Untuk seseorang yang dulu sering berjalan dan berbaur kemana-mana, walaupun masih di wilayah tanah air, bumi menjadi rumah kecil, atapnya langit, lantainya tanah yang dipijak, dan semua manusia yang ditemui adalah saudara serumah.
Makin sering bepergian, makin banyak identitas yang mulai mendinding pembatas kembali rubuh dan sesap ke dalam diri. Nampak nyata perkembangan proses mencari diri sendiri, dari butuh pengakuan manusia lain menjadi harus mengakui diri sendiri. Ada banyak pengakuan yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan langsung, ternyata selama ini kutuntut, kucari dan kuminta pada manusia lain.
Dalam bilik yang bernama Indonesia di rumah besar Bumi, di antara saudara seibu pertiwi, kutemukan betapa banyak salah kaprah terhadap identitas dan entitas. Tuntutanku agar orang lain menerima perbedaan ternyata ciri diriku sendiri belum mampu menerima aku dan tiap orang berbeda, bahwa setiap pribadi ditakdirkan lahir di lingkungan suku dan budaya yang berbeda dengan yang lain.
Zaman berubah, berjalan tak harus lagi melangkahkan kaki, dengan internet pikiran keliling dunia. Bumi benar-benar rumah kecil, tak hanya seatap dengan sesama manusia tapi juga seluruh makhluk dan ciptaan lain. Makin banyak dinding identitas yang rontok.
Kemuhammadiyahan yang kental dari ibu dan bapak lebur dengan seloroh cerdas kaum Nadhliyyin. Pengantar tasawuf dari mendiang guru mengaji, buku karya imam Al Ghazali dan Buya Hamka bersalaman dan berpelukan dengan kitab-kitab ulama Salaf, menyaksikan kekayaan cara mengungkapkan cinta kepada Tuhan.
Identitas keislamanku bertemu kearifan Buddha dan Hindu di Ubud. Berpelukan dengan cinta kasih pengikut Kristus ketika seorang biarawati terjatuh di eskalator bandara karena berusaha meraih boarding pass yang terlepas dari tanganku. Islam yang agama akal mau dan mampu berdialog dengan kaum Atheis. Saya benar-benar merasa menemukan bilik-bilik kecil penuh kedamaian dan cinta dalam satu rumah riuh bernama Bumi.
Ternyata beragam identitas yang selama ini kujadikan baju dan dinding pembatas, lebih bermanfaat untuk diri sendiri dan sesama ketika menjadi lentera dalam diri yang menerangi laku.
Di internet bertemu virtual dengan orang-orang yang berpendar lebih terang, lebih sejuk dan lebih damai dengan cahaya yang spektrumnya berasal dari kitab-kitab yang juga pernah kubaca, salah satunya kitab Al-Hikam karya Ibnu Ataillah Radiyallahu Anhu.
Alinea pertama hingga sebelum ini bisa kutuliskan setelah mengaji pada spektrum mendiang KH. Hasyim Muzadi, tulisan-tulisan dan tafsirannya pada cahaya Ilahiah yang berpendar lewat kitab Al-Hikam. Selamat jalan Kyai.