Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira Puspadewi, dan dua pejabat lainnya.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini wujud keadilan substantif atau malah langkah politis? Mari kita telaah bersama.
Vonis dan Dissenting Opinion
Kasus ini bermula dari vonis 4,5 tahun penjara terhadap Ira Puspadewi. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara. Namun, sidang putusan memunculkan catatan berbeda dari Ketua Majelis Hakim Sunoto. Ia menyampaikan dissenting opinion, menilai Ira dan dua terdakwa lain seharusnya dibebaskan.
Hakim Sunoto berargumen tidak ada niat jahat atau keuntungan pribadi. Kinerja bisnis ASDP pun dinilai positif. Tiga keraguan utama diungkapkan: soal niat jahat, metode penghitungan kerugian negara yang tidak sahih, dan batas tipis antara keputusan bisnis yang kurang optimal dengan tindak pidana.
Menurut hakim, kasus ini lebih cocok diselesaikan melalui jalur perdata atau sanksi administratif. Pemidanaan direksi dikhawatirkan membuat profesional takut mengambil keputusan bisnis. Namun, mayoritas hakim tetap memutuskan Ira bersalah.
Keputusan Rehabilitasi
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengumumkan usulan rehabilitasi ini dibawa ke rapat terbatas. Presiden Prabowo Subianto menyetujui penggunaan haknya untuk merehabilitasi ketiga eks pejabat ASDP tersebut. Keputusan ini kemudian diproses sesuai peraturan perundang-undangan.
Prasetyo menyatakan Presiden menandatangani surat rehabilitasi pada sore hari. Ia bersama Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Seskab Teddy Indra Wijaya diminta menyampaikan keputusan ini kepada publik. Rehabilitasi ini diberikan berdasarkan permohonan dari Kementerian Hukum.
Aspirasi Masyarakat dan Kajian Hukum
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menambahkan, keputusan ini juga merupakan respons terhadap aspirasi masyarakat. Kelompok masyarakat telah menyampaikan pandangan mereka. Tim kemudian melakukan kajian hukum terhadap perkara yang penyelidikannya dimulai sejak Juli 2024.
Dasco menegaskan, mereka menerima masukan dari berbagai pihak. Kajian hukum dilakukan secara mendalam sebelum keputusan rehabilitasi diambil. Hal ini menunjukkan adanya upaya mendengarkan suara publik dalam proses hukum.
Dampak Jangka Panjang: Keadilan atau Kriminalisasi Bisnis?
Keputusan rehabilitasi ini membuka kembali perdebatan tentang definisi keadilan substantif. Apakah ini berarti ada kekeliruan dalam proses hukum sebelumnya? Atau ada pertimbangan lain di balik keputusan ini?
Jika hakim yang memutus perkara melihat adanya keraguan substantif, rehabilitasi ini bisa dianggap sebagai langkah korektif. Ini menegaskan pentingnya pembuktian niat jahat dan kerugian riil dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik. Penekanan pada aspek niat jahat dan kerugian negara yang terukur secara sahih adalah krusial.
Namun, di sisi lain, keputusan ini bisa menimbulkan persepsi bahwa intervensi politik dapat membatalkan putusan pengadilan. Hal ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap independensi peradilan. Apalagi jika aspirasi masyarakat yang dimaksud adalah tekanan untuk membebaskan terdakwa.
Dampak paling nyata mungkin dirasakan oleh para profesional di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketakutan untuk mengambil keputusan strategis bisa meningkat. Mereka khawatir keputusan bisnis yang berisiko, meskipun demi kemajuan perusahaan, dapat berujung pada jerat pidana. Rehabilitasi ini, jika tidak dijelaskan secara transparan, bisa saja dianggap sebagai sinyal bahwa keputusan bisnis yang berisiko akan selalu ada celah untuk dibenahi.
Pertanyaan krusialnya adalah: bagaimana negara menyeimbangkan upaya pemberantasan korupsi dengan perlindungan terhadap profesional yang menjalankan tugasnya? Keadilan harus ditegakkan tanpa mengorbankan efektivitas tata kelola perusahaan.
Menuju Tata Kelola yang Lebih Baik
Kasus ini menjadi pengingat bahwa batas antara keputusan bisnis yang tidak optimal dan tindak pidana seringkali tipis. Perlu ada kejelasan standar operasional dan kerangka hukum yang membedakan keduanya.
Pemerintah perlu memastikan bahwa proses hukum terhadap pejabat publik dilakukan secara adil dan objektif. Penekanan pada bukti kuat dan niat jahat harus menjadi prioritas. Selain itu, sistem peradilan harus mampu memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, termasuk terdakwa dan masyarakat. Pengadilan seharusnya adil, dalam arti menegakkan keadilan berdasarkan fakta yuridis dan non-yuridis. Menegakkan keadilan yang tak hanya formal, tetapi juga subtantif.
Rehabilitasi ini harus menjadi momentum untuk evaluasi. Bagaimana sistem pengawasan dan audit di BUMN dapat diperbaiki? Bagaimana proses pengambilan keputusan strategis dapat dilindungi dari tuduhan yang tidak berdasar? Sejauh mana sistem hukum dan peradilan di negara kita telah mengakomodir keadilan subtantif?
Pada akhirnya, keputusan Presiden memberikan rehabilitasi (kali kedua di bulan November 2025, yang pertama, baca: “Presiden Prabowo Rehabilitasi Dua Guru Luwu Utara yang Divonis Kasus Pungutan“) membuktikan bahwa keadilan subtantif itu masih ada bukanlah harapan kosong, walau adanya di ‘gerbang terakhir’, perlu dianalisis lebih jauh. Lepas dari kredit poin politis, yang merupakan ‘keuntungan’ logis dari setiap upaya penegakan hukum dan keadilan.
Apakah Presiden harus selalu menjadi jalan bagi keadilan yang lebih substantif untuk individu yang terlibat? Atau ia justru membuka celah bagi intervensi yang dapat melemahkan supremasi hukum yang kembali menunjukkan butuh akan kalibrasi.























