Pada konferensi perubahan iklim global di Paris barusan (1/12), para negara peserta (COP21) konferensi internasional termasuk Indonesia, sepakat kenaikan suhu permukaan bumi tahun depan (2016) dipertahankan maksimal 2 derajat celcius. Beberapa negara bahkan ingin agar lebih rendah, kenaikan suhu permukaan bumi yang dibolehkan hanya 1,5 derajat celcius.
Indonesia mengambil 1.5 sebagai daerah “hati-hati” dan 2 derajat sebagai “bahaya”. Agar pembangunan fisik tetap berlangsung. Sesuai hukum fisika, setiap gerakan, aksi, dan konversi hampir selalu diikuti dengan pelepasan panas. Upaya mengerem pemanasan suhu permukaan bumi yang disepakati di Paris amat realistis. Bila belum bisa menurunkan suhunya, setidaknya perlambat.
Kita Bisa Lebih
Lebih dari sekedar perlambat kenaikan suhu permukaan bumi, sampai menurunkan. Di konferensi resmi lazim bila hanya membicarakan hal-hal formal, bila tidak bisa disebut basa-basi. Maklum, amat panjang rantai proses antara komitmen yang disepakati dengan aksi nyata, banyak kepentingan di sana. Dari kepentingan industri, pelaku bisnis, NGO sampai pertumbuhan ekonomi nasional.
Berbeda bila aksinya bersifat individu, orang-per-orang melakukan hal yang sama. Apa yang tidak terjangkau oleh kesepakatan COP21, apa yang butuh waktu dan proses panjang untuk diwujudkan COP21, ambil alih. Masih banyak penyumbang kenaikan suhu permukaan bumi yang belum terjangkau oleh COP21.
Mestinya begitu sesama penghuni bumi dalam menjaga huniannnya. Lakukan apa yang masih bisa dilakukan. Tidak pasif menunggu aksi heroik COP21, jadilah pahlawan itu sendiri. “Heroes, We Could Be.”
Keserakahan, kebencian, amarah dan dendam tidak dimasukkan karena sulit mencari bentuk konkritnya. Bagaimana semua hal tersebut menyumbang panas, bagaimana mengukurnya.
Sebenarnya mudah, dalam setiap peperangan keserakahan, kebencian, amarah dan dendam memiliki andil besar. Bisa diukur berapa derajat celcius andil setiap letupan mesiu, ledakan granat dan hantaman bom terhadap kenaikan suhu permukaan bumi.
Menghentikan peperangan yang berkecamuk di beberapa belahan bumi, COP21 belum tentu mau dan mampu, namun setiap manusia di bumi bisa mencegah dan menghentikan. Rangkul kemarahan, kebencian dan dendam di sekitar, sejukkan dengan cinta. Utopis? Tidak.
Secara personal setiap saat manusia melakukannya, bagaimana kendalikan keserakahan, amarah, kebencian, dan dendam dengan skala yang berbeda-beda tiap orang. Mereka yang bisa menahan diri tidak meletupkan amarah sebesar gunung, berbagi pengalaman pada yang sedang berjuang agar tidak membunuh semut yang menggigit pipinya.
Sambil memberi waktu pada diri sendiri memahami bagaimana keserakahan, kebencian, amarah dan dendam punya andil yang tidak kalah besar dengan deforest-sasi, emisi gas buang, dan hal nyata lain pada kenaikan suhu permukaan bumi, bisa dimulai sekarang lakukan hal-hal kecil keseharian. Kurangi penggunaan kantong plastik, lebih banyak gunakan angkutan umum, mulai gunakan sumber energi listrik yang ramah lingkungan. Dan masih banyak hal lain dari ujung kepala sampai ujung kaki yang sebenarnya menyumbang kenaikan suhu permukaan bumi.
Untuk Indonesia misalnya yang memiliki hutan hujan terbesar di dunia, sekaligus penyumbang emisi karbon terbesar musiman, saat musim membuka lahan dengan membakar hutan. Siapkan satu bibit pohon di pos pelaporan sebelum mendaki, satu orang pendaki membawa satu bibit pohon ke atas gunung yang didakinya.
Sebagai contoh, gunung Bawakaraeng di kabupaten Gowa Sulawesi Selatan pada tahun 1998 truk pengangkut hasil hutan sudah masuk sampai pos III, kabar terakhir kini masuk sampai pos V menuju pos VI. Baru sebagian kecil pendaki yang berhasil menaikkan kadar kecintaannya pada gunung, dari eksistensi sebagai pendaki, kemudian penikmat, lalu ikut menjaga.
Bila di setiap gunung disiapkan satu bibit pohon untuk satu pendaki. Atau lebih baik lagi jadi syarat, setiap pendaki harus membawa satu bibit pohon dan menanamnya di wilayah gunung yang telah dipetakan sebelumnya, sebagai syarat untuk bisa mendaki, proses kesadaran bagaimana menjaga alam akan dipercepat. (AB)