Wartakita – Pada usia puber, hampir semua remaja laki-laki pernah memiliki keinginan menjadi yang terjago, terhebat, terlaki di kelompok atau di lingkungan rumah maupun sekolahnya. Usia di mana produksi hormon testosteron meningkat pesat. Termasuk pada remaja di kota Makassar tahun 1990an, kompensasi remaja laki-laki puber yang ingin menjadi yang ‘terlaki’ tidak jauh dari ingin paling berani tanpa tanding.
Fenomena sosial kini berupa komunitas dengan kegiatan positif belum ada. Kalau geng berandalan dan preman banyak. Kelompok pencinta alam WANADRI satu-satunya komunitas yang bisa bergaung skala nasional di jaman yang kecepatan beritanya kejadian kemarin terbit di koran hari ini.
Tahun 90an adalah masa keemasan para predes (preman desa), prekom (preman komplek), pelor (preman lorong), dan jawara yang memiliki wilayah jajahan seperti di daerah Bara-barayya ada Ali Joja, di lapangan Karebosi ada Tata’ Sarailla, dan lain-lain.
Tidak terkecuali penulis terkena imbasnya menerjemahkan ‘laki-laki’ adalah seseorang yang paling berani, sruduk dulu benjol belakangan (ejapi na doang). Meski sempat bercita-cita mau memiliki wilayah jajahan, tapi belum senekat kawan-kawan yang menempuh berbagai cara menjadi yang terlaki, termasuk dengan jampi-jampi dan mustika.
Anti gores yang biasa dipasang ke layar ponsel pintar teknologi lama. Bila ajian dan mustika sudah dipakai, kulit lebih liat dari rompi anti peluru. Anti gores di ponsel dengan pisau masih sobek, anti gores milik mereka tidak mempan.
Seandainya syarat terakhir sebelum sah dibalut ‘anti gores’ bukan menduduki sisi tajam sebilah parang panjang dalam keadaan telanjang, penulis pasti ikut. Hanya laki-laki egois yang mau pertaruhkan perkakas yang kelak akan dimiliki berdua dengan istri, hanya untuk ‘anti gores’.
Logikanya bila tidak kebal besi, besi harus dilawan dengan besi. Setelah tanya sana-sini mana badik yang cocok, ada satu jawaban yang mirip dengan prinsip mendiang sutradara Arifin C. Noer saat mencari aktor pemeran filmnya. Biarkan skenario yang mencari aktor yang cocok. Badik yang akan mencari pemiliknya.
Sebilah badik antik dan kuno mendadak dipercayakan oleh ibu seorang sahabat, koleksi mendiang ayahnya. Belum ada yang tidak takjub saat melihat urat dan pamornya yang berkaligrafi. Apalagi selama kubawa kemana-mana, traveling dengan kapal laut, kena razia kendaraan bermotor, lolos. Dibawa tawuran, selalu batal. Makin yakin besi ini memang berjodoh denganku. Tiga sampai empat tahun kubawa kemana-mana hingga suatu waktu bertemu seorang arif yang baru pulang berhaji, tanpa kuberi tahu dia tahu di pinggangku terselip sebilah badik.
“Simpan, jangan kau bawa lagi.” Katanya tanpa memintaku keluarkan badik dari pinggang dan perlihatkan pamornya seperti orang-orang yang pernah kutemui sebelumnya. Dia mengangkat singletnya perlihatkan luka bekas tusukan di perut dan punggungnya. “Saya dulu berprinsip seperti kau, ketimbang ditikam lebih baik menikam. Hasilnya luka-luka ini.”
“Tapi badik ini beda, belum sekalipun ketemu lawan, bahkan lawan dijadikannya kawan.” Saya ngotot.
“Soal waktu. Persoalan yang datang sesuai dengan kapasitas seseorang. Bila kau bawa besi, suatu hari persoalan yang datang menuntut kapasitasmu yang berbesi.” Katanya serius. Tidak menunggu lama badik itu kupulangkan, sekalipun yang memberi ingin saya yang menyimpan.
***
Operation Lifeline Helps Displaced People in Southern Sudan (Image: UN Flickr)
Ada pepatah kuno: “Pedang di masa damai bisa digunakan memotong sayuran, di masa perang digunakan berperang.” Pepatah yang seolah menganggap lebih baik menguasai ilmu pedang yang bisa digunakan di dua keadaan, ketimbang hanya tahu satu keahlian yang cuma bisa dipakai di satu keadaan.
Scenes from Zaatari Refugee Camp, JordanA young girl holds a smiling infant at the Zaatari Refugee Camp, located near Mafraq, Jordan. The settlement has grown to house nearly 80,000 Syrian refugees since it opened in 2012.
UN Photo/Mark Garten
Membaca kisah-kisah pasukan perdamaian PBB, termasuk dari kisah salah seorang kawan SD yang tahun 2008 lalu bertugas di Afganistan, bagai melihat ejawantah pepatah tersebut. Pasukan yang tugasnya memastikan tidak terjadi (lagi) perang.
Meskipun saat ini masih dianggap amat naif bila meyakini kondisi terbaik adalah tanpa senjata sama sekali, agar persoalan yang kelak datang sesuai kapasitas yang tak bersenjata. Kondisi yang ada sekarang dengan optimistik bisa dianggap proses antara sebelum senjata tidak lagi menjadi pilihan menyelesaikan konflik.
Secretary-General and World Bank President Visit Zaatari Refugee Camp, Jordan (Image: UN Flickr)Pasukan penjaga perdamaian PBB bukanlah obat penghilang symptoms (gejala) dari penyakit yang sengaja kita ciptakan. Pasukan perdamaian PBB hanya bisa menjaga perdamaian sesuai tugasnya, namun menciptakan perdamaian adalah tugas semua manusia.