JAKARTA – Menurut data layanan pemantau iklim Uni Eropa, pertama kalinya dalam sejarah, pemanasan global menembus ambang batas 1,5 derajat Celcius sepanjang tahun ini.
Padahal berdasar Perjanjian Iklim 2015 di Paris, para pemimpin dunia berjanji untuk berupaya membatasi kenaikan suhu global jangka panjang di angka 1,5 celsius.
Batas ini dinilai krusial guna menghindari dampak paling merugikan dari perubahan iklim.
Suhu global di atas 1,5 celsius sepanjang tahun ini harus menjadi perhatian dunia supaya tidak menjadi jangka panjang.
Para ilmuwan menyebut tindakan segera untuk mengurangi emisi karbon masih dapat memperlambat pemanasan.
“Kenaikan di atas (ambang batas pemanasan suhu 1.5 celsius) dalam rata-rata setahun adalah signifikan,” ujar Prof. Liz Bentley, direktur eksekutif Royal Meteorological Society kepada BBC.
“Lagi-lagi sebuah kemunduran. Tetapi kita tahu apa yang harus dilakukan,”sambungnya.
Menahan kenaikan suhu rata-rata global di angka 1,5 celsius– di atas tingkat peningkatan suhu setelah pra-era industrialisasi atau sebelum manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil secara masif – telah menjadi simbol upaya dunia internasional untuk menangani masalah perubahan iklim.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), mengatakan dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan. Menurutnya, dampak tersebut juga mengancam Indonesia.
“Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan, telah mendorong perubahan iklim pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ungkap Dwikorita dalam keterangannya, dikutip Minggu (11/2/2024).
Fakta perubahan iklim global
Dwikorita menegaskan perubahan iklim global bukanlah kabar bohong atau hoaks. Menurutnya, ini merupakan hal yang sepele.
Berdasarkan data Badan Meteorologi Dunia (WMO), 2023 merupakan tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Dwikorita menerangkan, telah terjadi anomali suhu rata-rata global mencapai 1,40 derajat celcius di atas zaman pra industri.
Angka tersebut hampir menembus batas yang disepakati pada Paris Agreement tahun 2015, yakni dunia harus menahan laju pemanasan global maksimal 1,5 derajat celcius.
Terjadi rekor bencana di Eropa dan Asia
Dalam kesempatan itu, Dwikorita menyebut, terjadi rekor bencana heat wave ekstrem yang melanda Asia dan Eropa. Menurutnya, bencana tersebut bukan hal kebetulan.
“Rekor iklim yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata,” kata dia.
“Maka dari itu, perlu langkah atau gerak bersama seluruh komponen masyarakat, tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi, media, LSM, dan lain sebagainya,” sambungnya.
Apabila ambang batas dalam sistem iklim ini dilampaui, maka akan dapat memicu perubahan yang pesat dan tak terbalikkan.
Prof Bentley memberi contoh sebagai berikut: kalau lapisan es di Greenland dan Antartika Barat melewati titik kritis, maka berpotensi mengakibatkan keruntuhan tak terkendali yang akan menyebabkan kenaikan permukaan laut global “dan membawa bencana” selama berabad-abad lamanya.
Meskipun demikian, para peneliti menekankan bahwa umat manusia masih bisa membuat perubahan.
Dunia sejatinya sudah membuat kemajuan. Teknologi hijau seperti energi terbarukan dan kendaraan listrik yang berkembang pesat di banyak belahan muka bumi, misalnya.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan dan janji-janji yang ada saat ini, skenario-skenario terburuk pemanasan global yakni 4C atau lebih pada abad ini – yang 10 tahun lalu dianggap bisa terjadi – sekarang dinilai jauh lebih kecil kemungkinannya.
Barangkali yang paling menggembirakan adalah perkiraan bahwa dunia kurang lebih akan berhenti memanas setelah emisi karbon nol tercapai.
Pengurangan emisi secara efektif sampai setengahnya dalam dekade ini dipandang krusial.
“Kita sesungguhnya bisa mengontrol seberapa besar pemanasan yang dialami dunia sesuai dengan pilihan-pilihan kita sebagai masyarakat, dan sebagai sebuah planet,” kata Zeke Hausfather, ilmuwan iklim dari Berkeley Earth.
“Kehancuran bukanlah sesuatu yang tak terhindarkan,” pungkasnya.