Wartakita.id, MAKASSAR — “Kami masih terima masukan… jangan sampai tumpang tindih.” Kalimat klasik ini kembali terdengar dari Gedung Parlemen Senayan pada awal November 2025 lalu. RUU Perampasan Aset, senjata pamungkas yang paling ditakuti para garong uang negara, kembali tertunda pembahasannya.
Bagi sebagian besar kita, berita ini mungkin lewat begitu saja, tenggelam di antara berita viral selebriti atau drama politik harian. Dan itulah bahayanya.
Bangsa kita memiliki satu kelemahan fatal: kita adalah bangsa yang pemaaf dan pelupa. Kita marah hebat saat kasus korupsi meledak, tapi kemarahan itu menguap dalam hitungan minggu. Kita mudah teralihkan oleh isu-isu remeh, atau lebih buruk lagi, terbuai oleh insentif sesaat (seperti bansos atau janji politik) sehingga melupakan masalah struktural yang lebih besar.
Mengapa Kita Harus Terus “Berisik”?
Para elit politik tahu persis psikologi massa ini. Mereka tahu bahwa menunda adalah strategi terbaik. “Tunda sampai rakyat lupa, tunda sampai ada isu lain yang lebih seksi,” mungkin begitu pikir mereka.
Jika kita diam, RUU ini akan berakhir di tong sampah sejarah, atau disahkan dalam bentuk yang sudah “ompong” dan tidak bertaji. Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi.
Mengapa RUU ini begitu penting untuk terus kita tagih?
- Efek Jera yang Sesungguhnya: Penjara tidak lagi menakutkan bagi koruptor di Indonesia. Selama aset mereka aman, mereka bisa “membeli” kenyamanan di dalam penjara dan “membeli” kekuasaan kembali setelah bebas. Hanya kemiskinan yang mereka takuti. RUU ini adalah satu-satunya alat yang bisa memisahkan koruptor dari “nyawa” mereka: uang.
- Pemulihan Kerugian Negara: Data ICW menunjukkan asset recovery kita sangat rendah. Negara rugi triliunan, yang kembali hanya remah-remah. Dengan RUU ini, negara bisa menyita aset mencurigakan sebelum vonis pidana (inkracht) yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bayangkan berapa banyak sekolah dan rumah sakit yang bisa dibangun dari uang rampasan itu.
- Mencegah “Pencucian” Dosa: Tanpa UU ini, koruptor bisa dengan mudah memindahtangankan aset ke anak, istri, atau kerabat. Saat vonis jatuh, koruptornya miskin di atas kertas, tapi keluarganya tetap kaya raya. RUU ini memungkinkan negara mengejar aset tersebut ke tangan siapapun ia berpindah.
Jangan Terkecoh Alasan Teknis
Alasan “menunggu RUU KUHAP” atau perdebatan istilah “perampasan vs pemulihan” yang dilontarkan di Senayan seringkali hanyalah buying time. Secara substansi, kebutuhan akan aturan ini sudah darurat. Negara-negara maju sudah menerapkannya puluhan tahun lalu. Tidak ada alasan teknis yang cukup kuat untuk menunda keadilan.
Masyarakat sipil, mahasiswa, dan media harus menjadi alarm yang tak henti berbunyi. Kita harus menjadi pengingat yang menyebalkan bagi para wakil rakyat.
Jangan mau lagi ditenangkan dengan janji “masuk Prolegnas”. Prolegnas hanyalah daftar keinginan; pengesahan adalah bukti komitmen. Kita harus menolak menjadi bangsa yang pelupa. Karena setiap hari RUU ini tertunda, setiap hari pula para koruptor tertawa melihat kita bekerja keras membayar pajak yang sebagian hanya akan masuk ke kantong mereka.
Mari kita rawat ingatan dan merawat bangsa kita. Mari kita tolak lupa. Sahkan RUU Perampasan Aset, sekarang.

























