WARTAKITA.ID Makassar – Sampah plastik yang dibutuhkan sebagai bahan baku aneka industri di Indonesia ternyata masih mengimpor dari luar negeri. Produksi sampah plastik olahan yang dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan peningkatan impor sampah plastik 141 persen (283.152 ton), puncak tertinggi impor sampah plastik selama 10 tahun terakhir, pada tahun 2013 impor sampah plastik Indonesia sekitar 124.433 ton.
Sekjen Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas), Fajar Budiono mengungkapkan, “Potensi kapasitas produksi daur ulang 2 juta ton per tahun, tapi kita baru bisa utilisasi di 1,2 juta atau 1,4 juta ton per tahun. Artinya masih ada potensi 600.000 nggak bisa dipenuhi bahan baku sampah plastik dalam negeri, akibatnya pemain daur ulang itu impor sampah plastik dari luar, ini ironis sekali,” katanya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (14/9/21).
Padahal, potensi sampah plastik dari berbagai sektor terbilang besar, utamanya dari konsumsi rumah tangga. Sayang, peluang tersebut belum dimaksimalkan oleh produsen sampah plastik dalam negeri dengan baik.
“Kenapa industri dalam negeri nggak bisa manfaatkan 100 persen sampah plastik dari dalam negeri? Karena manajemen pengelolaan sampah di kita masih belum ideal untuk industri daur ulang, yang mana mengakibatkan ongkos produksi yang mahal, dari sisi pemilihan, penggilingan, dan pemrosesan,” jelas Fajar.
Padahal, jika kebiasaan memilah sampah secara sederhana dimulai dari rumah masing-masing, maka langkah untuk impor sampah plastik bisa dikurangi bahkan tidak terjadi.
Kebiasaan membagi sampah organik dan non-organik sudah lama dimulai di kota-kota besar di Indonesia, tong-tong sampah yang tersedia di ruang publik selalu terbagi dua antara sampah organik dan sampah plastik.
Namun, masyarakat kita belum seluruhnya terbiasa memilah sampahnya, bahkan masih mudah kita temui orang-orang yang membuang sampah dari jendela mobil sambil terus berjalan, tanpa merasa telah melakukan sesuatu yang buruk dan salah.
Selain itu, profesi pemulung plastik masih dianggap pekerjaan yang tidak terhormat. Padahal, sudah banyak petani penggarap dan buruh bangunan yang beralih profesi menjadi pemulung plastik, karena harga sampah plastik lebih mahal dari harga beras perkilogram di beberapa daerah.
Bank sampah di banyak daerah juga sisa sedikit yang bertahan. Terpaksa ditutup karena kekurangan suplai sampah, bukan kekurangan pembeli sampah plastik. Sebab lain, bank sampah hanya berperan sebagai pengepul, tidak mengolah lebih lanjut sampah plastik tabungan nasabahnya menjadi biji plastik daur ulang.
Peluang bisnis sampah plastik masih terbuka lebar, dari hulu maupun hilir, selain menguntungkan secara ekonomi, juga ikut aktif menyelamatkan lingkungan hidup.