Wartakita, MAKASSAR – Niat bisa berbeda dengan tujuan. Tujuan lebih bisa terukur dengan berbagai indikator, sedangkan niat hanya yang bersangkutan (dan Tuhan) yang tahu.
Meski niat nampaknya absurd, sebenarnya sebuah niat telah terlaksana atau mewujud, bisa diukur sendiri oleh yang bersangkutan.
Kepentingan dan tujuan hampir selalu ‘berjarak’ dengan niat. Misalnya bersekolah dengan niat menimba ilmu, tujuannya supaya memenuhi syarat punya ijazah sebelum bekerja –bukan menuntut ilmu, karena ilmu tidak punya uang membayar pengacara bila dituntut atau diadili– setelah selesai menimba ilmu, ternyata ilmu yang ditimbanya disempitkan oleh tujuan jadi selembar ijazah untuk melamar pekerjaan, tidak meluas menjadi pengamalan, pendalaman dan peleburan. Tujuan bersekolah tercapai, tetapi niatnya belum.
Jika niat menimba ilmu telah tercapai, maka seseorang akan ‘kepenuhan’ ilmu. Indikasinya, ilmunya pasti luber kemana-mana, mengejawantah, menular, melebur dan mewujud.
Tujuan cenderung bersifat praktis, pragmatis, paralel atau serial dan terputus setelah tercapai, sedangkan niat yang tunai dilaksanakan kerap berbentuk lateral hingga acak, akan mengembalikan seseorang ke niat semula, ke niat sebenarnya, lalu membentuk siklus.
Niat awal teman-teman usai memotret di pelabuhan rakyat Paotere untuk berpameran telah tercapai, kami ingin mengembalikan subyek foto, ke subyeknya masing-masing.
Foto milik Zulkifli Thalib telah pulang, kembali kepada subyeknya.
Foto di atas, yang berjudul “Kerja Sama”, potret anggota keluarga yang saling bahu-membahu menyelesaikan tugas rutin rumah tangga kecil mereka.
Niat Zulkifli Thalib tercapai pada Kamis malam 12 Mei 2016, pukul 23.40 Wita, sebelum pameran “Membingkai Paotere” resmi dibuka keesokan harinya.
Usai mensejajarkan bingkai-bingkai foto yang masih miring tergantung di batang bambu sepanjang pembatas jalan di pelabuhan Paotere. Kami rehat sejenak di warung yang sudah tutup.
Seorang ibu yang belum bisa terlelap keluar dari bilik di samping kedai tempat kami rehat. Melihat-lihat foto yang belum terpasang. Matanya tertuju pada sebuah foto.
“Pak, foto ini bisa saya pinjam sebentar? Mau saya perlihatkan ke orang dalam rumah,” suaranya basah saat meminta ijin pada kami.
“Bawa Bu, tidak apa, belum mau dipasang. Kami masih istirahat.” Jawab kami.
Dari samping bilik terdengar dialek Makassar, “Kamanakang ku kodong, rua-ruana niaki lalang potoa.” (Kemenakanku, keduanya ada dalam foto ini). Isak tangis perempuan dan suara laki-laki yang berusaha meredakan, terdengar sebelum foto itu diantar kembali ke tempatnya.
Bukan si ibu yang mengantar, tapi suaminya.
“Dua dari tiga anak dalam foto ini sudah meninggal dunia, yang dalam ayunan meninggal karena sakit sedangkan bocah laki-laki meninggal karena tenggelam.” Kata si bapak berusaha menjelaskan kenapa istrinya menangis.
“Boleh foto ini kami minta setelah pameran? Kami sama sekali tidak punya foto almarhum.” Tanyanya.
Tanpa sepengetahuan fotrografernya, Zulkifli yang sudah duluan pulang istirahat sejak pagi di Paotere membantu persiapan pameran, kami mengiyakan keinginannya.
Kisah semalam lalu menyebar ke dalam grup obrolan pameran dan sampai ke Zulkifli Thalib. Seperti dugaan kami, foto itu akan diserahkannya untuk orang tua almarhum dan ditambah satu bingkai foto lagi, kolase empat foto si anak untuk ibunya.