Idul Qurban bukan hanya soal daging, kambing, atau sapi. Ia adalah kisah keberanian melepaskan. Ia tentang hati yang merelakan—dengan sadar dan jernih—apa yang paling kita cintai demi sesuatu yang lebih luas, lebih tinggi, lebih dalam dari sekadar keinginan pribadi.
Kita mengenang Nabi Ibrahim bukan karena ia punya mimpi aneh menyembelih anaknya. Kita mengenangnya karena ia tidak lari dari mimpi itu. Ia berani bertanya, menimbang, lalu mengambil keputusan yang paling menyakitkan sekaligus paling jernih dalam hidupnya: mengorbankan yang paling ia sayangi demi kepercayaan kepada yang Mahatinggi.
Di dunia hari ini, mungkin kita tak lagi disuruh menyembelih anak. Tapi tetap saja, hidup berkali-kali menyuruh kita menyembelih ego, ambisi, harta, bahkan cinta—demi nilai yang lebih luhur. Dan seringkali, kita tak cukup jernih untuk melihat bahwa itulah “qurban” kita yang sejati.
Qurban itu bukan soal bisa atau tidak. Tapi soal mau atau belum. Seorang ibu yang melepaskan anaknya merantau demi masa depan lebih baik—itu qurban. Seorang petani yang bertahan menanam padi di tanah warisan, meski dijanjikan uang besar oleh pemodal tambang—itu juga qurban. Bahkan seseorang yang memilih memaafkan ketimbang membalas dendam pun, sesungguhnya sedang berqurban: mengorbankan rasa sakit demi menyelamatkan jiwanya sendiri.
Namun kita hidup di zaman yang menertawakan orang-orang seperti itu. Melepaskan dianggap lemah. Bertahan dianggap bodoh. Padahal, justru di sanalah letak kekuatan qurban—pada kemampuan untuk menunda kesenangan, menahan hasrat, bahkan membiarkan sesuatu pergi, bukan karena tak mampu mempertahankannya, tetapi karena sadar: ada yang lebih penting dari sekadar memiliki.
Bayangkan seekor hewan qurban diikat di halaman masjid. Ia diam. Menunggu. Dalam diamnya ada ketenangan yang aneh. Apakah ia tahu nasibnya? Mungkin tidak. Tapi kita tahu: yang membuat pengorbanannya berarti bukan karena ia tak berdaya, tapi karena kita yang diberi kuasa, memilih untuk melakukan penyembelihan dengan niat, bukan sekadar ritual.
Apa yang telah kita ikhlaskan tahun ini?
Mungkin Idul Qurban tidak meminta kita menyembelih hewan. Mungkin ia hanya sedang bertanya: apa yang paling kamu cintai, dan beranikah kamu melepaskannya demi yang lebih besar dari dirimu sendiri?
Kalau jawabannya belum, tak mengapa. Sebab qurban sejati bukan hanya tentang penyembelihan. Tapi tentang keberanian untuk melihat ke dalam hati, dan jujur pada diri sendiri.
Dan dari sanalah, qurban dimulai.