"Pertemuan Pagi" Mau ke mana, Daeng? Ke puncak Gunung Bawakaraeng Hari masih subuh Jalan setapak masih remang Ya, aku sengaja jalan di remang agar nanti tak bingung di jalan terang Untuk apa ke puncak gunung, Daeng? letak kakbah bukan di sana Kakbah tak usah dicari karena menjadi pusat tubuhku sendiri Yang kucari adalah jejak bulan saat membelai ubun serigala sebelum lontara ditulis orang Ternyata Daeng pengagum nenekmoyang sampai lupa hidup yang sekarang Tidak! aku manusia masa depan yang mengaji juga bahasa kosmopolitan Tapi kehormatan dan kasih sayang tidak boleh kita gadaikan Karena senyum dan badik tak bisa dipisah nama dan nyawa jadi taruhan
Bahkan penyair D. Zawawi Imron merasa tidak lengkap berkisah tentang Sulawesi Selatan bila belum menulis syair tentang Gunung Bawakaraeng.
Puisi “Pertemuan Pagi” di atas ditulis Kyai yang Penyair atau sebaliknya, dalam buku puisinya “Mata Badik Mata Puisi”. Meski berasal dari Madura, namun puisi-puisi dalam “Mata Badik Mata Puisi” seolah membaca karya seseorang yang lahir dan besar di Gowa, bergaul di Bone, mengaso di Mandar, mampir di Soppeng, makan Surabeng di Luwu dan bertani di Toraja.
Gunung Bawakaraeng termasuk salah satu gunung Favorit para pendaki gunung. Kelompok pecinta alam antara tahun 80 hingga 90an hampir semuanya melakukan inagurasi penerimaan anggota baru di gunung ini, bukan di Gunung Lompobattang atau di Gunung Latimojong.
Musim hujan yang belum sepenuhnya berlalu menuntut fisik dan mental yang lebih kuat agar bisa mencapai puncak.
Jalur pendakian di musim hujan menjadi lebih ‘istimewa’ untuk dilalui. Jalan licin dan berlumpur, berulang kali membuat kami jatuh dan terpeleset, namun tetap melangkah. Jatuh soal biasa, bangkit dan harus kembali melangkah, pemandangan di puncak gunung sudah menanti kami.
Kering peluh, sirna keluh menatap fajar terbit dari puncak Gunung Bawakaraeng.
Dahaga dan letih usai meniti langkah akan terbayarkan menyaksikan matahari terbit di ufuk timur yang terlihat sangat indah dari puncak gunung. Bayaran tunai untuk usaha memanggul ransel dan berjalan dipinggir jurang curam serta menanjak, surga di ketinggian 2830 mdpl.
Namun kurangnya kesadaran para pendaki untuk menjaga kebersihan agar membawa kembali sampahnya turun gunung juga terlihat di sini.
Sampah berserakan di sepanjang jalur pendakian, api bekas masak belum benar-benar padam sudah ditinggalkan. Ingin kembali lagi ke sana hanya untuk memunguti sampah dan membawanya turun dari gunung. (Foto-foto: Ismail/Wartakita)