Wartakita.id, MAKASSAR — Ada sebuah narasi menggelikan yang kerap didengungkan oleh para elit dan pembela hak asasi “tertentu” ketika RUU Perampasan Aset dibahas: “Memiskinkan koruptor itu tidak manusiawi. Itu melanggar HAM.”
Narasi ini bukan sekadar argumen hukum; ini adalah sesat pikir (logical fallacy) yang berbahaya, yang sengaja dipelihara untuk melanggengkan impunitas oligarki di negeri ini.
Selama bertahun-tahun, kita disuguhi tontonan yang mencederai akal sehat. Seorang pejabat ditangkap karena korupsi triliunan rupiah, divonis penjara beberapa tahun (yang seringkali disunat remisi), lalu keluar dan tetap hidup bak raja. Mengapa? Karena aset utamanya—gunung uang hasil curian—masih utuh, tersimpan rapi atas nama kerabat, ajudan, atau perusahaan cangkang di luar negeri.
Bahkan dari balik jeruji besi, mereka bisa merenovasi sel menjadi kamar kost mewah. Uang sisa korupsi mereka masih cukup untuk menghidupi tiga hingga tujuh turunan dengan kemewahan yang tidak masuk akal.
Inilah definisi oligarki yang sesungguhnya: kekuasaan yang dibangun di atas tumpukan uang haram yang tak tersentuh hukum.
Membedah Logika “HAM” yang Cacat
Ketika negara mengambil paksa aset hasil korupsi, negara tidak sedang “menjahati” seseorang. Negara sedang mengambil kembali hak rakyat yang dicuri. Uang itu adalah uang sekolah yang bocor, uang obat di puskesmas yang tak terbeli, dan jembatan desa yang ambruk.
Berteriak soal HAM koruptor saat asetnya dirampas adalah ironi terbesar. Di mana teriakan HAM itu saat uang bansos dikorupsi dan rakyat memakan nasi aking? Di mana simpati itu saat dana pendidikan disunat dan atap sekolah menimpa murid?
Perampasan aset melalui mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (perampasan tanpa tuntutan pidana) adalah standar global. Ini bukan tentang menghukum orangnya (itu ranah pidana penjara), tapi tentang mengejar barangnya (in rem). Jika seseorang tidak bisa membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang tidak wajar, maka harta itu patut diduga hasil kejahatan dan wajib dikembalikan ke negara. Sesederhana itu.
Konsekuensi Logis bagi Keluarga
Lalu, bagaimana dengan anak istri yang ikut miskin?
Mari kita bicara jujur. Jika seorang ayah merampok bank dan membelikan anaknya mobil sport dari uang rampokan itu, apakah polisi jahat jika menyita mobil tersebut? Tidak. Mobil itu bukan hak si anak. Itu barang curian.
Demikian pula dengan keluarga koruptor. Kemewahan yang mereka nikmati selama ini adalah kemewahan semu yang dibangun di atas penderitaan rakyat. Jika aset itu disita dan mereka jatuh miskin, itu bukanlah pelanggaran HAM. Itu adalah konsekuensi logis dari keputusan kepala keluarga mereka untuk mencuri.
Menuntut agar keluarga koruptor tetap bisa hidup nyaman dari uang sisa korupsi adalah penghinaan bagi jutaan keluarga jujur di Indonesia yang bekerja keras memeras keringat hanya untuk makan sehari-hari.
RUU Perampasan Aset adalah satu-satunya cara memutus mata rantai dinasti oligarki korup ini. Tanpa undang-undang ini, penjara hanyalah “masa cuti” bagi koruptor sebelum mereka kembali menikmati hasil jarahannya. Kita harus berhenti bersikap naif. Memiskinkan koruptor bukanlah kekejaman; itu adalah bentuk keadilan sosial yang paling murni.
Jangan biarkan isu ini tenggelam. Bagikan artikel ini untuk merawat bangsa kita bersama.

























