MAKASSAR – Di tengah sorotan publik terhadap penanganan dampak kerusuhan politik berskala kota pada Agustus lalu, bara konflik horizontal yang lebih kronis kembali menyala di Kecamatan Tallo, Makassar. Sepanjang bulan September lalu, salah satu wilayah padat penduduk ini dilanda serangkaian perang antarkelompok pemuda yang brutal dan merusak. Puncaknya terjadi pada 23 September lalu, di Jalan Kandea, ketika bentrokan merenggut lebih dari sekadar ketenangan: sedikitnya lima rumah warga ludes terbakar, meninggalkan jejak kehancuran dan ketakutan mendalam di hati masyarakat.
Insiden ini bukan sekadar letupan sesaat, melainkan manifestasi dari masalah kompleks yang mengakar. Analisis WartaKita.id mengidentifikasi eskalasi kekerasan ini sebagai cerminan rapuhnya keamanan urban di Makassar, di mana masalah sosial yang mendasar dapat dengan mudah meledak, terutama ketika pengawasan negara melemah atau teralihkan.
Bara di Jantung Kota: Kronologi Eskalasi Konflik Tallo
Eskalasi perang antarkelompok di Kecamatan Tallo, khususnya di Jalan Kandea III, Kelurahan Bunga Eja, mencapai puncaknya pada akhir September lalu. Namun, insiden pembakaran lima rumah warga itu hanyalah puncak gunung es dari serangkaian konflik yang telah berlangsung hampir setiap hari sepanjang bulan. Kelompok-kelompok pemuda dari berbagai “lorong” (gang) di Tallo, seperti Jalan Layang, Lorong 148, Kandea, dan Lembo, terlibat dalam bentrokan bersenjata yang berlangsung terutama pada malam hingga dini hari.
Para pelaku tidak segan menggunakan berbagai senjata berbahaya, mulai dari anak panah (busur) yang telah dimodifikasi, senapan angin, petasan berdaya ledak tinggi, hingga bom molotov yang terbukti efektif menghanguskan properti. Ironisnya, beberapa bentrokan justru pecah saat sedang diadakan pertemuan yang dimediasi oleh aparat kepolisian untuk membahas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di wilayah tersebut. Warga yang rumahnya terbakar mengaku sempat meminta bantuan polisi sebelum api membesar, namun respons yang diharapkan tidak kunjung datang, meninggalkan tanda tanya besar tentang efektivitas penanganan konflik di tingkat akar rumput.
Melacak Akar Masalah: Mengapa Tallo Berdarah Kembali?
Pemicu pasti di balik letupan kekerasan ini seringkali sulit diidentifikasi secara tunggal, namun dugaan kuat mengarah pada kombinasi faktor historis, ekonomi, dan sosial yang telah lama menggerogoti struktur masyarakat Tallo.
Sengketa Wilayah dan Dendam Turun-Temurun
Beberapa sumber menyebutkan bahwa akar konflik di Tallo terkait erat dengan sengketa yang telah berlangsung puluhan tahun, bahkan ada yang mengaitkannya dengan “dendam lama” selama 36 tahun. Konflik semacam ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, seringkali bermula dari perebutan batas wilayah antar-lorong, harga diri kelompok, atau insiden kecil yang memicu siklus balas dendam tak berkesudahan. Tanpa penyelesaian komprehensif, bara api dendam ini mudah tersulut kembali oleh percikan sekecil apa pun.
Jeratan Narkotika dan Perebutan Pengaruh
Dugaan kuat lainnya mengarah pada persaingan dalam bisnis narkotika. Wilayah padat penduduk dengan tingkat pengangguran tinggi, seperti beberapa area di Tallo, seringkali menjadi lahan subur bagi peredaran narkoba. Kelompok pemuda yang terlibat dalam jaringan ini mungkin saling berebut wilayah kontrol untuk penjualan atau distribusi barang haram, menjadikan konflik kekerasan sebagai alat untuk menegaskan dominasi dan memelihara “otoritas” ilegal mereka.
Ketimpangan Sosial dan Fragmentasi Pemuda
Secara lebih luas, Tallo, seperti banyak kecamatan lain di Makassar, menghadapi tantangan ketimpangan sosial dan kurangnya akses terhadap pendidikan serta lapangan kerja yang layak bagi kaum muda. Kondisi ini dapat menciptakan rasa frustrasi dan marginalisasi, mendorong sebagian pemuda untuk mencari identitas dan pengakuan dalam kelompok-kelompok informal yang seringkali berafiliasi dengan kekerasan. Fragmentasi sosial ini melemahkan kohesi masyarakat dan memperparah potensi konflik.
Ketika Negara Terlena: Dampak Pengalihan Fokus Keamanan
Letusan kekerasan komunal yang intens di Tallo, yang terjadi begitu cepat setelah kerusuhan politik di pusat kota, mengindikasikan adanya kekosongan atau pengalihan kekuatan aparat keamanan. Dengan sumber daya kepolisian yang sebagian besar terkonsentrasi pada penyelidikan masif kasus pembakaran gedung DPRD Makassar dan penanganan para tersangkanya, kelompok-kelompok kriminal atau geng teritorial di wilayah seperti Tallo mungkin merasa lebih leluasa untuk meningkatkan skala konflik mereka. Mereka memanfaatkan situasi di mana aparat keamanan negara sedang teralihkan perhatiannya.
Ini menunjukkan bagaimana berbagai jenis ancaman keamanan dapat saling terkait. Krisis politik akut di tingkat kota secara tidak langsung dapat menyuburkan krisis sosial dan kriminal yang kronis di tingkat lingkungan. Pola ini membuktikan bahwa keamanan urban di Makassar bersifat rapuh; masalah-masalah sosial yang mendasar dapat dengan mudah meledak ketika pengawasan negara melemah. Kondisi ini diperparah oleh minimnya program deradikalisasi atau pembinaan pemuda yang efektif di wilayah-wilayah rawan konflik.
Warga Tallo dalam Cengkraman Ketakutan: Suara-suara dari Lapangan
Dampak paling langsung dari konflik ini tentu saja dirasakan oleh warga sipil. Lima keluarga kehilangan tempat tinggal dan seluruh harta benda mereka dalam semalam. Trauma mendalam, ketakutan akan serangan susulan, dan rasa tidak aman kini menjadi bayang-bayang harian di lorong-lorong Tallo. Anak-anak terpaksa putus sekolah karena lingkungan yang tidak kondusif, sementara aktivitas ekonomi warga, terutama pedagang kecil, lumpuh akibat suasana mencekam.
Konteks lokal di Makassar menunjukkan bahwa komunitas rentan di Tallo, banyak di antaranya adalah pekerja informal dan UMKM, adalah yang paling terpukul. Mereka tidak hanya kehilangan properti, tetapi juga mata pencarian. Kepercayaan terhadap institusi keamanan pun tergerus ketika laporan dan permohonan bantuan tidak direspons dengan cepat. Ini menciptakan lingkaran setan di mana warga enggan melapor, dan pelaku merasa impunitas.
Kesimpulan
Peristiwa di Tallo adalah alarm keras bagi pemerintah kota dan aparat keamanan Makassar. Konflik horizontal bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh atau ditangani secara parsial. Ia adalah indikator kompleksitas sosial yang menuntut pendekatan multidimensional: mulai dari penegakan hukum yang tegas dan responsif, program pemberdayaan ekonomi bagi pemuda, intervensi sosial untuk mengatasi akar dendam, hingga revitalisasi peran tokoh masyarakat dalam mediasi. Tanpa strategi komprehensif yang menjangkau aspek sosial, ekonomi, dan keamanan secara bersamaan, keamanan urban di Makassar akan terus menjadi benteng yang rapuh, siap runtuh oleh setiap bara api konflik yang menyala.























