Wartakita.id, MAKASSAR – Unhas bekerja sama dengan British Council Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan Wallacea Frontiers of Science Symposium “Strengthening Science for Biodiversity and Partnership in Indonesia”.
Kegiatan ini berlangsung di Aula Prof. Fakhruddin, Sekolah Pascasarjana Unhas, Senin (25/11/2019). Ini menjadi salah satu rangkaian dari Wallacea Week yang diselenggarakan di Makassar sejak 22 November lalu.
Hadir dalam kegiatan ini, Rektor Unhas Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, Direktur British Council Indonesia Paul Smith, OBE, Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, Ph.D, serta sejumlah akademisi dan ilmuwan muda se-Indonesia.
Dr. Sudirman Nasir selaku Ketua Panitia dalam laporannya mengatakan bahwa simposium yang menjadi bagian dari Wallacea Week ini diselenggarakan sebagai peringatan 150 tahun terbitnya Wallacea Line (Garis Wallacea) yang dirintis oleh Alfred Russel Wallacea.
Garis Wallacea sendiri merupakan garis khayal yang memisahkan dua daerah zoogeologis yang masing-masing terkait dengan Asia dan Australia.
“Melalui simposium ini kita akan bersama-sama berdiskusi mengenai ilmu-ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami diversitas baik itu di darat maupun di laut yang berada di kawasan Wallacea. Kita juga bisa berdiskusi tentang bagaimana mengoptimalkan manfaat serta menyeimbangkan kepentingan eknomi dan ekologi dari Wallacea itu sendiri,” kata Sudirman.
Direktur British Council Indonesia, Paul Smith, dalam sambutannya menyatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, pihaknya telah memikirkan bagaimana cara dan lokasi memperingati lahirnya gagasan dari ilmuwan berkebangsaan Inggris tersebut. Makassar pun terpilih sebagai tuan rumah, mengingat lokasinya yang strategis di Kawasan Wallacea.
“Kami bersikukuh bahwa peringatan ini harus diselenggarakan di Kawasan Wallacea. Tujuannya ialah untuk menghidupkan kembali keanekaragaman Indonesia melalui eksplorasi yang dituangkan dalam berbagai kegiatan, seperti pameran, kuliah umum, diskusi, pemutaran film, dan banyak lagi. Kami sangat bangga sekali bisa membawa Wallacea kembali ke Wallacea,” Jelas Paul yang disambut tepuk tangan peserta.
Lebih lanjut lagi, Paul menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman terbesar di dunia, baik itu dari segi sosial, flora dan fauna, bahasa, adat dan budaya, dan masih banyak lagi. Hal ini seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah dan menjadikannya sebagai keunggulan dari Indonesia.
“Diversitas ini sejatinya menjadi peluang besar bagi pembangunan Indonesia. Inilah yang harus kita bahas di simposium selama dua hari ini,” kata Paul.
Sebelum membuka acara, Rektor Unhas Prof. Dwia dalam sambutannya menyatakan bahwa Unhas patut berbangga telah dipercaya oleh penyelenggara sebagai tuan rumah. Beliau juga mengapresiasi tema yang diangkat pada simposium ini yang menurutnya sangat strategik.
“Ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendiskusikan bagaimana pentingnya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi garda terdepan yang memungkinkan kita dapat memahami dan tentunya mengambil keuntungan yang optimal dari kekayaan dan keunikan biodiversitas di Kawasan Wallacea ini. Kita juga pahami bersama bahwa tanpa sains dan teknologi, biodiversitas yang kita miliki ini tidak akan memiliki banyak makna,” kata Dwia.
Sejalan dengan Paul Smith, Prof. Dwia juga menyatakan bahwa isu biodiversitas harus lebih sering dibahas dalam dunia akademik agar bisa menjadi keunggulan dan kekuatan Indonesia.
“Tidak ada negara kepulauan di dunia yang lebih besar dari Indonesia. Banyak pulau-pulau di Indonesia yang lokasinya berdekatan, tetapi ragam corak budaya maupun tanaman dan hewan endemiknya jauh berbeda antar satu pulau dengan yang lainnya. Kita sebagai akademisi harus memberi perhatian khusus dan membahas biodiversitas ini agar pemerintah juga menyadari betapa pentingnya isu yang kita bahas hari ini,” jelas Dwia.
Sebagai penutup, Prof. Dwia berharap hasil simposium ini nantinya dapat menjadi tema riset yang akan dikembangkan dan terintegrasi serta memungkinkan kolaborasi dengan berbagai pihak yang akan menghasilkan riset unggulan.