Suatu siang sekitar tahun 2004, bertempat di rumah mendiang pelukis Ali Walangadi ketika sedang menekuni kembali hobi melukis dengan berguru kepada mendiang, mendadak perupa Zaenal Beta dan kurator Bentara Budaya Fx. Moelyadi, berkunjung menyampaikan undangan untuk perupa Sulawesi Selatan berpameran di Bentara Budaya Jakarta.
Melukis, hobi semasa kecil yang tadinya sengaja menunda pindah ke kanvas dengan cat minyak atau cat akrilik, kecuali ingin menjadikan kesenian sebagai jalan hidup harus batal, agar pikiran dan perasaan bertumbuh bersama, ternyata berbuntut panjang. Lupa, kalau suatu kaum akan dikumpulkan dengan kaum lain yang memiliki kesamaan. Baru menghasilkan tiga karya cat minyak di atas kanvas, tetapi mendiang Ali Walangadi dan Zaenal Beta memaksa mengikutkan karya berpameran.
Tentu saja menolak. “Karya perupa senior banyak yang tidak lolos kurasi, yang kemarin sore karena akrab dengan dua perupa senior, kok karyanya bisa ikut begitu saja.” Sanggahku tidak bergeming dengan segala pertimbangan teknis dan rasa terhadap lukisanku yang dianggap layak pameran. Pelukis Zaenal Beta, seorang dari tiga mentor yang mengajar melukis semasa kecil di Sanggar Seni Rupa Benteng Ujungpandang, mungkin sedang dominan pertimbangan emosionalnya.
Sebagai ganti penolakan mengikutkan karya, mendiang Ali Walangadi memaksa ikut berangkat ke Bentara Budaya Jakarta, berdua dengan penyair Muhary Wahyu Nurba.
Benang hati mendiang yang lembut melihat sesuatu yang akan saling mempengaruhi dalam kebaikan. Bisa menulis seperti ini dan Muhary Wahyu Nurba semakin mahir melukis, berkat kelembutan hati mendiang yang memaksa agar saling menularkan hobi masing-masing.
“Ini uang saku saya, masing-masing dapat lima ratus ribu rupiah, kalian berdua habiskan untuk membeli buku. Kamu beli buku tentang seni rupa kesukaanmu, lalu berikan ke Muhary. Sebaliknya Muhary cari buku sastra kesukaanmu untuk diberikan ke Ahsan. Pergilah sekarang.” Kata mendiang mengusir kami dari gedung Bentara Budaya di Palmerah Selatan tak lama setelah tiba dari Makassar.
Selain kaum, kebaikan juga dikumpulkan dengan kebaikan.
Di lantai dasar Roxy Plaza ketika itu, ada sebuah toko buku kecil yang menyewa ruang tengah plaza. Kami berdua tenggelam mengubek-ubek koleksi buku impornya yang langka. Muhary kubelikan kumpulan surat Chairil Anwar untuk pelukis Nazar, dan Muhary membelikanku buku surat-surat Van Gogh untuk Gauguin.
Untuk buku-buku lain, kami berdebat sengit dengan logat dan intonasi khas Makassar yang keras dan berisik. Cukup keras, hingga membuat Opa pemilik toko buku menoleh dan tersenyum simpul mendengar debat kami dari meja kasir dengan sepasang tongkatnya.
Akhirnya, terpilihlah empat buku, selain dua buku kumpulan surat-surat.
Kami mengangsurkan tumpukan buku ke Opa yang duduk di belakang meja kasir. Senyumnya belum luntur menatap kami.
“Dari Makassar?” Tanya Opa masih sambil tersenyum.
“Iya. Opa, kami tadi berdebat biasa, bukan bertengkar.” Jawab Muhary sedikit malu.
“Kalian kuliah di Universitas Hasanuddin?” Tanya Opa yang maklum dengan debat kami, seolah akrab dengan dialek dan intonasi orang Makassar.
“Kami berdua alumni. Dia diwisuda rektor, saya wisuda sendiri. Hehehe.” Jawabku tidak malu.
“Mana buku yang kalian pilih? Biar kulihat. Ayo duduk dulu.” Kata Opa kemudian diikuti pegawainya yang mengangsurkan kursi dan mengambilkan dua botol minuman ringan. “Semua lima ratus ribu rupiah.” Sambungnya menyebut harga tanpa menjumlahkan harga masing-masing buku yang kami ketahui jumlahnya kurang lima puluh ribu genap sejuta.
Kami terkejut, “Opa salah hitung.”
“Bagaimana kalau gratis?” Tambah Opa membuat kami semakin terkejut.
“Jangan Opa. Kami ada uang kok.”
“Lima ratus ribu atau gratis, keduanya tidak bisa membayar ungkapan terima kasihku untuk mantan rektor Universitas Hasanuddin, Profesor Amiruddin. Andai bukan karena kebaikan beliau, toko buku ini tidak pernah ada.”
Opa lalu bercerita, ketika terjadi kerusuhan rasial di Makassar tahun delapan puluhan, ia dan keluarganya diselamatkan Prof. Amiruddin (mendiang, mantan Rektor Universitas Hasanuddin dan Gubernur Sulawesi Selatan) dengan mengajak mereka berlindung ke dalam rumahnya.
“Toko buku ini milik cucuku yang mungkin tidak ada andai tak ditolong beliau. Aku sesekali ke sini ikut menjaga sambil membaca koleksi-koleksinya yang unik. Terima kasih telah berkunjung, membuatku memiliki kesempatan membalas kebaikan pak Amiruddin.”
Pohon kebaikan yang ditanam Prof. Amiruddin yang tidak lagi menjabat sebagai rektor ketika kami masih mahasiswa, masih berbuah dan menikmati buahnya beberapa puluh tahun setelah ditanam.
Mendiang Ali Walangadi tidak tercengang mendengar kisah kami sepulang dari Roxy Plaza. Senyum tipis di bibirnya dan sorot mata yang menerawang, sedang berada di cakrawala yang hanya terjangkau oleh para sepuh.
“Tunggu sampai kalian bertemu dengan yang berhasil mengumpulkan kebaikan-kebaikan di sini.” Jawabnya beberapa saat kemudian sebelum bertanya ke panitia, malam ini kami tidur di mana.
Panitia pameran dari pihak peserta dan penyelenggara sepakat, malam ini istirahat di hotel Santika terdekat yang sudah disiapkan. Ketambahan dua orang penumpang gelap bukan peserta pameran, kamar hotel menjadi kurang. Pelukis Mike Turusy lalu mengusahakan kontrakan layak bagi kami berdua di sekitar Bentara Budaya.
“Saya ikut di mana mereka berdua tidur.” Kata mendiang Ali Walangadi.
“Kalau Bapak nginap di kontrakan, kami juga.” Sahut Zaenal Beta dan perupa senior lainnya.
Akhirnya hanya panitia inti yang bukan perupa yang tidur di hotel, yang tadinya sekamar berdua jadi masing-masing satu kamar.
Kontrakannya bersih, empat kamar dengan ruang tamu baru selesai direnovasi dan berhalaman luas. Letaknya tidak jauh dari gedung Bentara Budaya, dalam gang kecil setelah lahan kantin yang diisi aneka pedagang kaki lima, tempat karyawan dan pegawai Kompas Gramedia grup biasa makan dan minum.
Perasaan kami semua sama ketika berjalan menuju rumah kontrakan harian yang berhasil didapatkan Mike Turusy. Serasa berada di rumah sendiri bahkan sebelum ada interaksi.
Kontrakan yang kemudian kami ubah namanya menjadi “Hotel Ayam”, setelah terkejut mendengar suara ayam-ayam tercekik meregang nyawa tengah malam. Halamannya yang luas pada pukul dua pagi, berubah menjadi rumah potong ayam yang akan diedarkan ke sekitar Jakarta selepas subuh. Mike Turusy dan Zaenal Beta yang telah siap dengan pentungan mengira ada pencuri ayam, terbahak-bahak menemui kenyataan hidup di Jakarta.
Ajaib, saat subuh menuju masjid dalam gang, tidak ada bau dan satu helai bulu ayam pun yang tersisa. Walau kurang tidur, sejak pagi kami sudah rapi dan wangi di gedung Bentara Budaya, sesuatu yang sulit ditemui pada seniman perupa.
Pembukaan pameran Perupa Sulawesi Selatan pukul tujuh malam nanti, bagian pertama dari seri pameran semua propinsi di Indonesia yang digagas Bentara Budaya akan dihadiri banyak tokoh nasional. Menteri Jero Wacik yang akan membuka pameran didampingi pak Jakob Oetama.
Usai mendiang Ali Walangadi mendampingi para tokoh, selepas sambutan-sambutan dan jamuan makan malam dimulai, ia kembali bergabung dengan kami berdua.
“Itu tadi Pak Jakob, orang yang fasih berbahasa dengan bahasa yang dipahami semua manusia, bahasa kebaikan, yang mengumpulkan banyak kebaikan di sini sejak kita berangkat dari Makassar.”
Keesokan pagi, sebelum tiba giliran piket menjaga pameran, kami berdua berkeliling komplek Kompas-Gramedia di Palmerah Selatan. Memasuki ruang arsip, ruang cetak, sampai perpustakaan kecil di samping gedung Bentara Budaya.
Lebih mudah menemukan debu yang melekat di sepatu kami ketimbang debu yang melekat di lemari arsip, di rak buku dalam kompleks Kompas-Gramedia, dan setiap orang yang kami temui membuat kami merasa tidak sedang berada di dalam kompleks industri media raksasa, tetapi di rumah sendiri.
Berkenalan dengan karya pak Jacob Oetama seolah bertemu saudara kami sendiri, selamat jalan Pak Jacob.
***
Ketika kabar duka perupa Ali Walangadi berpulang jelang tengah malam, hari Minggu tanggal 13 Februari 2011 di kediamannya Jalan Dr. Ratulangi I No. 11 Makassar, beberapa menit lagi 14 Februari sampai ke Palu, bergegas mencari tiket ke Makassar, tetapi gagal mendapat penerbangan pertama.
Tiba di Makassar pukul 12 siang, beliau telah dimakamkan. Senyumku mengembang menemui pusara dan tanah kuburannya yang masih merah. Beberapa kematian yang pernah kutemui memang berhasil membuat tersenyum sembari meneteskan air mata
Terkenang senandung ledekan yang jenaka dalam esai “Memoar Veteran Kemerdekaan Kepada Sahabatnya” untuk penyair Husni Djamaluddin, “tra la la / tri li li / ta ra di di”. Membawa serta kenangan semasa menghabiskan 3 malam menginap di “Hotel Ayam”.
Teringat bapak Fx. Moelyadi yang kami tahu pasti, uang saku yang diberikan mendiang kepada kami ketika di Bentara Budaya Jakarta untuk membeli buku, adalah ‘dana non-budgeter’ yang mungkin sekali berasal dari saku pribadi.
Masih di pusara, segera menulis email singkat dengan ponsel BB ketika itu, menyampaikan berita kepulangan Ali Walangadi.
Keesokan harinya email balasan berdomain kompas.com masuk.
Sebagai pekerja IT, email balasan tersebut membuat kagum. Isinya memang seperti balasan lazim saat menerima berita duka, yang mengejutkan, pak Fx. Moelyadi menyampaikan ia telah pensiun sekitar dua tahun lalu, alamat email kantornya telah ditutup, tetapi emailku terbaca oleh admin mail-server kompas.com lalu diteruskan ke email pribadinya.
Sesuatu yang tidak akan terjadi di kantor biasa dan admin mail-server biasa, hanya terjadi di lingkungan pekerjaan yang tak hanya memanusiakan manusia, yang membuat mesin sedingin mail-server seolah bernyawa.
Kepulangan pak Jakob Oetama, meninggalkan ruh kemanusiaan yang semoga tetap selalu terjaga.