Wartakita.id, LUWU UTARA – Aliansi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah Non Government Organisation (NGO) di Makassar dan Luwu tersebut yakni Perkumpulan Wallacea, WALHI Sulsel, LBH Makassar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, AMAN Sulawesi Selatan, Kontras Sulawesi, Jurnal Celebes, YBS Palopo dan PBHI Sulsel, menyatakan sikap sebagai berikut:
1) Mendesak kepada Pemprov Sulawesi Selatan dan Pemda Luwu Utara agar meninjau kembali izin pembangunan PLTA yang akan dibangun di Seko.
2) Mendesak PT Seko Power Prima agar Menghentikan kegiatan survey yang sementara dilakukan di wilayah masyarakat adat Seko.
3) Mendesak aparat Pemda ataupun aparat TNI/Polisi untuk menghentikan segala aktivitas survey yang sementara dlakukan di wilayah adat Seko.
4) Mendesak Pemprov Sulsel untuk mempertahankan fungsi kawasan hutan dan perlindungan wilayah adat.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan, Sardi Razak, mengataka bahwa dampak yang akan dirasakan masyarakat Seko selain secara sosial ekonomi juga secara budaya. Sumber penghasilan masyarakat yang selama ini berasal dari hutan, sawah, kebun, pengembalaan, dan hasil tangkapan dari sungai-sungai terancam dengan adanya limbah.
“Secara budaya, akan terjadi perubahan tatanan sosial dalam masyarakat dari masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan kegotong-royongan menjadi individualis dan materialistik. Lebih jauh ditakutkan bisa terjadi konflik sosial antar masyarakat karena adanya pro-kontra terhadap keberadaan beragam investasi tersebut. Hal ini akan berdampak pada pudarnya kearifan adat dan budaya Masyarakat Adat Seko.” Jelas Sardi.
Sementara itu Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, Bata Manurung, mengatakan bahwa selama ini masyarakat Seko secara umum tidak pernah mendapatkan informasi yang detail dan transparan akan dampak yang akan ditimbulkan jika perusahaan tambang tersebut beroperasi. Bahkan sebelum memperoleh izin eksplorasi, masyarakat sampai saat ini belum pernah mendapatkan pemberitahuan atau dimintai persetujuannya terkait izin eksplorasi tersebut. Warga baru mengetahuinya setelah pihak perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan AMDAL.
“Proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan perusahaan tidak pernah dilakukan di wilayah dampak, lokasi pembangunan PLTA, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas atas apa yang akan dibangun oleh perusahaan,” katanya
Lebih lanjut Bata menjelaskan status hukum masyarakat Adat Seko bahwa Pemerintah Kabupaten Luwu Utara harusnya lebih menghargai keberadaan masyarakat adat Seko atas hak-hak tanahnya dengan adanya Peraturan Daerah atau Perda Tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko No 300 tahun 2004 dan SK Bupati No 12 tahun 2004.
“Kedua peraturan itu jelas menenegaskan segala bentuk pembangunan yg masuk ke Seko yang harus sepengatahuan dan izin dari masyarakat adat Seko,” Terangnya.
Bata menambahkan bahwa dalam mengeluarkan izin eksplorasi kedua peraturan daerah ini seharusnya menjadi landasan hukum atau rujukan atas izin yang sudah dikeluarkan tapi faktanya izin yang dikeluarkan tidak berlandaskan pada peraturan-peraturan ini.
“Seharusnya pemerintah Luwu Utara mau terbuka kepada masyarakat adat Seko, untuk siapa sebenarnya pembangunan PLTA dengan kapasitas 450 mega watt tersebut, jauh dari kebutuhan masyarakat setempat, sedangkan klaim dari pemerintah bahwa 85 persen masyarakat Seko telah menerima pembangunan PLTA, itu sangat keliru dan bertentangan dengan fakta yang sebenarnya, ini bisa diketahui dengan adanya demonstrasi yang dilakukan masyarakat atas kunjungan tersebut sekitar 500 orang selama tiga hari berturut-turut menolak, dan surat masyarakat adat di tiga wilayah adat ditandantangi oleh 1018 orang, Hoyane, Pohoneang dan Amballong. Di situ juga ada tanda tangan Tobara sebagai pemimpin adat di tiga wilayah adat,” paparnya. (Amir/Jurnalis Warga)