Indonesia, Negeri 5 Menara, Namun Etika dan Moralitas Terus Tergerus. Refleksi atas jurang antara ritual keagamaan dan integritas sosial
“Surga Dunia” yang Rentan
Kita hidup di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia—sekitar 87% warganya beragama Islam, atau hampir 242 juta jiwa yang meresapi nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di balik status “Bumi Serambi Mekkah,” integritas publik justru kerap terkikis, seakan religiusitas menjadi kemilau kosong tanpa pondasi etika yang kokoh.
Paradoks Post‑Truth: Iman dan Kesalehan yang Bisa ‘Dibeli’
Di era post‑truth, narasi keagamaan sering dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Media sosial memamerkan kesalehan pejabat—haji keliling, donasi besar—namun lupa menyoal bagaimana kekayaan itu diperoleh.
Ketika agama menjadi “tiket instan” pengampunan, pertobatan sejati pun tenggelam. Koruptor dapat “menebus dosa” lewat ritual atau sedekah megah, padahal perilaku lama berulang tanpa evaluasi dan revisi moral mendalam.
Lembaga Hukum: Benteng Moralitas yang Bocor
Seharusnya aparat penegak hukum—polisi, jaksa, hakim—berdiri tegar sebagai perisai keadilan. Kenyataannya, transaksi gelap masih merajalela. Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi CPI 2023, jauh di bawah skor rata‑rata global (43).
Praktik suap di pengadilan dan penjara pintas bebas hukuman menjadi bukti bahwa sirene keadilan kerap tak terdengar bagi semua.
Studi Kasus: Ketika Panutan Justru Memudar
Gelar “haji” atau latar belakang dakwah tak lagi menjamin keteladanan. Mantan pejabat tinggi yang tertangkap KPK atas korupsi penyelenggaraan haji dan putusan hakim terima suap—semua memperlihatkan bahwa atribut religius bisa “mengkristal” tanpa mengakar pada moral asli.
Bahkan panti asuhan, ruang yang semestinya memelihara anak, tak luput dari skandal pelecehan, mengoyak kepercayaan masyarakat.
Akar Masalah: Agama sebagai “Jalan Darurat”
Agama idealnya menjadi pedoman etika, tetapi di tangan segelintir orang, ia berfungsi sebagai pintu darurat—mekanisme pengampunan tanpa pertanggungjawaban. Walaupun mereka tahu ‘emergency exit’ yang didapatkan hanya berlaku untuk hukum buatan manusia, bukan hukum Tuhan.
Sementara itu, supremasi hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah, menjadikan keadilan barang mewah yang hanya terjangkau mereka yang bersedia membayar.
Realitas Penanganan Korupsi
Sepanjang 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat 161 perkara korupsi, dengan 85 kasus gratifikasi sebagai jenis tertinggi. Dalam detail tahapan, KPK melakukan 127 penyelidikan dan 161 penyidikan, serta melaksanakan 124 eksekusi—angka yang meningkat signifikan dibandingkan tahun‑tahun sebelumnya.
Angka-angka ini mencerminkan upaya penegakan hukum yang sesungguhnya, namun masih harus diperkuat keberlanjutan dan transparansinya.
Solusi: Tegakkan Hukum, Teladan Pejabat Publik, dan Memupuk Karakter
Negara-negara dengan skor CPI tertinggi memberikan pelajaran:
- Denmark (90), Finlandia (87), dan Selandia Baru (85) menunjukkan bagaimana sinergi antara pendidikan etika dan penegakan hukum bisa menumbuhkan kepercayaan publik.
- Reformasi Total Peradilan: Hapus semua celah transaksi, audit independen, dan sanksi tegas tanpa pandang bulu.
- Transparansi Pejabat Publik: Laporkan harta secara berkala dan buka data audit untuk publik.
- Pendidikan Karakter Sejak Dini: Integrasikan kurikulum etika dalam setiap jenjang, bukan sekadar prestasi akademik.
Refleksi Akhir: Agama Tanpa Integritas, Tanpa Hukum Formil, Hanya Ritual Hampa
Agama adalah fondasi moral, tetapi tanpa hukum yang adil dan konsisten, ia bisa menjadi ritual hampa—topeng kemunafikan yang mereduksi makna sejati.
Masyarakat perlu menyadari bahwa gelar religius bukan jaminan kebaikan. Sebagaimana kata Prabowo Subianto dalam bukunya, kebijakan publik harus dibangun atas bukti, bukan opini. Kebijakan publik harus dibangun atas data dan bukti, bukan semata narasi, agar kita tak terjebak dalam paradoks “negeri lima menara” yang gemerlap namun rapuh.