Kamis, 1 Juni 2023
  • kontak
  • beriklan
  • privasi
  • perihal
wartakita.id
  • BERANDA
  • PERUBAHAN IKLIM
  • DUKUNG UMKM
  • KONTAK
  • LAYANAN
No Result
View All Result
wartakita.id
  • BERANDA
  • PERUBAHAN IKLIM
  • DUKUNG UMKM
  • KONTAK
  • LAYANAN
No Result
View All Result
wartakita.id
No Result
View All Result
ads ads ads
Home Esai

Tidak Terlalu Cepat Untuk Lailatul Qadr

21 April 2021
in Esai
Reading Time: 7 mins read
A A
Tidak Terlalu Cepat Untuk Lailatul Qadr

Purnama di Masjid Raya Makassar Ramadan 1433H / Juli 2015 Masehi (+ filter cosmic)

Perupa di kota Makassar awal tahun 90an hingga satu dekade setelah milenium baru sudah biasa dengan perkubuan, kubu senior dan junior juga kubu musiman karena berbeda pilihan politik, kubu aliran seni rupa, yang kental kubu seniman jalur akademik dan jalur otodidak.

Kubu-kubu ini biasanya lebur secara alami ketika bersentuhan dengan kepentingan yang lebih besar. Ketika perupa Sulawesi Selatan diundang pameran bersama, maka yang ada hanya satu kubu, yaitu kesamaan letak geografis di mana mereka lahir, besar, belajar, atau berkarya.

Asib Ali Bhore

Belikan Anak-Anak Komputer, Informatika Nanti Jadi Kebutuhan Manusia Keempat

Agama dan Kejadian Alam

Agama Islam sebagai ilmu pengetahuan pun tidak luput dari dikotomi jalur akademik (juga nasab) dan jalur otodidak. Batas antara jalur-jalur tersebut lebih cair ketimbang yang dialami oleh para perupa, karena ulama kitab maupun ulama hikmah tetap saling bertukar kebaikan, hikmah dan pelajaran dengan kesamaan perspektif, semua yang baik-baik asalnya dari Allah, bukan dari kitab-kitab bacaan, mubalig dan ulama panutan, yang sesekali menjadi jalan bagi ilmu dan hikmah dari Allah Ta’ala.

Lepas dari motivasi dan niat masing-masing mengapa mendalami agama Islam berikut jalan yang dipilih sendiri atau (sebenarnya) dipilihkan Tuhan, saat bertemu tujuan akhir mengapa beragama, menggapai ridha Tuhan melalui akhlakul kharimah yang membuat hidup dan diri seorang Muslim menjadi agen kasih sayang untuk alam semesta, tidak nampak lagi dulu belajar agama agar bisa meraih ridha Tuhan, dari jalur akademik atau jalur nonformal.

Meraih Lailatul Qadr atau malam yang setara 1000 bulan di tahapan ikhtiar, bisa sangat berbeda bentuknya antara yang mengenal cara meraihnya melalui jalur akademis dengan yang jalur otodidak. Kedua model ikhtiar meraih Lailatul Qadr sama baik dan sama efektif, minimal karena keduanya mendasarkan ikhtiar pada asal muasal dan tujuan mengapa ada satu malam di bulan Ramadan yang lebih baik dari seribu bulan.

Pada sebuah riwayat disebutkan baginda Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam mendadak berwajah murung ketika mengetahui ada umat Nabi Musa Alaihisalam dari Bani Israil yang selama 80 tahun sanggup tidak berbuat maksiat dan dosa, di malam hari ia sibuk beribadah formal, di siang hari ia berjihad dengan urusan-urusan duniawi dengan membuat aktivitasnya bernilai ibadah. Melihat kekasih-Nya berwajah murung, Allah lalu memberi tahu baginda Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam bahwa umatnya, umat muslim, juga mampu meraih apa yang telah diraih oleh seorang Bani Israil tersebut, dengan menghadiahkan malam Lailatul Qadr yang bernilai lebih baik dari beribadah selama seribu bulan, adanya di bulan Ramadan. Kapan tepatnya malam Lailatul Qadr sebenarnya tidak ingin Allah rahasiakan. Namun, ketika akan disampaikan kepada Baginda Nabi, beberapa sahabat tengah berdebat dan berselisih paham, petunjuk konkret pun urung diberikan. Tidak putus asa, agar umatnya yang kerap disebut sebagai umat akhir zaman mampu meraih apa yang telah diraih oleh seorang Bani Israil selama 80 tahun istikamah, dalam waktu hanya semalam, Beliau Salallahualaihiwassalam mendapat ‘kisi-kisi’ adanya di malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Lebih terperinci lagi, antara malam 25, 27, dan 29 Ramadan setelah Rasulullah bermimpi ketika malam penuh kemuliaan itu tiba, wajahnya dipenuhi lumpur. Benar saja, di salah satu malam tersebut hujan turun dengan deras, dan wajah Beliau Salallahualaihiwassalam dipenuhi lumpur tanah masjid tempat Beliau sujud.

Secara rasa, wajar saja malamnya dirahasiakan, wong ahli ibadah dari Bani Israil butuh 80 tahun atau sekitar 960 bulan sebelum dibangga-banggakan Allah sebagai umat Musa yang saleh, kita yang diberi banyak kemudahan berkat kasih sayang Allah melalui kekasih-Nya Muhammad, sampai semua bisa masuk surga kecuali yang tidak mau, berburu semalam dari 30 malam tanpa kepastian kapan demi meraih keutamaan beribadah selama 1000 bulan, bukanlah sesuatu yang memberatkan. Harusnya.

Kami pernah mendengar penuturan dua orang yang kami yakini telah bertemu Lailatul Qadr, dan syukurnya keduanya menempuh jalan yang berbeda, satu mengikuti cara-cara akademis, dan satunya lagi dengan cara otodidak bermodalkan niat Wallahi, yang niat tersebut diakuinya juga datangnya dari Allah.

Kawan kami yang pertama, sebulan sebelum Ramadan tiba bahkan lebih lama lagi, sudah mulai melakukan sinkronisasi lahir dan batin. Menjaga asupan makanan dan minuman hanya yang baik sumber dan zatnya, begitu pula yang keluar dari tangan, lisan dan tulisannya, hanya yang baik dan bermanfaat. Infak, sedekah, puasa Rajab, Nisfu Sya’ban, salat lail dan tahajud semua ia laksanakan. Semakin intens saat memasuki bulan suci Ramadan. Di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, ia tak menyebut kapan tepatnya, seperti biasa usai salat Tarawih ia tidur sedikit sebelum bangun di sepertiga malam, melanjutkan amaliah Ramadan dengan salat tahajud. Alarm biologis membuatnya terbangun sekitar pukul satu malam.

Saat membuka mata, langit-langit dan atap rumahnya tidak ada, berganti langit malam penuh bintang bertaburan. Angin malam lembut dan sejuk membelai, membuatnya semakin bingung, apakah ia sedang bermimpi atau tidak. Sejurus kemudian dari langit ia melihat perlahan turun benang-benang cahaya, ratusan, ribuan, mungkin jutaan menjuntai dan membelai seluruh tubuhnya mengajak keluar dari selimut, bangkit dan menunaikan salat tahajud. Kawan kami yang mahir bertutur lisan dan tulisan dan memiliki kosa kata di atas rata-rata, menuturkan pengalaman bertemu malam 1000 bulan dengan indah, toh tetap menganggap keindahan pengalamannya malam itu tidak akan pernah mampu terangkum oleh kata. Wallahualam.

Kawan kami berikutnya, jika memakai kaca mata atau perspektif sebagian agamawan jalur akademik, sungguh tidak pantas meraih malam 1000 bulan. Syukurnya, cara Allah memandang manusia berbeda dengan cara kita pada umumnya, bersih dan lurusnya niat kerap kali lebih mampu mengantar menuju salat yang khusyuk ketimbang kesempurnaan bacaan dan gerakan.

Meski tidak menganggap pengalamannya tersebut sebagai pertemuan dengan malam 1000 bulan, kami beranggapan tidak demikian. Ia membantah, karena puasanya tidak sempurna, tarawihnya tidak lengkap, dan kejadian tersebut ia alami di siang hari. Kami menganggapnya bertemu malam 1000 bulan yang datang kesiangan untuknya dengan dua bukti. Pertama ia tidak sedang dalam keadaan berselisih paham atau bermusuhan dengan siapa pun, sebab petunjuk kapan tepatnya Lailatul Qadr itu turun urung disampaikan. Bukti kedua, peristiwa tersebut membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, belum sampai ke akhlakul karimah atau akhlak mulia, tetapi ada satu hal yang menjadi persamaan antara kawan kami yang pertama dengan dirinya, setiap kejadian sudah dengan sepengetahuan Allah Ta’ala, sekali pun berupa duka, derita, nestapa dan musibah, tidak menutup mata hatinya melihat sisi baik dari setiap ketetapan Allah. Cara pandang dan sikap yang rasa-rasanya hanya mampu dipahami dan diamalkan oleh para ahli ibadah yang puluhan tahun tidak lagi bermaksiat. Malamnya beribadah formal, siangnya jihad Fisabilillah bermuamalah, toh tetap mendapatkan ujian tanda perhatian dari Allah dan tetap mampu berbaik sangka.

Pada suatu siang yang terik di bulan Ramadan, sepulang dari tempat kerja, ban sepeda motornya bocor oleh paku. Qadarullah ia harus mendorong sepeda motor sembari berpuasa di bawah terik matahari tengah hari bolong. Setelah mendorong sekitar setengah jam, akhirnya bertemu bengkel tambal ban. Saat sedang menimbang-nimbang apakah akan ke warung sebelah membeli sebotol air mineral dingin atau melanjutkan puasa di bawah atap seng bengkel tambal ban yang membuat suhu udara semakin panas, tampak seorang bapak tua melintas di seberang jalan. Tanpa alas kaki menyusuri aspal panas, gelombang udara panas membuat fatamorgana berupa riak air di atasnya. Bergegas ia menyongsong si bapak, mengangsurkan sendal jepit berdebu sehabis mendorong sepeda motor, tetapi masih baru dan bagus.

“Berapa harganya? Kalau cuma sendal bekas saya mampu beli.” Jawabnya setelah melihat sepasang alas kaki yang diangsurkan kepadanya.

“Gratis.”

“Karena kasihan atau karena apa?”

“Lillahi Ta’ala, saya sedang berpuasa, bantu saya berbuat baik.”

Bapak itu tertawa terkekeh-kekeh berterima kasih lalu mengambil sepasang sendal yang kemudian ia pakai melangkah, kembali menyusuri aspal panas.

Satu kebaikan mengundang seribu haru yang mungkin setara dengan seribu sujud dan munajat khusyuk. Ia tidak sanggup menahan serbuan haru yang membongkar dan memasang ulang cara pandang pikiran dan perasaannya terhadap materi, kebahagiaan dan sumber kebahagiaan. Wallahualam.

Kami sendiri saat ini sedang ‘berburu’ malam 1000 bulan sejak hari pertama, ketimbang membayangkan wajah murung Baginda Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam adakah umatnya yang sanggup 80 tahun tanpa maksiat yang semua aktivitasnya bernilai ibadah sementara usia umatnya rata-rata 60an tahun, mending 30 hari berusaha tidak menyia-nyiakan peluang.

Walau belum seistikamah kawan kami yang pertama dan mungkin saja mendapat kesempatan seperti kawan kami yang kedua. Dapat atau pun tidak, suka-suka Allah Ta’ala. Namun, ada satu hal yang bisa diusahakan sendiri dan pasti dihargai Allah andai belum berjodoh dengan malam 1000 bulan, yaitu buah dari beribadah dan jihad Fisabilillah selama 1000 bulan berupa akhlak mulia menebar manfaat dan kasih sayang pada alam semesta.

Bagikan ini:

  • Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
Tags: Lailatul QadrRamadanTepekur

ARTIKEL TERKAIT

Asib Ali Bhore
Esai

Asib Ali Bhore

20 Februari 2023
Belikan Anak-Anak Komputer, Informatika Nanti Jadi Kebutuhan Manusia Keempat
Esai

Belikan Anak-Anak Komputer, Informatika Nanti Jadi Kebutuhan Manusia Keempat

19 Januari 2023
rekaman raqib dan atid
Esai

Agama dan Kejadian Alam

2 Desember 2022
Vaatu dan Raava
Esai

Vaatu dan Raava

30 Maret 2021

Catatan Perubahan Logo Wartakita.id

4 Maret 2021
Kecerdasan Buatan Tanpa Muatan Kepentingan Bisa Lebih Cerdas Dari Yang Membuatnya

Kecerdasan Buatan Tanpa Muatan Kepentingan Bisa Lebih Cerdas Dari Yang Membuatnya

24 Oktober 2020
https://www.youtube.com/watch?v=X4SEeEg658w
Bunda PAUD Kota Makassar dan 32 Kepsek Disambut Menteri Singapura Masagos Zulkifli

Bunda PAUD Kota Makassar dan 32 Kepsek Disambut Menteri Singapura Masagos Zulkifli

28 Mei 2023

Bunda PAUD Kota Makassar dan 32 Kepsek Belajar Inklusi dan Disabilitas di Singapura

27 Mei 2023

Diterima Dubes RI Untuk Singapura, Bunda PAUD Kota Makassar Bahas Pendidikan

25 Mei 2023

Bunda PAUD Kota Makassar Study Banding Bersama 32 Kepsek di Singapura

24 Mei 2023

Lautan Manusia Sambut Tim Nasional Indonesia U-22 di SUGBK

19 Mei 2023

Indira Yusuf Ismail Hadiri Hari Kesatuan Gerak PKK ke 51 di Medan

17 Mei 2023

ESAI REDAKSI

Asib Ali Bhore

Belikan Anak-Anak Komputer, Informatika Nanti Jadi Kebutuhan Manusia Keempat

Agama dan Kejadian Alam

Tidak Terlalu Cepat Untuk Lailatul Qadr

Vaatu dan Raava

  • kontak
  • beriklan
  • privasi
  • perihal

© 2021 wartakita media

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • BERANDA
  • PERUBAHAN IKLIM
  • DUKUNG UMKM
  • KONTAK
  • LAYANAN

©2021 wartakita media

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Go to mobile version