Hutan di lereng Mandalle pernah punya napasnya sendiri. Embusannya sejuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk jadi humus. Dari jantungnya, ia alirkan urat-urat air jernih yang menjadi nyawa bagi Desa Parigi, menghidupi lebih dari seratus hektar sawah yang membentang seperti permadani hijau di dua Rukun Keluarga. Hutan adalah bapak, dan air adalah ibu bagi mereka.
Tapi kini, napas itu sesak.
Selama enam tahun terakhir, sebuah batuk parau dan kering mulai terdengar dari atas sana. Raungan gergaji mesin yang merobek hening, disusul dentuman keras saat sebatang raksasa kayu tumbang ke bumi. Luka baru setiap tahunnya, menganga di tubuh lereng Mandalle.
“Setiap tahun menebang, sudah berjalan enam tahun,” keluh Daeng Rumpa pada angin sore, matanya menatap nanar ke puncak bukit yang mulai botak. “Ini tahun paling banyak penebangan. Masih ada itu kayunya di atas belum na ambil.”
Kayu-kayu itu, teronggok seperti tulang belulang, menjadi saksi bisu keserakahan oknum-oknum tak bertanggung jawab yang datang dalam gelap dan pergi meninggalkan petaka.
Warga desa tahu apa yang akan datang. Setiap kali hujan turun, air yang dulu jernih kini keruh membawa lumpur. Tanah di atas sana mulai gelisah, terkikis tanpa akar yang menahannya. Ancaman itu bukan lagi sekadar cerita pengantar tidur untuk anak-anak, melainkan takdir buruk yang merayap turun. Banjir, longsor, dan gagal panen hanyalah masalah waktu.
Di tengah bisik-bisik ketakutan dan keluh kesah yang tak berdaya, tanah Parigi menanti. Menanti hujan besar yang akan membawa bencana, atau menanti seseorang yang berani menghentikan raungan gergaji itu untuk selamanya.
Dari serat-serat kayu yang terkoyak, bukan keluh kesah yang terdengar, melainkan jeritan sunyi getah yang membanjiri udara. Setiap pohon yang tumbang melepaskan gema ribuan musim ke dalam tanah Parigi—kenangan akan sinar matahari pertama, bisik angin di antara dedaunan, dan cengkeraman akar pada rahim bumi yang kini tercabik.
***
Bagi Daeng Rumpa, firasat buruk itu datang bersama warna air. Pagi itu, saat ia turun ke sawahnya di wilayah RK Mandalle, air yang mengaliri petakannya tak lagi bening seperti cermin. Warnanya cokelat pekat, seperti kopi susu yang terlalu banyak ampas. Ia mendongak, menatap lereng bukit yang menjadi sumber mata air mereka. Hatinya mencelos.
Lagi. Mereka melakukannya lagi.
Sudah enam tahun suara terkutuk itu menggerogoti ketenangan desa. Suara mesin yang memekakkan telinga, merampas pohon demi pohon yang seharusnya menjadi payung pelindung mereka. Enam tahun tanah ini dilukai oleh hantu-hantu tanpa wajah, yang disebut warga sebagai “oknum tak bertanggung jawab”.
“Ini tahun paling parah,” gumamnya pada dirinya sendiri, jemarinya meremas gagang cangkul. “Kayunya masih di atas sana, mereka belum ambil semua.” Seolah para perusak itu sengaja memamerkan hasil jarahan mereka, menertawakan ketidakberdayaan warga Desa Parigi.
Daeng Rumpa bukan satu-satunya yang resah. Lebih dari seratus hektar sawah di dua RK bergantung pada air dari bukit itu. Jika hutan terus digunduli, bukan hanya air bersih yang akan hilang. Longsor bisa menimbun rumah kapan saja. Banjir bandang bisa menyapu habis padi yang baru mulai menguning.
Setiap warga tahu risikonya. Setiap kepala keluarga menyimpan cemas yang sama. Tapi ketakutan membuat mereka diam, hanya berani mengeluh di beranda rumah saat senja tiba. Mereka butuh seseorang. Bukan sekadar pemimpin, tapi seorang pelindung. Seorang abang.
Dan di kejauhan, di antara deru mesin yang samar-samar terbawa angin, takdir sedang mempersiapkan jawabannya.
***
Kisah di atas bukan fiksi belaka, tetapi berdasarkan fakta:
Kasus pembalakan liar besar-besaran yang baru saja terungkap di wilayah dataran tinggi Gowa pada Desember 2025, berikut adalah rincian data terbaru mengenai situasi pembalakan liar di Kabupaten Gowa:
Pembalakan Liar di Hutan Lindung Gowa (Desember 2025)
Meskipun bukan spesifik di Dusun Mandalle, kasus ini adalah insiden terbesar yang sedang ditangani aparat hukum di Gowa saat ini.
Lokasi Kejadian: Desa Erelembang, Kecamatan Tombolopao (bertetangga dengan Kecamatan Parigi/Tinggimoncong).
Waktu Penggerebekan: Jum’at dini hari, 12 Desember 2025.
Kerusakan:
Puluhan hektare hutan lindung ditemukan gundul.
Ditemukan jejak alat berat dan pemotongan gunung/bukit untuk akses jalan.
Anak sungai ditimbun untuk memuluskan operasional penebangan.
Barang Bukti & Temuan:
Pohon pinus yang telah ditebang.
Bekas roda alat berat yang mengindikasikan operasi ini dilakukan secara sistematis dan bermodal besar.
Para pelaku diduga kabur sebelum petugas tiba di lokasi.
2. Tindakan Aparat Hukum
Sidak Pejabat: Wakil Bupati Gowa, H. Darmawangsyah Muin, bersama Kapolres Gowa AKBP Muhammad Aldy Sulaiman turun langsung ke lokasi pada dini hari untuk memasang garis polisi (police line).
Status Hukum:
Polisi telah mengantongi 3 terduga pelaku, yaitu: S (penanggung jawab alat berat), MY (pemilik lahan klaim), dan M (operator alat berat).
Kasus ini sedang dalam tahap penyidikan intensif oleh Satreskrim Polres Gowa dan dinas terkait (Gakkum LHK).
Desakan Publik: Anggota Komisi III DPR RI dan LBH Suara Panrita Keadilan mendesak agar “aktor intelektual” atau pemodal di balik operasi ini segera ditangkap, bukan hanya pekerja lapangan.
3. Konteks Wilayah Dusun Mandalle, Parigi
Administrasi: Dusun Mandalle tercatat secara administratif berada di Desa Parigi (sebelumnya bagian dari Kec. Tinggimoncong, kini Kec. Parigi).
Potensi Kerawanan: Wilayah Parigi dan Tombolopao adalah kawasan dataran tinggi yang memiliki hutan pinus lebat. Modus operandi di wilayah ini biasanya melibatkan penebangan pohon pinus untuk pembukaan lahan perkebunan atau pengambilan kayu komersial.
Operasi besar-besaran di Desa Erelembang (Kec. Tombolopao) yang terjadi pertengahan Desember 2025 menjadi fokus utama penegakan hukum saat ini. Jika Anda memiliki informasi spesifik mengenai aktivitas di Mandalle, sangat disarankan untuk melapor ke Polres Gowa atau Dinas Kehutanan setempat, mengingat aparat sedang gencar melakukan operasi di wilayah tersebut.























