JAKARTA – Kementerian Perindustrian baru-baru ini merilis data yang mengguncang narasi pesimisme: sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 5,39% secara tahunan (YoY) selama periode Januari-September 2025.
Angka ini, yang disampaikan langsung oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam konferensi pers di Jakarta pada Minggu, 26 Oktober 2025, bukan sekadar statistik, melainkan sebuah respons tegas terhadap stigma “industri senja” yang telah lama membayangi sektor vital ini.
Namun, di balik angka-angka optimistis dan klaim keberhasilan, tersembunyi pertanyaan mendalam: apakah pertumbuhan ini berkelanjutan, siapa yang benar-benar diuntungkan, dan apa implikasinya bagi ekonomi nasional serta kesejahteraan pekerja?
Membongkar Angka: Lebih dari Sekadar Pertumbuhan Nominal
Pertumbuhan 5,39% bukanlah angka yang bisa diabaikan. Ini merupakan indikator kuat pemulihan dan resiliensi industri TPT Indonesia di tengah gejolak ekonomi global dan dominasi produk impor. Lebih jauh, sektor ini dilaporkan berhasil menyumbang ekspor hingga US$15 miliar dan menciptakan setidaknya 200.000 lapangan kerja baru. Angka ini secara langsung menantang pandangan bahwa industri tekstil nasional adalah sektor yang usang dan tidak lagi kompetitif. Proyeksi pertumbuhan akhir tahun yang mencapai 7% semakin menambah optimisme di kalangan pemerintah dan asosiasi industri seperti Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Namun, dalam kacamata jurnalisme data, penting untuk menguliti angka ini lebih dalam. Apa saja sub-sektor yang paling berkontribusi pada pertumbuhan ini? Apakah pertumbuhan merata di seluruh rantai nilai TPT, dari hulu hingga hilir? Pertanyaan ini krusial untuk memahami keberlanjutan dan fondasi pertumbuhan yang diklaim. Apakah ini hasil investasi jangka panjang atau respons insentif yang bersifat sementara? Tanpa analisis granular, optimisme dapat menjadi bias.
Strategi Hilirisasi dan Insentif: Senjata Melawan Dominasi Impor
Klaim pertumbuhan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto yang, menurut keterangan Kemenperin, berfokus pada hilirisasi dan pemberian insentif. Salah satu strategi kunci adalah program hilirisasi katun nasional, sebuah upaya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor dan memperkuat rantai pasok domestik. Insentif pajak yang diberikan diharapkan mampu menarik investasi dan meningkatkan daya saing produsen lokal.
Mengapa Hilirisasi Menjadi Kunci?
Hilirisasi dalam industri tekstil berarti mengolah bahan baku mentah, seperti kapas atau serat sintetis, menjadi produk jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi, seperti benang, kain, hingga pakaian jadi. Langkah ini bertujuan untuk:
- Mengurangi Ketergantungan Impor: Meminimalisir impor bahan baku dan setengah jadi yang seringkali menjadi beban neraca perdagangan.
- Meningkatkan Nilai Tambah: Produk jadi memiliki harga jual yang lebih tinggi, meningkatkan keuntungan bagi produsen domestik.
- Menciptakan Lapangan Kerja: Proses produksi yang lebih kompleks membutuhkan lebih banyak tenaga kerja terampil.
- Mendorong Inovasi: Kebutuhan untuk mengolah bahan baku secara efisien mendorong riset dan pengembangan teknologi baru.
Keberhasilan hilirisasi katun nasional, misalnya, akan sangat berpengaruh pada stabilitas harga bahan baku dan efisiensi produksi di tingkat manufaktur.
Selain hilirisasi, insentif pajak juga disebut-sebut sebagai motor penggerak. Insentif ini dapat berupa pengurangan pajak penghasilan, pembebasan bea masuk untuk mesin dan bahan baku tertentu, atau fasilitas pajak lainnya yang membuat investasi di sektor TPT menjadi lebih menarik. Relokasi pabrik-pabrik dari China dan Vietnam ke Indonesia, yang juga menjadi bagian dari narasi ini, mengindikasikan bahwa iklim investasi di Indonesia mulai dianggap kondusif, didukung oleh stabilitas politik dan potensi pasar yang besar.
Dinamika Pasar dan Adaptasi Industri di Era Digital
Pergeseran perilaku konsumen dan kemajuan teknologi juga memainkan peran penting. Adaptasi industri terhadap ekonomi digital, seperti penggunaan e-commerce dan pelatihan digital bagi pekerja, menjadi bukti kemampuan sektor ini untuk berinovasi. Sektor TPT tidak hanya berinovasi dalam produk, tetapi juga dalam model bisnis dan saluran distribusi.
Kabar pertumbuhan ini bahkan menjadi topik hangat di media massa seperti Jakarta Globe dan platform X (sebelumnya Twitter) melalui akun resmi @kemenperin, menarik ribuan likes dan memicu optimisme publik terhadap perekonomian nasional. Ini menunjukkan adanya persepsi positif yang terbentuk di masyarakat, yang pada gilirannya dapat mendorong kepercayaan investor dan konsumen.
Bayangan di Balik Kecerahan: Tantangan dan Kritik yang Belum Terjawab
Meskipun data pertumbuhan tampak menjanjikan, narasi keberhasilan ini tidak lepas dari beberapa pertanyaan kritis dan tantangan yang perlu dicermati secara objektif. Salah satu sorotan utama datang dari serikat buruh yang mengkritik isu upah minimum. Peningkatan lapangan kerja sebanyak 200.000 patut diapresiasi, namun pertanyaan mengenai kualitas pekerjaan, tingkat upah, dan jaminan kesejahteraan masih menggantung.
Apakah pertumbuhan 5,39% ini didorong oleh model bisnis yang mengandalkan upah murah untuk menarik investor asing? Jika demikian, ini dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi dan konflik sosial. Kebijakan pemerintah yang mendukung industri harus sejalan dengan peningkatan kualitas hidup pekerja. Keseimbangan antara menarik investasi dan memastikan keadilan sosial adalah tantangan abadi yang harus diatasi.
Selain itu, meskipun ada relokasi pabrik, industri TPT Indonesia masih menghadapi tantangan serius dari dominasi impor murah, terutama dari China. Kebijakan hilirisasi dan insentif mungkin membantu, tetapi efektivitasnya harus terus dievaluasi di tengah dinamika pasar global yang sangat kompetitif. Bagaimana pemerintah memastikan produk TPT lokal mampu bersaing, tidak hanya di pasar ekspor tetapi juga di pasar domestik?
Narasi keberhasilan pemerintahan baru, yang didorong oleh angka-angka positif seperti ini, memang dapat memperkuat legitimasi politik dan mendorong investasi lebih lanjut, dengan target Rp50 triliun pada tahun 2026. Namun, jurnalisme yang kredibel harus selalu mempertanyakan: apakah narasi ini mencerminkan realitas yang komprehensif, ataukah ada aspek-aspek lain yang perlu diungkap untuk memberikan gambaran yang utuh dan seimbang?
Kesimpulan: Membangun Fondasi Kokoh, Menjawab Tantangan Terukur
Pertumbuhan sektor tekstil sebesar 5,39% adalah sinyal positif yang tidak bisa diabaikan, menandakan resiliensi dan potensi besar industri ini untuk bangkit dari stigma “sunset industry.” Strategi hilirisasi dan insentif pemerintah, ditambah dengan adaptasi digital industri, telah menunjukkan dampak yang nyata dalam menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun, keberlanjutan pertumbuhan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada angka, tetapi juga mengatasi tantangan fundamental seperti keadilan upah bagi pekerja, daya saing produk lokal di hadapan impor, dan inovasi berkelanjutan. WartaKita akan terus memantau dinamika ini, menguak lebih dalam “mengapa” di balik setiap peristiwa dan dampaknya bagi setiap lapisan masyarakat, memastikan bahwa optimisme dibangun di atas fondasi yang kokoh, bukan sekadar narasi yang didorong oleh data parsial.























