Wartakita.id, JAKARTA – Sebuah data suram datang dari fasilitas-fasilitas kesehatan jiwa nasional, menandakan krisis senyap yang kian membesar di kamar-kamar anak dan remaja Indonesia. Data gabungan yang dirangkum redaksi Wartakita.id dari berbagai sumber, termasuk Dinas Kesehatan DKI dan beberapa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) rujukan, menunjukkan alarm merah.
Sepanjang periode Oktober hingga November 2025, terjadi lonjakan kunjungan pasien anak dan remaja (usia 7-18 tahun) yang terdiagnosis kecanduan gadget sebesar 28% dibandingkan periode yang sama tahun 2024.
Di RSJ Soeharto Heerdjan, Jakarta, total kunjungan untuk masalah ini mencapai 1.856 kasus, naik signifikan dari 1.450 kasus tahun lalu. Ini bukan sekadar angka, melainkan potret generasi yang bergulat dengan adiksi serius: 62% didominasi kecanduan game online, dan 31% terkait paparan konten pornografi.
“Gejalanya sudah sangat klinis. Anak marah, tantrum hebat jika HP diambil, bolos sekolah berbulan-bulan, hingga menunjukkan gejala depresi berat dan agresivitas,” ujar dr. Isa Multazzam Noor, Sp.KJ, dari RSJ Soeharto Heerdjan, (4/11/2025).
Jika Jakarta adalah episentrum, data dari daerah lain menunjukkan bahwa krisis ini telah menyebar ke seluruh penjuru negeri dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
Jakarta: Episentrum Krisis di Ruang Tunggu yang Penuh

Sebagai ibu kota, Jakarta menjadi cermin paling jelas dari fenomena ini. RSJ Soeharto Heerdjan di Grogol mencatat rata-rata 50 kunjungan pasien anak terkait gadget setiap harinya, atau 1.500 kunjungan per bulan.
Dominasi game online (62%) dan pornografi (31%) menunjukkan dua sisi mata uang digital yang paling merusak.
Gejala Klinis yang Muncul
Data RSJ Soeharto Heerdjan memetakan tiga gejala utama yang dibawa oleh orang tua:
- ADHD Sekunder (41%): Anak kehilangan kemampuan untuk fokus pada satu hal (seperti pelajaran) karena terbiasa dengan rangsangan instan dari layar.
- Gangguan Tidur (35%): Paparan blue light dan adrenalin dari game merusak jam biologis, membuat anak terjaga hingga larut malam.
- Perilaku Agresif (24%): Anak menjadi mudah marah dan reaktif secara fisik ketika akses gadget mereka dibatasi.
Kepanikan publik ini terefleksi dalam data digital. Pencarian Google di wilayah Jakarta untuk frasa kunci “cara atasi anak kecanduan HP 2025” melonjak 320% pada awal November 2025, menunjukkan banyak orang tua yang mencari solusi di titik kritis.
Gelombang Menyebar: Peringatan dari Daerah Penyangga

Krisis ini tidak lagi terpusat di Jakarta. Data dari dua RSJ besar di Jawa menunjukkan pola yang serupa, dengan pertumbuhan rata-rata 22%.
Di Kabupaten Bogor, RSJ Marzoeki Mahdi mencatat 1.120 kunjungan sepanjang Januari-Oktober, dengan proyeksi 180 kasus baru di bulan November saja (+22%). “Polanya mirip, temper tantrum. Yang mengkhawatirkan adalah temuan akses konten porno yang semakin mudah, seringkali melalui TikTok dan X (Twitter),” kata Dirut dr. Fidiansjah.
Di Kabupaten Malang, RSJ Radjiman Wediodiningrat Lawang juga melaporkan kenaikan 20% (980 kunjungan). Klinik Keswara, unit adiksi khusus, dilaporkan penuh dengan daftar tunggu antrean mencapai dua minggu.
Paradoks Baru: Saat Internet Merambah Luar Jawa
Analisis redaksi menemukan fakta yang paling mengkhawatirkan justru datang dari luar Jawa. Meskipun jumlah kasus absolutnya lebih kecil, tingkat pertumbuhannya adalah yang tercepat, mencapai 34%.
Ini adalah paradoks baru: ketika penetrasi internet dan infrastruktur digital dirayakan sebagai kemajuan, fasilitas kesehatan mental dan literasi digital keluarga di daerah tersebut belum siap.
Studi Kasus di Tiga Wilayah
- Kab. Bangka Belitung: RSJ Sungailiat mencatat 68 kasus baru dalam dua bulan terakhir (+35%). Ditemukan kasus ekstrem remaja 17 tahun yang menghabiskan 30 GB data per bulan, murni untuk game Free Fire.
- Kab. Selayar, Sulawesi Selatan: Sebuah riset lokal (jurnal.itscience.org) menemukan 42 remaja di beberapa desa terindikasi kecanduan berat, dengan 60% di antaranya dilaporkan putus sekolah sementara untuk fokus bermain game.
- Kab. Nias Selatan, Sumut: Di Desa Hilisataro Raya, 29 kasus anak (12-18 tahun) teridentifikasi bermain HP lebih dari 8 jam sehari.
Data ini membantah asumsi bahwa kecanduan gadget adalah “penyakit orang kota”. Ini adalah krisis nasional yang merambat secepat pemasangan menara BTS.
Solusi Tiga Langkah: Mendesak Sebelum Terlambat
Melihat data ini, intervensi tidak bisa lagi ditunda. Para ahli kesehatan jiwa, termasuk WHO, menyepakati tiga langkah mendesak yang harus diambil orang tua.
1. Atur Batas Waktu Layar (Screen Time)
WHO secara tegas merekomendasikan batas waktu layar (di luar kebutuhan sekolah) tidak lebih dari 2 jam per hari untuk anak di atas 5 tahun.
2. Ciptakan Aktivitas Offline
Kecanduan terjadi karena kekosongan. Studi menunjukkan bahwa anak yang memiliki aktivitas fisik terstruktur (olahraga, les seni, atau sekadar bermain di luar rumah) memiliki risiko kecanduan gadget 40% lebih rendah.
3. Jangan Ragu Konsultasi Dini
Jika anak sudah menunjukkan gejala tantrum hebat saat HP diambil, segera lakukan konsultasi. Jangan tunggu hingga harus ke RSJ. Pemerintah telah menyediakan layanan gratis via aplikasi SIAKJI (Sistem Informasi Aduan Kesehatan Jiwa) atau bisa dimulai dari Puskesmas terdekat.
Lonjakan 28% ini bukanlah statistik akhir. Ini adalah peringatan keras bahwa di balik kemajuan digital, ada generasi yang sedang berjuang—dan banyak di antaranya kalah—melawan algoritma yang dirancang untuk membuat mereka ketagihan.

























