, terutama koruptor.
Sibuk dengan Simptom, Abai pada Akar Masalah
Selama beberapa dekade terakhir, ada banyak contoh dan bukti bagaimana para pemangku kepentingan negara ini disibukkan oleh simptom, tanpa pernah menyentuh dan menyelesaikan akar permasalahan. Lebih memprihatinkan lagi, dalam keterbatasan cahaya penerang tersebut, seringkali terjadi “main mata” antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Jika nafsu ingin segera menyelesaikan simptom yang terlanjur viral tidak diakomodir oleh undang-undang dan peraturan yang ada, maka solusinya bukan mencari cara yang lebih mendasar, tetapi justru mengubah peraturannya.
Praktik-praktik seperti ini jelas menunjukkan kedurhakaan terhadap “Ibu Pertiwi”—tanah air yang seharusnya dirawat dan dijaga. Ibu Pertiwi adalah ibu kandung rakyat jelata, yang memiliki “anak angkat” berupa eksekutif, yudikatif, legislatif, media massa. Mereka diangkat dan dikontrak dalam jangka waktu tertentu untuk melayani dan menjaga kepentingan sang ibu dan anak-anak kandungnya.
Namun, apa yang terjadi? Saudara angkat ini justru durhaka pada ibunya, karena tindakan-tindakannya menyengsarakan anak kandung Ibu Pertiwi. Sumber daya negara dan sumber daya alam dikuras bukan untuk dan demi rakyat jelata, tetapi untuk kepentingan-kepentingan yang jauh dari kesejahteraan bersama.
Jalan Kembali menuju Cahaya
Meminta maaf adalah langkah pertama untuk kembali ke jalan yang benar. Namun, berhubung Ibu Pertiwi adalah simbolik, meskipun dampak kedurhakaan kepadanya sangat nyata, maka para “anak durhaka” ini perlu melompat ke langkah kedua. Mereka perlu membuktikan bahwa permintaan maaf mereka tulus dan sungguh-sungguh dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama dan memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.
Menuju Indonesia yang Terang
Indonesia memerlukan pendekatan filosofis yang mendasar untuk keluar dari kegelapan ini. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh semua pihak:
- Bagi Eksekutif: Fokus pada kebijakan yang menyentuh akar permasalahan, bukan sekadar meredakan gejolak permukaan. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap pengambilan keputusan.
- Bagi Yudikatif: Tegakkan keadilan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sejati, bukan berdasarkan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pastikan bahwa hukum tidak tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
- Bagi Legislatif: Formulasikan undang-undang yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan pada kelompok atau kepentingan tertentu. Hindari praktik “jual beli” pasal dan ayat demi kepentingan jangka pendek.
- Bagi Media Massa: Kembalilah pada fungsi sejati media sebagai penyampai kebenaran dan pendidik masyarakat. Jangan sekadar mengejar sensasi dan rating, tetapi berkontribusilah pada pencerahan publik.
- Bagi Buzzer Media Sosial: Gunakan pengaruh digital untuk menyebarkan kebenaran dan nilai-nilai positif, bukan untuk memanipulasi opini publik demi kepentingan tertentu.
- Bagi Rakyat Jelata: Tingkatkan literasi dalam segala bidang—politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Jangan mudah terprovokasi dan selalu bersikap kritis terhadap informasi yang diterima.
Dengan kesadaran bersama dan tekad yang kuat, kita dapat mengubah cahaya teplok menjadi cahaya terang yang menerangi seluruh penjuru negeri. Kita dapat keluar dari kegelapan yang disebabkan oleh kedurhakaan, menuju Indonesia yang terang, adil, dan sejahtera. Indonesia yang dibangun bukan di atas kepentingan segelintir pihak, tetapi di atas kecintaan pada Ibu Pertiwi dan kasih sayang pada sesama anak bangsanya.