Ungkapan pahlawan kesiangan sebenarnya ejekan pada seseorang yang ingin menjadi pahlawan, namun aksinya tidak tepat waktu dan momen, biasanya motivasinya juga naif. Bukannya mendapat tepokan dan sanjungan, malah ledekan.
Seorang kawan melakukan tindakan heroik (bagi anak SMA), berkeras tidak mau menyebut nama kawannya yang ikut membolos dan melompat pagar. Celakanya, karena melompat paling akhir, dengan rambut keriting mie instan satu-satunya di kelas, dia mudah dikenali. Esoknya dipanggil menghadap kepala sekolah. Risikonya dikeluarkan. Kepala sekolah tidak main-main, kelompok yang berusaha diungkap identitasnya memang biang kerok beragam kekacauan di sekolah.
Melihat kemungkinan hukuman lebih ringan bila dibagi rata untuk tujuh orang, kami sepakat mengakui bersama, jangan dia sendiri yang menanggung. Dia menolak, dan dikeluarkan dari sekolah.
Puluhan tahun tak bertemu dengannya, suatu hari di acara reuni. Agak terkejut melihat perawakannya yang berubah banyak, dipenuhi ciri-ciri kemakmuran. Pahlawan kami masa SMA kini wakil rakyat di daerahnya.
Masih berusaha mencari hubungan kisah kepahlawanannya masa SMA dengan tanggung jawab di bahunya sekarang, dia sudah cerita duluan. Kepala sekolah mengejeknya pahlawan kesiangan karena melindungi kami. Dia pulang kampung ke Kalimantan melanjutkan sekolah, hingga akhirnya seperti sekarang. Ingin membuktikan ejekan Kepala Sekolah, pahlawan walau kesiangan tetap pahlawan.
Ada rasa bangga di suaranya saat menyebut tanggung jawabnya sekarang. Tentu saja. Tidak mudah menjadi wakil rakyat, berat ongkos dan tanggung jawabnya. Tidak ingin merusak romantisme kepahlawanan masa SMA, kami sepakat tidak meledek.
Bagi kepala sekolah dia pahlawan kesiangan, bagi kami yang tidak dikeluarkan dia pahlawan yang tepat waktu dan pas momen. Pahlawan, yang kesiangan atau tidak tergantung siapa yang melihat.
Perbedaan perspektif seperti di atas juga salah satu sebab guru dianggap pahlawan tanpa tanda jasa, guru dan orang tua, pahlawan dengan tanda jasa nyata dan hidup. Putera puteri dan murid-murid tanda jasanya.
Jaman bercampur aduknya antara krisis alami yang memang harus tercipta sebagai bagian dari proses pendewasaan dan pembelajaran sebagai sebuah bangsa dan manusia, dengan krisis yang sengaja diciptakan, atau krisis alami yang berusaha ditumpangi atau dikendalikan skala kekacauannya agar tepat waktu mengeluarkan tokoh yang diplot menjadi pahlawan dan tokoh penjahatnya (baca: kambing hitam). Semua rindu sosok pahlawan.
Ketimbang merindu tanpa akhir, dengan krisis yang sedemikian banyak hingga setiap manusia Indonesia bisa bergantian menjadi pahlawan, baik yang kesiangan maupun tidak.
Maka demi kebutuhan yang nyata akan pahlawan, hari pahlawan kali mungkin bisa disebut sebagai hari untuk semua orang yang telah menyelesaikan krisis, sekalipun krisis keburukan dalam skala diri sendiri, boleh merasa hari ini 10 November sebagai harinya, boleh merasa pahlawan. Tidak ada yang melarang. Kalau pahlawan kesiangan saja boleh, apa lagi yang tepat waktu.
Aksi damai 4 November 2016 dan penyebabnya belum krisis. Kecuali mau dibawa ke sana, dan kita yang semua pahlawan bila memakai definisi paragraf di atas harus mencegah potensi sebab membesar menjadi krisis yang terlihat nyata.
Bingkai negara kita NKRI, bukan khilafah, bukan monarki. Sepakat.
Kesatuan dalam NKRI, sampai sekarang masih harus melalui berbagai krisis. Saat kesatuan mencapai kemapanan sekalipun, sifatnya sementara. Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan.
Dari berbagai bangsa di dunia, kemajemukan dan heterogenitas yang berada dalam bingkai kesatuan NKRI juara. Paling kaya gradasi warna. Tak ada ruang bagi penjara sempit berupa fanatisme, ras, suku, agama, dan budaya yang terbingkai dalam kesatuan. Perbedaan potensi luar biasa sekaligus sumber masalah.
Amerika dan Tiongkok cuma nomor dua soal banyaknya perbedaan yang disatukan dalam bingkai sebuah bangsa.
Dari segi dialek bahasa satu suku saja, suku Kaili di Palu Sulawesi Tengah tidak kurang ada 100 jumlah dialek dengan gaya intonasi pengucapan dan kosa kata yang berbeda. Dari segi doktirinisasi bawah tanah atau terang-terangan akan ras unggul, agama terbaik, dan suku paling hebat, syukurnya Indonesia belum juara dibandingkan bangsa lain dan jangan sampai juara.
Asyiknya dunia ciptaan memang pada paradoksnya. Mau menemukan potensi, mari bermasalah dan selesaikan. Sayangnya masih banyak yang belum selesai bermasalah dengan pikiran dan dirinya sendiri, dipaksa keadaan untuk bermasalah di skala bangsa kesatuan.
Hikmah utama aksi damai 4 November, yang oleh sebagian media asing dianggap gerakan anti pemimpin (gubernur) Kristen, disatukan pada hari itu bukan oleh kebencian, meski ada juga yang masih meluapkan kemarahan lewat teks penuh kebencian.
Ada rasa haru saat melihat perubahan dari ormas yang dianggap mengutamakan aksi kekerasan menjadi aksi cinta damai. Ormas Islam yang sering diberitakan media sebagai anarkis, bisa bergandengan tangan dengan sesama muslim yang mungkin sekali sering menghujat dan tidak setuju dengan mereka.
Sesama muslim walau tidak sepakat tafsir Al Maidah 51, ditafsirkan pemimpin atau sahabat setia, bila yang tidak mengimani Qur’an yang mengucapkan bukan masalah. Sudah ada hukum yang mengatur mana yang penistaan agama.
Sesama Islam harus bersatu, bila ingin menunjukkan bahwa tujuan Baginda Nabi Muhammad SAW membawa risalah Islam adalah agar menjadi rahmat bagai alam semesta, bukan membentuk kerajaan atau kekhalifaan apalagi memaksakan agama. Tegak dan membuminya nilai-nilai luhur dalam Islam jelas lebih islami ketimbang menegakkan panji dan bendera keislaman dengan menumpahkan darah sesama manusia.
Atau bingkai kesatuan NKRI hanya akan menjadi kolam lumpur yang membatasi kekacauan sesama muslim yang berjumlah paling besar, tempat nyaman untuk memancing di air keruh, bila setiap orang tidak berusaha menjadi pahlawan kesiangan bagi diri sendiri.
Dalam sebuah negeri yang nilai-nilai luhur Islam (yang dahulu) diterima oleh para Raja tanpa peperangan, paksaan dan imbalan, kemudian memadukan nilai islami dengan kearifan milik leluhur, seolah kearifan bumi dan kebijaksanaan langit bertemu di Nusantara. Keteduhan bagi alam semesta. Jangankan dengan yang berbeda agama dan keyakinan, perampok, pencuri, dan para teroris pun merasa nyaman tinggal di Indonesia.
Mari menjadi pahlawan kesiangan, meski tanpa tepokan dan mungkin malah ledekan, namun bila itu bisa membuat kita bukan bagian dari masalah, tambahan sebutan kesiangan bagi seorang pahlawan bukan masalah.