Makassar – Sebagai bagian dari rangkaian Dies Natalis ke-68 Universitas Hasanuddin, sosok Jenderal Jusuf akan dibahas dalam Seminar Internasional bertajuk Prinsip dan Karakter Bugis-Makassar: 4 Ethos 4 Jusuf, sebuah momen refleksi terhadap kiprah dan prinsip hidupnya yang luar biasa.
Jenderal TNI Purn Andi Muhammad Jusuf Amir, atau lebih dikenal dengan Jenderal Jusuf, adalah sosok legendaris dalam sejarah militer Indonesia. Kehidupannya penuh dengan cerita yang menggambarkan keteguhan, kesederhanaan, dan komitmen terhadap prajurit serta bangsa.
Salah satu kisah yang terus diingat dari Jenderal Jusuf adalah sikapnya yang peduli pada prajurit. Meski menempati berbagai posisi strategis dalam pemerintahan, termasuk sebagai Panglima ABRI dan Menhankam, Jusuf tetap hidup sederhana.
Bahkan, dia dikenal sebagai jenderal yang tidak pernah tergoda bermain golf, berbeda dari para pejabat tinggi lainnya. Saat menjabat Pangdam XIV Hasanuddin, Jusuf sering turun langsung ke barak-barak prajurit untuk memerhatikan kesejahteraan mereka. Kedekatan ini menjadikannya sosok yang sangat dihormati di kalangan militer.
Namun, keteguhannya juga pernah membuat suasana politik menjadi tegang. Salah satu momen yang paling terkenal adalah saat Jenderal Jusuf menggebrak meja dalam sebuah rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Momen ini terjadi di tengah desas-desus bahwa Jusuf sedang membangun kekuatan internal militer untuk ambisi politiknya. Spekulasi ini muncul karena perhatian besar Jusuf terhadap prajurit, yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai upaya menggalang dukungan.
Pada malam itu, Soeharto mengumpulkan para pejabat tinggi negara di kediamannya di Jalan Cendana. Isu yang diangkat dalam rapat tersebut adalah tentang popularitas Jenderal Jusuf yang kian meningkat, dan rumor bahwa dia berencana menggalang kekuatan untuk menjadi presiden.
Mendengar isu tersebut, Jusuf tak tinggal diam. Dengan emosi, dia menggebrak meja dan membantah tuduhan tersebut dengan tegas.
“Bohong! Itu tidak benar semua!” seru Jusuf dengan suara lantang. “Saya ini orang Bugis. Saya hanya menjalankan perintah Presiden sebaik-baiknya, tanpa tujuan politik apapun!” Pernyataan itu mengejutkan seluruh peserta rapat, termasuk Presiden Soeharto.
Tidak ada yang pernah berani berbicara sekeras itu di hadapan Pak Harto. Suasana yang tegang pun akhirnya diakhiri oleh Soeharto dengan menutup rapat secara singkat.
Meski hubungan Jusuf dan Soeharto menjadi lebih dingin setelah peristiwa tersebut, Jusuf tetap menunjukkan loyalitas dan dedikasi pada tugasnya. Hingga pada tahun 1983, Soeharto menunjuk Jenderal Jusuf sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebuah posisi penting yang dijabatnya hingga 1993.
Hubungan profesional antara keduanya memang mengalami dinamika, tetapi Jusuf selalu mendapatkan penghormatan dari Soeharto.
Salah satu momen yang memperlihatkan betapa hormatnya Soeharto kepada Jenderal Jusuf terjadi ketika Jusuf ingin menghadap Soeharto pada suatu malam. Ajudan Soeharto, Kolonel Wiranto, menginformasikan bahwa Presiden sedang ada pertemuan dengan Panglima ABRI dan para kepala staf.
Namun, ketika Soeharto mendengar bahwa yang ingin bertemu adalah Jenderal Jusuf, dia langsung memutuskan untuk memprioritaskan Jusuf terlebih dahulu. “Biar Panglima menunggu. Kalau Pak Jusuf yang minta, pasti itu penting,” ujar Soeharto dengan tawa kecil.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Kepala BPK, Jenderal Jusuf memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Makassar. Di sana, ia menjalani sisa hidupnya dengan tenang hingga menghembuskan napas terakhir pada 8 September 2004. Meskipun sudah tiada, cerita tentang integritas dan loyalitasnya terhadap bangsa dan prajurit masih dikenang hingga hari ini.
Seminar tentang Jenderal Jusuf di Universitas Hasanuddin nanti akan menjadi momen penting untuk kembali mengenang prinsip hidup dan dedikasinya, terutama bagi generasi muda. Jenderal Jusuf adalah teladan yang menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya soal jabatan, melainkan tentang komitmen pada nilai-nilai luhur yang dipegang teguh sepanjang hidup.