Indonesia kembali melahirkan kebijakan besar di sektor investasi negara: Danantara atau Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara. Pemerintah mengklaim ini sebagai langkah strategis untuk mengelola aset negara secara lebih efisien. Namun, di sisi lain, muncul suara skeptis yang mempertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya.
Apa Itu Danantara?
Danantara merupakan badan pengelola investasi yang dibentuk untuk mengonsolidasikan aset negara yang tersebar di berbagai BUMN dan lembaga negara lainnya. Dengan estimasi nilai aset mencapai Rp9.600 triliun, badan ini bertujuan meningkatkan efisiensi, daya saing, serta memberikan manfaat ekonomi lebih besar bagi negara.
Menteri BUMN menyebut bahwa Danantara akan bekerja layaknya Sovereign Wealth Fund (SWF), seperti yang dimiliki oleh Norwegia, Singapura, dan China. Struktur ini bertujuan mengoptimalkan pengelolaan aset negara agar lebih menguntungkan dan mengurangi ketergantungan pada APBN.
Sejarah dan Tujuan Dibentuknya
Ide pembentukan badan pengelola investasi negara sebenarnya bukan hal baru. Pada era mendiang Tanri Abeng, konsep serupa pernah digagas dengan nama Indonesia Incorporated. Namun, kala itu, gagasan tersebut belum dapat terealisasi karena berbagai kendala politik dan regulasi.
Kini, dengan lahirnya Danantara, pemerintah ingin memastikan bahwa aset negara dikelola secara profesional dan berorientasi profit. Tujuan akhirnya? Meningkatkan investasi, menekan utang negara, serta mempercepat pembangunan infrastruktur dan sektor strategis lainnya.
Kritik dan Tantangan
Meski terdengar menjanjikan, Danantara tidak luput dari kritik. Sejumlah pihak mengkhawatirkan beberapa aspek, antara lain:
- Potensi Kebal Audit
Beberapa opini yang berkembang di masyarakat menyebut bahwa revisi UU terkait BUMN memungkinkan Danantara lepas dari pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika benar, ini bisa menjadi celah bagi penyalahgunaan kewenangan. - Kurangnya Transparansi
Banyak ekonom menyoroti perlunya mekanisme pengawasan ketat agar pengelolaan aset negara tidak disalahgunakan. Tanpa regulasi yang jelas dan keterbukaan informasi, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap proyek ini. - Dampak Politik
Pemerintahan saat ini mendapat sorotan karena keterkaitannya dengan pemerintahan sebelumnya. Bagi sebagian orang, Danantara dianggap sebagai kelanjutan dari kebijakan lama yang masih menyisakan banyak pertanyaan soal efektivitasnya.
Belajar dari SWF di Negara Lain
Jika melihat negara lain, beberapa Sovereign Wealth Fund (SWF) terbukti sukses, namun ada pula yang gagal. Berikut beberapa contohnya:
SWF yang Sukses
- Norway Government Pension Fund Global (GPFG)
- Aset: US$1,738 triliun
- Keberhasilan: Transparansi tinggi, investasi global yang terdiversifikasi, dan kebijakan pengelolaan profesional.
- China Investment Corporation (CIC)
- Aset: US$1,332 triliun
- Keberhasilan: Fokus pada investasi strategis, termasuk proyek Belt and Road Initiative, serta dukungan penuh dari pemerintah.
SWF yang Bermasalah
- Libyan Investment Authority (LIA)
- Aset: US$38,8 miliar
- Tantangan: Ketidakstabilan politik menyebabkan aset dibekukan dan pengelolaan menjadi tidak efektif.
- 1Malaysia Development Berhad (1MDB)
- Tantangan: Skandal korupsi besar yang menyebabkan miliaran dolar hilang akibat pengawasan yang lemah dan praktik ilegal.
Dari kasus di atas, Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa transparansi, stabilitas politik, dan pengawasan ketat adalah kunci sukses bagi Danantara.
Harapan dan Kesimpulan
Jika dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi game-changer dalam pengelolaan aset negara, mengurangi beban APBN, dan meningkatkan daya saing BUMN. Namun, tantangannya juga besar—mulai dari pengawasan yang harus ketat, transparansi yang harus dijaga, hingga membangun kembali kepercayaan publik.
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Apakah Danantara benar-benar akan menjadi terobosan besar? Atau justru kontroversi baru dalam perjalanan ekonomi Indonesia? Publik menunggu jawabannya.