Tragedi longsor di Gunung Kuda, Cirebon, yang menewaskan 21 orang bukan cuma soal bencana alam. Ini soal kelalaian berulang yang tak kunjung dibenahi. Warga sekitar menyebut longsor bukan hal baru. Bahkan sebelum kejadian akhir Mei lalu, sudah sering terjadi. Tapi tambang tetap jalan, seolah nyawa manusia bisa ditukar dengan batu.
Peringatan yang Diabaikan, Nyawa Jadi Taruhan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat lewat Dinas ESDM sempat mengeluarkan perintah penghentian sementara tambang pasca-longsor Februari 2025. Tapi seperti kata Kepala Dinas, Bambang Tirtoyuliono, “tidak diindahkan.” Instruksi tinggal instruksi, tak ada langkah tegas menutup kegiatan tambang yang jelas-jelas membahayakan.
Begitu ada korban jiwa, barulah izin PT Aka Azhariyah Group dan tiga perusahaan lain dicabut. Dua orang dijadikan tersangka. Tapi apakah ini cukup? Atau hanya respons reaktif yang biasa kita lihat tiap kali tragedi datang?
Masyarakat Tak Patuh, Risiko Terus Mengintai
Warga di sekitar tambang, seperti Suhendar dari Desa Cikalahang, mengakui bahwa tambang di Gunung Kuda sudah beroperasi lebih dari 20 tahun. Longsor? Sudah sering, katanya. Tapi anehnya, belum pernah ada penolakan besar dari masyarakat.
Alasannya bisa dimengerti: tambang menyerap tenaga kerja lokal, dari sopir truk sampai petugas kebersihan. Namun ini juga menunjukkan ada ketidakpatuhan warga dalam mendukung keselamatan lingkungan mereka sendiri. Debu tambang dibiarkan selama tidak terlalu mengganggu. Longsor dianggap biasa selama tak ada korban. Ini jadi tanda bahwa kesadaran akan risiko masih rendah, bahkan ketika bahaya sudah di depan mata.
Keselamatan Kerja yang Diabaikan
Taryana, sopir truk dari Indramayu, adalah satu dari sedikit yang selamat. Ia terjebak di dalam truk selama 30 menit setelah longsor menimbunnya. Untungnya, ponselnya masih berfungsi dan ia bisa meminta tolong.
Kejadian ini membuka mata bahwa penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tambang masih lemah. Jika K3 benar-benar dijalankan dengan serius—dari peringatan dini, prosedur evakuasi, hingga pelatihan keselamatan—kemungkinan besar jumlah korban bisa ditekan.
Tapi faktanya, sejak 2024 perusahaan tambang ini bahkan tak punya dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), padahal dokumen ini adalah dasar legal dan teknis untuk menjamin aspek lingkungan dan keselamatan kerja.
Pemerintah Daerah yang Berkelit dan Tanggung Jawab yang Tumpang Tindih
Manajer advokasi Walhi Jawa Barat, Siti Hannah, menyoroti lemahnya kemauan politik pemerintah daerah. Mereka kerap berdalih tak punya wewenang karena izin dikeluarkan pemerintah pusat. Tapi bagaimana dengan pengawasan? Bukankah daerah tetap bisa menghentikan kegiatan tambang yang nyata-nyata membahayakan warganya?
Faktanya, banyak pemerintah daerah bergantung pada pendapatan dari sektor tambang. Inilah yang membuat langkah tegas jadi tarik-ulur. Akhirnya, keselamatan warga jadi nomor sekian.
Longsor yang Terus Berulang, Tapi Tak Pernah Jadi Pelajaran
Gunung Kuda bukan baru sekali longsor. Catatan Walhi menunjukkan longsor sudah terjadi sejak 2015. Badan Geologi bahkan menetapkan kawasan itu masuk zona rawan gerakan tanah tinggi. Lereng curam, struktur tanah lepas, dan curah hujan tinggi memperparah risiko.
Kita bisa menyalahkan alam, tapi bencana seperti ini sebenarnya bisa dicegah. Dengan syarat: pemerintah serius bertindak, perusahaan menaati aturan, dan masyarakat tidak menutup mata hanya karena tambang memberi penghasilan.
Saatnya Mengakhiri Siklus Kelalaian
Tragedi di Gunung Kuda menunjukkan bahwa bencana bukan cuma soal alam. Ini soal ketidakpatuhan, lemahnya pengawasan, dan abainya semua pihak terhadap keselamatan. Kita tak bisa terus-menerus membiarkan luka lama ini menganga tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menyembuhkannya.
Karena nyawa manusia seharusnya tak pernah jadi harga yang layak dibayar hanya demi batu dan pasir.