Jumat siang (28/3/2025), bumi bergoyang hebat di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar. Gempa kembar berkekuatan 7,7 dan 7,2 magnitudo mengguncang wilayah ini secara beruntun, meninggalkan luka mendalam bagi warga. Episentrumnya hanya 17,2 km dari Mandalay, dengan kedalaman dangkal 10 km.
Guncangan tak hanya terasa di Myanmar, tapi juga menghantui Bangkok di Thailand hingga Provinsi Yunnan di Tiongkok. Bayangkan, betapa mengerikannya saat tanah yang kita pijak tiba-tiba bergetar tanpa ampun.
Menurut Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), gempa pertama melanda pukul 13.20 WIB dengan kekuatan 7,7 SR, diikuti gempa susulan 7,2 SR hanya 11 menit kemudian. Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyebut fenomena ini sebagai doublet earthquake—dua gempa besar dengan magnitudo hampir sama dalam waktu dan lokasi berdekatan.
“Ini gempa kerak dangkal yang dipicu aktivitas Sesar Sagaing, sesar geser aktif yang melintasi Myanmar,” jelasnya. Dampaknya? Kerusakan parah tak terhindarkan.
Di Mandalay, ratusan rumah ambruk. Warga berlarian keluar dari gedung-gedung yang runtuh, panik menyelamatkan diri. Video di media sosial menunjukkan pemandangan memilukan: bangunan rata dengan tanah, debu beterbangan, dan jeritan memenuhi udara. Sementara di Sagaing, dekat episentrum, jalanan retak dan infrastruktur hancur.
Pihak militer Myanmar langsung menetapkan status darurat, mengerahkan tim untuk mencari korban di bawah reruntuhan. Hingga sore tadi pukul 15.00 waktu setempat, USGS memperkirakan ribuan jiwa berpotensi tewas—angka yang membuat hati kita ikut bergetar.
(clips from social media)
Tak jauh dari sana, Bangkok ikut merasakan teror ini. Gedung-gedung tinggi bergoyang, memaksa ribuan orang mengungsi. Tragedi terbesar terjadi saat sebuah pencakar langit yang masih dalam tahap pembangunan ambruk. Laporan awal menyebut 43 pekerja terjebak di reruntuhan, beberapa di antaranya tak bernyawa.
“Saya lihat gedung itu roboh di depan mata, semua orang berteriak,” ujar seorang saksi di Mandalay kepada Reuters. Di Thailand, kerusakan juga dilaporkan di beberapa daerah, meski data korban masih simpang siur. Sementara di Yunnan, Tiongkok, getaran terasa, tapi dampak pastinya belum jelas.
Sesar Sagaing, biang keladi gempa ini, memang dikenal berbahaya. Patahan geologi besar ini membentang dari utara ke selatan Myanmar, menyimpan energi yang sewaktu-waktu bisa meledak. Gempa dangkal seperti ini, kata Daryono, cenderung lebih destruktif karena getarannya langsung menghantam permukaan.
“Selisih jarak episentrum hanya 60 km, ini menunjukkan betapa aktifnya sesar ini,” tambahnya. Dan ya, ini bukan pertama kalinya. Sejarah mencatat, Sesar Sagaing pernah memicu gempa besar di masa lalu, dan ancaman serupa bisa datang kapan saja.
Di tengah keprihatinan ini, kita tak bisa menutup mata. Ratusan rumah hancur, nyawa melayang, dan ribuan orang kehilangan tempat berteduh. Pemerintah Myanmar dan Thailand sedang berjibaku menangani bencana, tapi tantangannya besar. Bayangkan, di tengah krisis politik Myanmar pasca-kudeta, kini mereka harus menghadapi amukan alam. Di Bangkok, gedung-gedung yang tak dirancang tahan gempa jadi sasaran empuk. Ini peringatan keras: kita hidup di atas lempeng bumi yang tak pernah diam.
Saat artikel ini ditulis, tim penyelamat masih berjuang. Video viral di media sosial memperlihatkan pekerja berlari dari gedung yang ambruk, air kolam renang di atap gedung tumpah ke jalan—gambaran nyata betapa dahsyatnya gempa ini.
Kita hanya bisa berdoa, semoga korban segera ditemukan, dan bantuan mengalir deras untuk mereka yang tersisa. Alam lagi-lagi mengingatkan, kita kecil di hadapannya.