MAKASSAR – Angka kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Sulawesi Selatan masih menjadi pekerjaan rumah serius yang membutuhkan respons komprehensif. Pada Minggu, 26 Oktober 2025, krisis mendalam ini menjadi sorotan utama dalam sebuah lokakarya bertajuk “Upaya Preventif dan Responsif Terhadap Kekerasan Seksual”.
Digelar di Baruga Anging Mammiri, Rumah Jabatan Wali Kota Makassar, inisiatif kolaboratif antara Muslimat NU, TP PKK Kota, dan Pemerintah Kota Makassar ini bukan sekadar seremoni, melainkan upaya mendalam untuk mencari solusi dari hulu ke hilir. Kehadiran Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, sebagai narasumber, menandai komitmen serius pemerintah kota dalam isu krusial ini, menghasilkan rekomendasi konkret: program sekolah anti-kekerasan.
Namun, di balik semangat preventif ini, pertanyaan fundamental muncul: apa sebenarnya yang memicu tingginya kasus kekerasan di Sulsel, khususnya di Makassar, dan sejauh mana strategi yang ditawarkan mampu menjadi benteng kokoh bagi generasi muda?
Ancaman Nyata: Data Kekerasan yang Mendesak di Sulawesi Selatan
Statistik kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sulawesi Selatan terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sulsel, meski bervariasi setiap tahun, konsisten menempatkan wilayah ini di jajaran provinsi dengan kasus kekerasan yang signifikan. Faktor-faktor seperti kesenjangan ekonomi, minimnya edukasi seks yang komprehensif, budaya patriarki yang masih mengakar, hingga lemahnya sistem pelaporan menjadi lahan subur bagi predator. Kekerasan seksual, tak jarang, terjadi dalam lingkaran terdekat korban – keluarga, kerabat, atau orang yang dikenal – sebuah kenyataan pahit yang semakin mempersulit upaya deteksi dan penanganan.
Makassar: Potret Kerentanan di Balik Kota Metropolitan
Sebagai ibu kota provinsi, Makassar menghadapi dinamika urbanisasi yang kompleks, turut berkontribusi pada kerentanan warganya. Kepadatan penduduk, migrasi, dan adanya kantong-kantong permukiman padat seringkali menjadi area di mana kesadaran hukum dan akses terhadap informasi pencegahan kekerasan masih terbatas. Kasus-kasus yang mencuat ke publik hanyalah puncak dari gunung es. Banyak kejadian kekerasan yang tidak dilaporkan akibat rasa takut, stigma sosial, atau ketidakpercayaan terhadap sistem hukum. Untuk audiens Makassar, ini berarti ancaman bisa datang dari lingkungan terdekat: sekolah, tetangga, bahkan dalam rumah tangga sendiri. Edukasi yang tepat sasaran dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses menjadi krusial untuk melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan, terutama anak-anak dan perempuan.
Membongkar Akar Masalah: Kontribusi Workshop dan Rekomendasi Kunci
Workshop “Upaya Preventif dan Responsif Terhadap Kekerasan Seksual” menghadirkan dimensi baru dalam upaya pencegahan. Dengan partisipasi ibu-ibu dari berbagai komunitas dan aktivis perempuan, fokus diskusi diarahkan pada pencegahan kekerasan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga penciptaan ruang publik yang ramah anak. Panel diskusi dan sesi role-playing menjadi metode interaktif yang membuka ruang bagi peserta untuk memahami mekanisme kekerasan, mengenali tanda-tandanya, dan mengembangkan kapasitas responsif. Pendekatan holistik ini berupaya memutus mata rantai kekerasan dengan membekali komunitas langsung.
Dari Keluarga ke Ruang Publik Aman: Membangun Ekosistem Perlindungan
Inisiatif ini menggarisbawahi pentingnya peran keluarga sebagai garda terdepan. Edukasi mengenai batasan tubuh, komunikasi terbuka antar anggota keluarga, dan pengawasan berbasis kasih sayang ditekankan sebagai fondasi pencegahan. Namun, upaya ini tidak berhenti di rumah. Konsep “ruang publik ramah anak” menjadi kunci, melibatkan peran pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta untuk menciptakan lingkungan fisik dan sosial yang aman dari eksploitasi dan kekerasan. Ini mencakup penerangan yang memadai, pengawasan komunitas, serta ketersediaan fasilitas yang aman bagi anak-anak di taman, sekolah, dan area publik lainnya.
Menuju Implementasi: Harapan dan Tantangan
Rekomendasi kunci dari workshop, yakni program sekolah anti-kekerasan, menawarkan harapan besar. Program ini dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum lokal, membentuk agen-agen perubahan di kalangan siswa dan guru, serta menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan responsif terhadap kasus kekerasan. Selain itu, wacana tentang pembentukan hotline pelaporan yang terintegrasi dan penguatan kesetaraan gender di tingkat lokal, sebagaimana diapungkan pasca-workshop, adalah langkah progresif yang harus segera diwujudkan. Tingginya engagement dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang disorot melalui platform media sosial seperti X (@walikotamakassar) menunjukkan adanya dukungan publik yang kuat, sebuah modal berharga untuk implementasi.
Namun, tantangan tidaklah kecil. Konsistensi dalam edukasi, alokasi anggaran yang memadai, serta sinergi antar-lembaga pemerintah dan non-pemerintah menjadi kunci keberhasilan. Mengubah budaya dan stigma yang masih kuat di masyarakat memerlukan waktu, kesabaran, dan pendekatan yang berkelanjutan. Program-program ini tidak boleh berhenti di atas kertas, melainkan harus diterjemahkan menjadi aksi nyata yang berdampak langsung pada penurunan angka kekerasan di Makassar.
Saatnya bertindak, membangun ekosistem perlindungan
Workshop pencegahan kekerasan seksual di Makassar adalah langkah awal yang patut diapresiasi dalam perjalanan panjang menuju perlindungan anak dan perempuan. Namun, efektivitasnya akan sangat bergantung pada komitmen berkelanjutan dari semua pihak – pemerintah, komunitas, dan individu – untuk tidak hanya berbicara tentang pencegahan, tetapi juga mengimplementasikan rekomendasi dengan penuh dedikasi. Makassar tidak bisa lagi bersembunyi di balik data; saatnya bertindak, membangun ekosistem perlindungan yang holistik, responsif, dan memberdayakan. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan masa depan yang aman dan setara bagi setiap warganya.

























