Dalam suatu riwayat, dikisahkan pada hari-hari terakhir menjelang Rasulullah wafat, beliau pada suatu hari meminta para sahabat dan umat muslim berkumpul dalam masjid.
Wajah Rasulullah pucat, tubuhnya lemah ketika berdiri di atas mimbar. Mimbar yang dulu berada di bawah batang pohon Kurma tua, yang terisak saat mengetahui mimbar akan dipindahkan dari bawah rimbun daunnya ke dalam masjid.
“Aku akan merindukan punggungmu ya Rasulullah,” lirih bisik pohon Kurma.
“Kita akan berkumpul lagi di surga,” jawab baginda Nabi.
Jawaban yang seketika menghentikan tangis pohon Kurma.
Dari atas mimbar di dalam masjid, beliau menyampaikan hal penting yang membuat para sahabat dan umat yang hadir ketika itu terdiam.
“Sesungguhnya tidak lama lagi aku akan menemui Allah, aku ingin menyelesaikan hutangku dengan manusia. Aku tidak ingin menemui Allah dalam keadaan berhutang pada manusia.”
Para sahabat dan jamaah yang sejak tadi terdiam melihat Rasulullah memaksakan diri dalam keadaan lemah dan sakit hadir ke tengah-tengah mereka, menjawab dengan gelengan kepala.
“Mana pernah Rasulullah berhutang pada manusia? Kamilah yang memiliki banyak hutang kepadamu,” jawab seorang sahabat.
Rasulullah mengulangi kembali pertanyaannya tiga kali.
Tiba-tiba Ukasyah berdiri, salah seorang sahabat yang di masa jahiliah seorang preman, berkata, “Rasulullah, seandainya yang mau aku sampaikan ini termasuk hutang maka aku meminta agar engkau selesaikan, namun jika bukan termasuk hutang maka aku akan merelakannya.”
“Sampaikanlah Ukasyah.”
“Dalam perang Uhud dulu, ketika engkau akan menaiki kudamu. Cambuk yang engkau lecutkan mengenai punggungku tiga kali.”
“Sesungguhnya itu termasuk utang Ukasyah, kalau dulu aku mencambukmu, maka hari ini kamu akan melakukan hal yang sama terhadapku.”
Ukasyah bergegas menjawab dengan lantang, “Kalau begitu aku akan mencambuk punggungmu tiga kali sekarang.”
Melihat sikap Ukasyah, alangkah geramnya para sahabat dan umat yang hadir ketika itu. “Engkau tidak berperasaan, tidakkah kau lihat Rasulullah sedang sakit!” Hardik salah seorang sahabat.
Ukasyah tidak peduli dengan keriuhan yang ia timbulkan. Tetap berdiri menunggu reaksi Rasulullah.
“Bilal, tolong ambilkan cambukku di rumah putriku Fatimah lalu berikan pada Ukasyah.”
Fatimah keheranan mendengar permintaan ayahnya yang disampaikan Bilal setiba di rumahnya, ia pun bertanya kepada Bilal sembari memberikan cambuk, “Untuk apa cambuk ini?”
“Akan digunakan Ukasyah mencambuk Rasulullah.”
“Mengapa Ukasyah akan mencambuk ayahku? Tidakkah dia tahu ayahku sedang sakit, cambuk aku saja sebagai gantinya.”
“Sesungguhnya urusan ini antara mereka berdua saja,” jawab Bilal sebelum berpamitan.
Sekembalinya di mesjid, Bilal menyerahkan cambuk ke tangan Ukasyah yang segera berjalan menuju Rasulullah sembari menggenggam cambuk.
Mendadak Abu Bakar berdiri dan menghalangi Ukasayah. “Kalau kamu hendak memukul Rasulullah, maka pukul-lah aku sebagai gantinya. Aku adalah orang pertama yang memeluk Islam.”
“Duduklah Abu Bakar, ini urusan antara aku dan Ukasyah.” Kata Rasulullah. Abu Bakar kembali duduk sembari tertunduk.
Ukasyah meneruskan langkahnya menghampiri Rasulullah. Sigap, Umar bin Khattab menghalangi langkah Ukasyah. “Dulu aku orang yang pernah ingin membunuh Rasulullah, tapi sekarang tidak boleh ada satu orang pun yang menyakiti Rasulullah selama aku masih hidup. Langkahi dulu mayatku Ukasyah!”
Rasulullah meminta agar Umar bin Khattab tidak menghalangi Ukasyah. “Duduklah wahai Umar, ini antara aku dan Ukasyah.”
Ukasyah meneruskan langkahnya. Kali ini sepupu sekaligus menantu Rasulullah yang berdiri menghalangi Ukasyah. “Darah yang mengalir dalam tubuhku sama dengan darah dalam tubuh Rasulullah. Cambuk aku saja,” pinta Ali bin Abu Thalib.
“Duduklah wahai Ali. Sungguh, ini urusan antara aku dan Ukasyah,” kata Rasulullah meminta Ali tidak menghalangi Ukasyah.
Ketika Ali bin Abu Thalib kembali duduk, mendadak putra kembarnya Hasan dan Husen, kedua cucu Rasulullah berdiri menghalangi Ukasyah. “Duhai Paman, Kakek kami Rasulullah sedang sakit, pukul kami saja. Kami berdua adalah cucu kesayangannya, mencambuk kami berdua sama saja dengan mencambuk Rasulullah.”
Kembali Rasulullah harus meminta kedua cucunya agar duduk. “Duduklah, ini urusan antara Kakek dengan Paman Ukasyah.”
Sesampai di depan mimbar, dengan lantang Ukasyah berucap, “Bagaimana aku bisa mencambukmu bila engkau berada di atas mimbar sementara aku di bawah. Kalau memang engkau mau aku cambuk, turunlah ke sini.”
Seisi mesjid terdiam menahan amarah.
Rasulullah lalu meminta para sahabat memapahnya ke sebuah bangku. “Lakukanlah Ukasyah,” kata Rasulullah setelah duduk.
Kembali dengan suara lantang, Ukasyah menjawab Rasulullah, “Dulu, saat engkau mencambukku, aku tidak mengenakan baju.”
Jamaah semakin geram melihat tingkah Ukasyah.
“Segera lakukan Ukasyah. Jangan berlebih-lebihan, nanti Allah menjadi murka kepadamu.” Perlahan Rasulullah membuka baju, hingga nampaklah punggungnya.
Melihat punggung Rasulullah terbuka, Ukasyah membuang cambuk di tangannya, menyerbu dan memeluk punggung Rasulullah sembari terisak. “Ampuni aku. Maafkan aku. Mana ada manusia yang sanggup menyakitimu. Aku sengaja menagih utang cambuk agar dapat merapatkan tubuhku ke punggungmu. Seumur hidup bercita-cita memelukmu, karena aku tahu tubuhmu diharamkan tersentuh api neraka. Aku takut dengan api neraka ya Rasulullah.”
“Jika kalian ingin melihat ahli surga, lihatlah Ukasyah,” kata Rasulullah tersenyum dalam pelukan Ukasyah.
***
Kisah punggung Rasulullah dan kecerdikan Ukasyah mustahil terulang di zaman sekarang.Namun, nilai dan hikmah dalam kisah tersebut tidak lekang oleh zaman.
Teori kepemimpinan modern, seperti “Kaizen” (perbaikan berkesinambungan) dan “Lean Methode” dalam ‘lean-leadership’, menganggap cara yang digunakan Baginda Nabi menyelesaikan permasalahan dengan Ukasyah adalah metode paling efektif menyelesaikan masalah. Dengan mendatangi, melihat, berbincang dan menyentuh langsung masalahnya.
Jika kisah tersebut diproyeksikan ke aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dan para siswa yang menuntut pembatalan RUU-KPK dan RUU-KUHP, isu kebakaran hutan, dan masalah kemanusiaan di Papua, bisa diwakilkan pada sosok Ukasyah. Sedangkan para sahabat dan kerabat mewakili aparat keamanan. Kemudian sosok Baginda Nabi sebagai sosok yang juga manusia biasa dan karena itu Beliau SAW. pantas disebut manusia yang agung, yang sedang dituntut atas ketidaksengajaan mencambuk punggung Ukasyah, mewakili semua pihak yang dengan kekuasaannya sedang membuat potensi masalah baru, dan belum menyelesaikan masalah lama.
Perbandingan yang tidak sepadan, dan memang bukan reputasi para tokoh dalam kisah tersebut yang ingin dibandingkan, melainkan nilai-nilai pegangan mereka dan Baginda Nabi yang telah melahirkan sebuah metode.
Ukasyah, seorang mantan preman pasar di zaman jahiliah, tidak bermaksud jahat saat menuntut balas pada Baginda Nabi. Ucapan, dan suaranya yang lantang tidak membuat para sahabat mencegah apalagi sampai bertindak yang sama sepertinya. Bahkan, manusia segarang Umar Bin Khattab mampu menahan diri karena menyadari, Ukasyah berhak untuk menuntut.
Apa lagi Baginda Nabi. Apalah artinya menjadi anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat, menteri, presiden, direktur KPK, aparat kepolisian, tentara, pemilik modal, mahasiswa, pemilik kekuasaan dan kemampuan mempengaruhi opini masyarakat lewat media resmi dan media sosial, yang mandatnya tidak bersumber seperti milik para ahli surga, masuk surga karena diwariskan oleh Allah langsung. Namun, berasal dari kerja keras dan pengorbanan melalui mekanisme resmi maupun tidak.
Andaipun mendapat mandat langsung dari Allah, belum tentu mampu menyerupai nilai-nilai kepemimpinan pegangan Baginda Nabi Salallahualaihissalam, yang selama tiga puluh tahun pertama masa kenabiannya tidak mengurusi hukum dan perundangan, tanpa pembangunan infrastruktur fisik, tanpa menggunakan legitimasi dari Allah untuk mengajak, apalagi memukau manusia dengan aneka mukjizat agar umat melepaskan diri dari kejahilian, tetapi dengan bekerja keras mengurus infra dan suprastruktur manusia. Mengurus akidah dengan menjadikan dirinya contoh dan panutan. Seperti kisah seorang pemuda yang mendatangi Baginda Nabi SAW. untuk meminta keringanan agar setelah ia menyatakan masuk Islam, hanya diberi satu perintah yang wajib ia laksanakan sebagai seorang muslim. Rasulullah hanya meminta pemuda tersebut menjaga keislamannya dengan tidak berbohong. Cukup dengan berlaku dan berkata jujur.
Tiga puluh tahun pertama masa kenabian, baginda Nabi Muhammad hanya mengurus akidah, meletakkan nilai-nilai tauhid hingga menjadi perilaku kemudian karakter pembentuk nasib umat. Kerja keras Baginda Nabi hasilnya terlihat pada reaksi para sahabat dan kerabat di dalam masjid ketika baginda Nabi Muhammad meminta agar Ukasyah membalas ketidaksengajaannya.
Jiwa-jiwa yang merdeka karena memegang teguh nilai-nilai ketauhidan.
Politik di zaman Baginda Nabi SAW. tidak butuh muslihat, dengan kejujuran dan nilai-nilai baik lainnya setelah bertauhid, siapa yang butuh kecanggihan siasat kecuali yang memandang Baginda Nabi SAW. sebagai musuh. Belum pernah ada kelindan antara pemilik modal, pemilik kekuasaan, dan pemuka agama yang berhasil, hingga ke zaman empat sahabat sepeninggal Baginda Nabi SAW., Siasat dan muslihat untuk mengelabui, tidak ada kelabu dalam tauhid.
Baginda Nabi walaupun tak sengaja, tetap menerima tuntutan Ukasyah. Ukasyah walaupun tidak benar-benar berniat membalas dengan cambukkan, ia betul-betul memanfaatkan haknya untuk memeluk punggung Baginda Nabi, untuk mengungkapkan cinta dan rasa takutnya. Tuntutan Ukasyah tidak menyisakan ruang bagi mereka yang berprinsip musuh bersama menjadikan kita kawan, karena Ukasyah tidak memusuhi Rasulullah.
Bangsa kita bukannya belum mengenal nilai-nilai kebaikan dalam ajaran tauhid. Sila pertama Pancasila dasar negara jelas sebagai bukti.
Para pendiri bangsa dan negara ini visioner, jauh sebelum Yuval Noah Harari mengenalkan istilah tatanan khayalan dalam ‘Sapiens’ (kami lebih suka menyebutnya tatanan kesepakatan), mereka sudah menyadari bangsa dan negara hanyalah kesepakatan-kesepakatan yang harus dijaga bersama. Pendiri bangsa ini tidak naif ketika menyusun lima sila Pancasila dasar negara.
Penerusnya yang naif, menganggap negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, haruslah mengesakan Tuhan agar memiliki kesadaran sebagai makhluk dan ciptaan –nyatanya kaum ateis juga bisa memiliki kesadaran memanusiakan sesama manusia, bukan hanya mereka yang monoteis dan politeis, malulah jika ternyata tidak beragama bisa membuat seseorang menjadi lebih manusia– agar mampu berperikemanusiaan yang adil beradab, dasar penyatuan beragam suku bangsa, agama, dan golongan yang bersepakat bertanah air Indonesia. Kerakyatan, permusyawaratan, untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Tatanan kesepakatan berupa bangsa dan negara tidak memiliki kewajiban bertuhan, mengesakan Tuhan, apa lagi beragama, tapi orang-orangnya. Dalam format apa pun, termasuk khilafah, telah salah kaprah jika menganggap tatanan kesepakatan dalam bentuk bangsa dan negara harus menganut dan menjalankan hukum dan ketentuan menurut aturan agama tertentu, apa lagi agama Islam dengan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama. Manusianya yang harus memiliki standar moral, etika, keadilan, kewibawaan, dan kemanusiaan. Mana ada negara, bangsa, dan lembaga yang akan dihisab dan dimintai pertanggung jawaban setelah mati. Ke lima sila Pancasila, pembukaan UUD 1945, berikut pasal-pasalnya bukan sesuatu yang sulit diamalkan, menjadi perilaku, kemudian karakter bagi seorang muslim yang syahadatnya bukan hanya di lisan, tetapi hingga menjelma menjadi perilaku dan karakter. Seorang muslim dengan jati diri syhadatain, bahkan mampu menjadi warga hingga aparat negara yang baik di sebuah negara ateis, sosialis, hingga komunis.
Bung Hatta pernah mengungkapkan kekhawatirannya, lebih baik bangsa Indonesia tenggelam di dasar lautan ketimbang menjadi bangsa embel-embel. Bangsa embel-embel kira-kira setara makruh, keberadaannya bukanlah masalah namun tidak memberi manfaat nyata, tapi kemusnahannya terasa sebagai manfaat. Naudzubillah min dzalik.
Kekhawatiran Bung Hatta dan Bung Karno hampir sama, dengan sebutan yang berbeda. Bung Karno tidak menyebut embel-embel, tetapi bangsa jongos. 74 tahun memproklamirkan kemerdekaan, baru bangsa dan negaranya yang merdeka, manusia merdekanya cuma sedikit. Orang-orangnya sebagian besar masih bermental jongos. Masih jauh dari jiwa-jiwa merdeka dalam kisah punggung Baginda Nabi SAW. dan Ukasyah.
Jongos dan pelayan berbeda dalam sikap mental. Pelayan dasarnya panggilan pengabdian sepenuh jiwa dan raga. Menerima ketetapan Tuhan yang berlaku atas dirinya berupa profesi apa pun, hidupnya bahagia dengan melayani. Jongos memberi pelayanan karena upah berupa uang, materi, dan harapan dari janji-janji manis. Pekerja dibayar untuk pekerjaan dan karyanya, tidak mencari perbaikan status sosial atau finansial, bekerja sesuai bayarannya saja.
Tidak sulit mengukur kadar kejongosan masing-masing.
Ada dua hal yang paling bisa membuat mental jongos memberontak dalam diri seseorang. Pertama, status sosial dan gengsi, bisa berupa struktur dalam lembaga resmi pemerintahan atau swasta, deretan gelar akademis, deretan sertifikat pengakuan, barang-barang bergengsi, panggung popularitas dan reputasi. Kedua, kemerdekaan finansial. Jongos selalu kekurangan dengan apa yang berlebihan. Pelayan dengan sabar dan syukur menikmati kecukupan dalam kekurangan. Pekerja selama upah sesuai pekerjaannya tidak akan timbul masalah.
Demonstrasi kemarin nyata menunjukkan sebagian besar komponen bangsa kita masih bermental jongos. Sibuk menyelamatkan reputasi di mata manusia dan tuannya masing-masing, bukan di hadapan Tuhannya, sembari menyelamatkan pundi-pundi kepeng upah.
Andai orang yang (hampir) merdeka yang membuat RUU KPK, tidak akan terpikirkan membuat aturan perundangan yang memangkas kewenangan KPK, tapi akan membubarkan KPK dengan tidak korupsi.
RUU KUHP adalah sebuah prestasi dan capaian luar biasa. Setelah sekian puluh tahun menggunakan KUHP warisan kolonial, akhirnya lahir juga kitab undang-undang hukum pidana buatan bangsa sendiri. Tidak mudah membuat kitab undang-undang hukum pidana di sebuah negeri yang dari jelata, mahasiswa dan siswanya (termasuk kami) sampai penguasa masih bermental jongos, yang masing-masing memiliki tuannya sendiri-sendiri, dan belum menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai majikan. Akibatnya berentetan sampai ke bawah. Kehilangan kemampuan memanusiakan diri sendiri dan orang lain dengan adil lagi beradab, terancam perpecahan dan disintegrasi, gagal menjalankan politik kerakyatan dalam musyawarah untuk mufakat, akibatnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin jauh dari kenyataan.
Mahasiswa dan siswa menjongoskan diri pada romantisme dan cita-cita mulia parlemen jalanan yang membela kepentingannya sekaligus kepentingan rakyat. Sebagian terpanggil oleh rasa solidaritas akibat perlakuan kasar aparat keamanan pada rekan-rekan mereka, sebagian memang hanya ingin eksis. Harus diakui, mereka bersikap jujur dalam menyuarakan sikap dan pendapatnya. Romantisme menjadi aktivis pengontrol kekuasaan akan lebih paripurna andai dilakukan setelah kalah di jalur konstitusional di Majelis Konstitusi, menguji materi perundangan dalam RUU KPK dan RUU KUHP. MK benteng terakhir yang mungkin masih bisa memandang suara rakyat sebagai wakil Tuhan, sebagai suara majikannya.
Pro dan kontra dengan pasal-pasal dan ayat-ayat dalam kitab undang-undang apa pun hal biasa dalam bernegara. Parlemen negara-negara maju hampir setiap tahun bersidang menyempurnakan kitab undang-undangnya sesuai dengan kebutuhan rakyat dan tuntutan zaman. Jika semua bentuk ketidaksetujuan harus disuarakan lewat demonstrasi, kapan bangsa kita mulai tersadar, tumpukan masalah tidak selesai begitu saja dengan reformasi berjilid-jilid hingga revolusi sekalipun. Masalah baru akan selesai bila dikerjakan, diselesaikan.
Masalah baru akan selesai setelah mengetahui sumber permasalahan sesungguhnya, sebagian besar telah beragama, tetapi belum menuhankan Tuhan agar mampu memanusiakan dirinya dan orang lain, atau belum memanusiakan dirinya agar mampu memanusiakan orang lain bila memilih ateis (tapi belum tentu tidak bertuhan, atau tidak menyebut Tuhan sebagai Tuhan).
Berdasarkan pengalaman menjadi mahasiswa di zaman (euforia) reformasi 1998, yang akhirnya terbukti bukan hanya orang dan sistem yang bermasalah, tapi mental jongos yang setia bersemayam setelah 74 tahun merdeka, pernah terlibat langsung dalam kebijakan tahunan pemerintah daerah sebagai tenaga profesional, memahami waktu para pejabat dan aparat negara sebagian besar habis untuk kegiatan rutin dan protokoler. Lebih memilih menyelesaikan masalah sendiri dulu sebelum meluas ke masalah keluarga, RT, RW, sampai bangsa dan negara.
Biasanya, setelah tuntas dengan masalah diri sendiri, tanpa sadar seseorang telah berbuat banyak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa dan negaranya, bahkan dunia. Minimal seseorang yang tidak mau menjongoskan dirinya kecuali kepada Tuhan, tidak akan menambah masalah yang ada dan tidak akan menjadi masalah untuk orang lain dengan menjadi jongos pembakar lahan, misalnya.