Kalau yakin semua niatnya baik dan lurus, maka bisa disimpulkan cara-cara yang ditempuh dalam meloloskan omnibus law yang tidak sepenuhnya transparan tidak berasal dari niat yang buruk, hanya keinginan mengakselerasi produk kebijakan dengan membalik proses sebelum memproduksi sesuatu, yang alur normalnya dimulai dengan empati, eksplorasi, purwarupa, evaluasi purwarupa kemudian validasi terus menerus sampai produk yang diluncurkan benar-benar solusi yang dibutuhkan oleh pasar. Kali ini luncurkan produk dulu, keluhan dan protes masyarakat akan memperbaiki dan menyempurnakan selama dalam pemakaian.
“Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah.” Adalah topik yang mendominasi diskusi informal dosen-dosen, mahasiswa senior yang sesekali mengajar sebagai asisten dosen, para peneliti, dan kami yang sedang dikontrak sebagai tenaga ahli unit pelaksana teknis di Universitas Tadulako Palu sekitar tahun 2006, saat berusaha memahami komposisi kabinet yang meniru kepengurusan partai penguasa ketika itu, yang jumlah kalangan akademisi dan ilmuwan hampir mengimbangi porsi kalangan politisi, birokrat, dan militer.
“Air tidak akan menyatu dengan minyak.” Jawab Zain yang baru saja wisuda. Setahun terakhir sedang senang memilah-milah, setelah mendalami agama sebagai pisau yang tegas memisahkan antara yang baik dan buruk, belum sebagai jalan mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan, yang kemudian bermanfaat bagi sesama.
Proses yang harus ia lalui sebelum memahami agama bukanlah kotak-kotak pengelompokan, kemudian memahami kemampuan mengenal dan memilah mana yang baik dan buruk belumlah bisa disebut sebagai beragama yang baik, benar dan utuh, dan berisiko karena kemampuan mengidentifikasi memberikan sensasi seolah bagian dari kebaikan setelah mampu melihat keburukan pada orang lain.
“Saya kira komposisinya memang dirancang tidak homogen. Asal dirigennya bagus, orkestrasi yang dihasilkan akan tetap indah. Kita tunggu saja, siapa tahu setelah nada sumbang menyusul intro yang bagus, walau terlambat.”
“Haruskah berbohong kalau berpolitik?” Tanyaku serius ke pak Inal, doktor arsitektur yang sedang meneliti pergerakan manusia purba di Nusantara berdasarkan sebaran situs-situs megalitik di berbagai daerah.
Kesimpulan sementara penelitiannya, patung dan perabot megalitik di Lore Lindu Sulawesi Tengah yang berusia lebih tua dari patung yang mirip di Pulau Paskah, indikasi awal sebagian manusia purba di Lore Lindu menyebar hingga radius ribuan kilometer ke banyak kepulauan di samudera Pasifik.
“Tergantung, kalau memandang politik sebagai cabang ilmu filsafat pertanyaanmu sudah termasuk berpolitik, usaha mendapatkan jawaban dariku merupakan tujuanmu atau akan kamu gunakan sebagai alat mencapai tujuan, maka berbohong menjadi tembok penghalangmu menguasai ilmu politik. Saya tidak tahu apa dalihnya mengapa berbohong boleh saja dilakukan oleh politikus, yang jelas kultur dan atmosfer dunia politik di negeri kita memang menganggap berbohong bagian dari strategi dan taktik. Sejak ideologi partai politik diseragamkan, tujuan orang berpolitik menjadi beragam. Masuk partai apa pun di Indonesia ideologinya sama, Pancasila, mewujudkan ideologi dan meraih cita-cita partai bukan lagi tujuan utama masuk partai politik, kebohongan para politikus dimulai ketika ideologi partai terdegradasi menjadi kendaraan mencapai tujuan lain. Ada yang untuk status sosial, pencapaian dan prestasi semasa hidup, perbaikan ekonomi, aktualisasi diri, menegakkan keyakinan pada tafsiran ajaran agama, sampai dendam pun ada. Aneka niat, motivasi dan tujuan berpolitik tersebut wajar terjadi di negara yang masih belajar meruntuhkan ego kelompok dan banyak golongan yang masih krisis identitas juga eksistensi, berlomba-lomba mendirikan berbagai partai politik, padahal ideologi semua partai politik di Indonesia wajib sama. Semasa hanya tiga partai politik, ideologinya memang sama-sama Pancasila, tetapi tiap partai mengambil sila tertentu dari Pancasila sebagai warna utama semangat dan cita-citanya. Semangat yang sedikit menolong para politikus mengetahui haluan dan tujuan mereka berpolitik sebaiknya melalui parpol yang mana, komposisi Pancasila yang sudah lengkap mulai dari pondasi, cita-cita, dan syarat meraih cita-cita berbangsa dan bernegara.”
“Jadi kesimpulan Bapak, boleh saja berbohong dalam politik karena bagian dari cara mencapai tujuan atau cita-cita yang lebih mulia?”
“Tidak hanya politikus, setiap manusia punya dalih dan tujuan masing-masing mengapa berbohong, semua boleh berbohong dan harus menanggung konsekuensinya. Namun, sebagai politikus yang telah diambil sumpahnya sebagai pejabat publik maupun yang tidak, berbohong bukan pilihan yang akan diambil oleh mereka yang ingat ideologi dan cita-cita semua partai politik di Indonesia sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Kalau pun kelak cuma ada lima parpol di Indonesia yang masing-masing mengambil sila berbeda dari Pancasila sebagai semangat utamanya, rasanya politikus kita masih cenderung memilih berbohong, sebagai cara paling instan menghindari masalah. Manusia senang berbohong bukan hanya karena ia seorang politikus, atau karena politik memberi ruang luas menafsirkan kejujuran dan kebohongan yang kerap ditentukan oleh mayoritas, atau karena utopia pada cita-cita mulia berpolitik yang membuat manusia memandang remeh kejujuran demi sesuatu yang diyakininya lebih besar, lebih penting, dan lebih mulia.”
“Politik tidak sesederhana dua hal yang saling bertolak belakang, politik ruang abu-abu tempat kemunafikan berpesta.” Timpal Zain yang sejak tadi hanya menyimak.
“Kalau awalnya sederhana maka akhirnya juga harus sederhana, menjadi rumit dan mudah saja berbohong karena niat yang belum benar-benar bersih dan lurus. Terjun ke politik praktis kurang lebih sama seperti berbelanja di supermarket yang nyaman. Kita mulai digoda sejak di tempat parkir, sebelum memasuki rak-rak pajangan yang diatur sedemikian rupa agar mengubah niat datang untuk membeli sekilo gula pasir menjadi sekeranjang belanjaan. Ruang boleh saja kelabu, hitam pekat juga tidak mengapa, tetapi mutiara niat harus tetap mutiara.” Jawabku.
“Buktinya apa kalau niat adalah segalanya?” Kali ini pak Inal yang bertanya. Pasca reformasi tahun 1998 hingga hari ini, setiap menjelang pemilihan umum ia setia menolak undangan dan ajakan bergabung dari berbagai partai politik. Politik praktis baginya tidak identik dengan profesi politikus, berpolitik telah meluas menjadi kegiatan keseharian termasuk saat diskusi dan mengajar di ruang kelas. Menjaga amanah 250 juta rakyat Indonesia bukan perkara mudah setelah ia mengetahui sulitnya menjaga amanah para orang tua dan kepercayaan ratusan mahasiswanya.
“Dua kejadian politik dan kekuasaan yang saya ketahui bukti bahwa niat adalah penentu hasil akhir, sekaligus bukti kalau kebohongan dan aneka muslihat yang penuh kerumitan cara meraih tujuan, indikasi niat yang belum benar-benar lurus. Kejadian pertama, walau secara aklamasi menerima baiat umat muslim sebagai khalifah kelima menggantikan ayahnya, Hasan bin Ali akhirnya bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Beliau tidak memaksakan ambisi untuk berkuasa, meski punya hak untuk itu setelah menerima baiat umat. Kata beliau, saya tidak akan membawa kemarahan dan kedengkian terhadap siapapun. Saya juga tidak menginginkan suatu kerugian dengan perdamaian ini. Ketahuilah, sesungguhnya apa yang kalian benci dalam persatuan tapi kalian bersatu lebih baik bagi kalian dari pada kalian mendapatkan apa yang kalian harapkan tetapi kalian berpecah-belah. Niat lillahi ta’ala Hasan bin Ali menerima baiat konkrit dalam bentuk persatuan umat Islam tanpa peperangan. Menjadikan hal serumit berperang dengan Muawiyah yang berambisi dan godaan dendam karena jelas-jelas Muawiyah pernah memerangi ayahnya, selesai dengan solusi sederhana tanpa pertumpahan darah. Walau mundur dan menyerahkan kekuasaan, Hasan bin Ali tidak terhina dan niatnya tercapai.
Kejadian kedua juga kisah nyata, niat yang benar-benar lurus dan bersih bisa menjadi sebab si empunya niat gagal berkuasa, karena dengan begitu niatnya tetap terjaga. Kejadiannya awal tahun sembilan puluhan, menjelang pemilihan direktur baru sebuah perusahaan ada dua nama yang dicalonkan oleh rapat umum pemegang saham (RUPS). Nama ini kemudian dibawa ke karyawan dan keluarga karyawan, satu nama yang menonjol diketahui semua orang tidak perlu lagi dipertanyakan niatnya mengapa dicalonkan oleh RUPS, satu nama lagi mencalonkan diri karena berhak dan telah memenuhi persyaratan. Semakin dekat hari pemilihan, semakin gencar fitnah menerpa calon yang pertama, tetapi tidak membuat si calon merasa terganggu sampai perlu membuat klarifikasi, tidak khawatir fitnah-fitnah tersebut akan membuatnya kehilangan suara mayoritas di RUPS. Ketika ditanya oleh salah seorang pendukungnya mengapa tidak seambisius calon kedua, minimal membantah fitnah. Jawabnya, besaran tanggung jawab, panggung dan fasilitas sebagai sopir atau kernet memang berbeda, tetapi ketika keduanya berfungsi dengan baik, maka yang akan membedakan antara sopir dan kernet di mata Tuhan hanya niat masing-masing. Jawabannya ini menyebar di antara peserta RUPS, menyapu bersih terpaan fitnah yang sempat membuatnya kalah suara dibandingkan calon kedua. Tibalah hari H, hari pemilihan. Ia baru saja duduk di ruang rapat ketika sopirnya menyampaikan kabar, putranya baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal dunia di tempat kejadian. Giliran pertama berbicara ia gunakan untuk pamit pulang ke rumah, mengundurkan diri dari pencalonan karena tidak mampu memenuhi beberapa syarat untuk dipilih, menyampaikan sendiri visi misi dan menghadiri RUPS sampai selesai. Kematian putranya juga menyelamatkan calon kedua (yang otomatis terpilih sebagai calon tunggal) dari pengusutan selebaran gelap yang menjatuhkan saingan dan menguntungkan dirinya. Niat kedua calon tersebut diluruskan lewat satu kejadian. Seminggu kemudian, calon pertama menjadi kernet, dan calon kedua memulai tugasnya sebagai sopir, saling memaafkan sebelum melaksanakan tanggung jawab masing-masing.”
“Niat yang baik dan lurus asal mula laku jujur yang melahirkan penyederhanaan. Sederhana berarti hilangnya meja panjang distribusi pemuasan kepentingan dan keserakahan. Sementara sistem pengambilan keputusan politik rancangan para politikus sendiri, sebagian besar tidak dirancang untuk menyederhanakan masalah, tetapi untuk mewakili kepentingan dengan prioritas yang berbeda-beda, meski pun semuanya sadar kepentingan rakyat harus yang utama.” Kata pak Inal menanggapi. “Keburu karam kalau menunggu terbangunnya sistem sederhana atau munculnya orang-orang jujur dari dalam sistem. Mulailah berusaha jujur dari sekarang, sebagai seorang intelektual dan akademisi medan perjuanganku menegakkan kejujuran di ruang kelas dan di kampus, kamu di bidangmu sendiri, semoga dengan begitu suatu hari dari medan perjuangan kita masing-masing lahir orang-orang jujur yang mampu menyederhanakan kerumitan yang kita ciptakan sendiri.” Tambahnya menutup diskusi.
Intrik politik ‘Cicak versus Buaya’ yang memicu diskusi hari itu, yang berhasil membuat tokoh-tokoh yang terlibat langsung dan sebagian besar ilmuwan dan cendekiawan yang duduk dalam kabinet lebih memilih diam ketimbang memberikan masukan ilmiah dan jujur menurut sudut pandang keilmuan masing-masing, berakhir baik karena diakhiri sebagai anti klimaks sebuah babak drama politik dan kekuasaan lewat jalan kekeluargaan, tidak sampai menjadi alasan memuncakkan konflik.
Banyak lagi kejadian sampai hari ini yang menunjukkan manusia masih takut menggunakan kejujuran sebagai alat yang efektif meraih tujuan hidup personal maupun kolektif, bukan hanya tujuan politik, dan menjadikannya sebagai mata uang yang berlaku di mana saja.
Kejujuran dan kesetiaan adalah kemewahan sesungguhnya. Sulit dan langka ditemukan pada diri sendiri dan orang lain yang masih murahan, berapa dan berupa apa pun label harga yang kita pasang, tetap murah selama ada harganya.
Sebagai pribadi, rasanya semua orang pernah merasakan betapa sulit berlaku jujur. Pisau kejujuran tanpa ampun akan menelanjangi setiap orang yang mencoba jujur pada dirinya sendiri dan orang lain dengan bertemu diri sendiri, musuh dan ketakutan terbesar setiap manusia yang membuat kita berani berbohong. Tidak semua orang mau dan mampu menatap diri sendiri yang ternyata masih tersusun dari aneka perkara yang tidak dibawa mati.
***
Beberapa bulan kemudian, pemerintah kota Palu mengumumkan krisis listrik masih akan melanda selama beberapa tahun ke depan, memenuhi tuntutan masyarakat adat dan aktivis lingkungan hidup yang menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Keputusan yang menjadi topik diskusi kami berikutnya.
“Prak saja dulu, belakangan hitung-hitungan.” Prinsip yang menjadi pegangan mahasiswa fakultas teknik Universitas Hasanuddin agar berani mengambil langkah pertama, peganganku dan pak Inal ternyata tidak berdaya di dunia nyata. Berani salah hanya berhasil di lingkungan akademis kampus, polisi-polisi kesalahan hitung, salah gambar, kesalahan tata bahasa, tanpa diminta dan ribut-ribut akan membetulkan dan menjelaskan di mana letak kesalahan. Kepala Bappeda yang juga alumni fakultas teknik, tidak lagi menggunakan prinsip semasa kuliah.
“Dalih pemerintah kota yang disampaikan ke media memang cuma satu, alasan masyarakat adat dan aktivis lingkungan menolak PLTA juga terlihat cuma satu. Kenyataannya tidak demikian. Besok ikutlah denganku ke Musrembang, kebetulan ada topik pembahasan besok tentang krisis energi.” Kata Pak Inal mengajak.
“Biar kamu melihat sendiri bagaimana proses sebuah keputusan politik diambil di tingkat kota, yang nanti akan dibawa ke tingkat provinsi, kemudian nasional. Perbedaan skala mungkin ada, tetapi atmosfernya sama, khas birokrat dan politisi Indonesia.”
“Saya tidak punya undangan.”
“Kamu wajib hadir sebagai tenaga ahli yang disewa pemkot, dan masa depan bisnis unit pelaksana teknis UNTAD juga tergantung kemampuan kita mengatasi krisis listrik.”
Kami tiba sebelum rapat dimulai. Seperti seluruh pemerintah daerah di Indonesia dan pemerintah pusat, musyawarah pembangunan daerah didominasi pembahasan anggaran, lebih dari tiga perempat anggaran pusat juga daerah terserap untuk belanja rutin dan program lanjutan. Tersisa sekitar seperempat anggaran yang menunggu program, yang sebagian sudah dikapling oleh berbagai kepentingan. Sisanya lagi di lempar ke forum yang terdiri dari unsur Muspida, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum. Entah memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, tidak satu pun yang memiliki usulan program untuk sisa anggaran yang masih cukup besar untuk kota sekecil Palu, dengan pendapatan asli daerah terbesar dari retribusi dan galian chipping. Mungkin karena sisa waktu kurang dari sejam, musyawarah akan dilanjutkan esok pagi.
Sepanjang perjalanan dari kompleks perumahan dosen menuju ruang rapat di kantor DPRD pemerintah kota Palu, terlihat begitu banyak persoalan yang sebenarnya sepenting krisis listrik dan sudah berada di sana sejak beberapa tahun lalu. Rasanya ingin sekali mengangkat tangan mengusulkan pengadaan instalasi bio gas kemudian mengadakan bantuan popok sapi dan kerbau meniru kuda penarik dokar yang lebih dulu menutup aurat dan kotorannya, tidak lagi mengotori dengan bau dan bakteri di jalan-jalan kota.
“Bagaimana?”
“Membosankan dan penyelesaian krisis listrik diserahkan ke pemerintah pusat.”
Pasca reformasi 1998 yang menekan tombol reset sistem dan program pembangunan nasional, serentak beberapa daerah di Indonesia mengalami krisis energi listrik. Cetak biru tahapan pengembangan pembangkit energi listrik Indonesia terhenti di pemanfaatan teknologi usang dan kotor, PLTU dengan bahan bakar batu bara, gas, dan minyak bumi. Pengembangan pembangkit listrik bertenaga nuklir terhenti, energi terbarukan belum dilirik, stok batu bara menggunung membuat resah para pengusaha tambang, kembali ke PLTU akan mereka perjuangkan. Ini yang pak Inal maksud ada banyak kepentingan mengapa tuntutan membatalkan pembangunan PLTA disetujui pemerintah kota dan mengapa ada yang begitu getol mendukung masyarakat yang menolak.
“Pengulangan rutin memang membosankan, kecuali salat bagi orang-orang tertentu.”
“Hampir semua salatku rutinitas penggugur kewajiban, yang bikin tidak bosan, penghalang mengadu langsung kepada Tuhan dalam salat lebih banyak diri sendiri. Begitu banyak persoalan di sepanjang jalan menuju ke sini yang butuh program agar ada anggaran untuk solusi teknis, tetapi tidak satu pun peserta musyawarah yang melihat. Apa atau siapa yang menghijab?”
“Punya mata tapi tidak melihat, punya kuping tapi tidak mendengar, dan celakanya hati yang tidak butuh mata dan telinga, sudah lebih dulu buta dan tuli.
Bukan hanya di Palu, saya berani bilang sampai ke tingkat nasional karena pernah menghadiri sendiri. Bedanya, di pusat ramai oleh makelar anggaran yang ikut memperjuangkan program.”
Tidak hanya di pemerintahan, semua komponen bangsa, hampir di semua sisi kehidupan di Indonesia sampai yang keseharian dalam keadaan terhijab, buta dan tuli. Ada yang terhijab oleh dirinya sendiri dan oleh orang lain. Sebagian ulama ada yang menjadi hijab bagi umatnya untuk mengenal Tuhan langsung, sebagian guru menjadi hijab bagi muridnya agar tidak mampu belajar sendiri, seniman senior menjadi hijab bagi seniman muda yang bakatnya bersinar, politikus dengan kepentingannya masing-masing menjadi hijab antara pemerintah dengan rakyat, sebagian unsur pemerintah menjadi hijab bagi kesejahteraan rakyatnya, dan kerap rakyat sendiri yang menjadi hijab bagi program baik dari pemerintahnya.
“Sistem atau manusianya?” Tanya pak Inal lagi.
“Di negeri lain sistem membentuk manusia dengan koridor-koridornya sampai ke alam bawah sadar, turis-turis Australia di Bali separah apa pun mabuknya masih berusaha mencari tong sampah untuk membuang sampah pada tempatnya. Di Indonesia, jangankan sistem buatan manusia, sistem buatan Tuhan pun dicari celahnya. Mungkin trauma penjajahan yang membuat koridor terlihat sebagai kekang ditambah euforia kemerdekaan dan reformasi, aturan tidak terlihat sebagai dinding pengaman mencegah menuju jurang, ditambah kurangnya kepercayaan kepada para pembuat koridor.”
“Hahaha, betul itu, saya mengalami sendiri sewaktu berhaji tahun lalu. Seorang kontraktor nasional kawan perjalanan dengan wajah bersalah mengakui betapa ia membutuhkan ibadah haji atau umrah setiap tahun agar merasa tetap manusia dengan memohon ampunan di tempat-tempat di mana doa mustajab sebelum kembali ke tanah air, dan kemungkinan akan mengulang keburukan yang sama. Zakat dan sedekah baginya memang pembersih harta yang kotor sumber dan cara mendapat, bukan lagi untuk membersihkan dari hak para wajib zakat. Kebiasaan kenalanku masih bisa kubenarkan, setidaknya ia masih berharap ampunan pada Allah, bukan pada yang lain. Ada juga yang mencari celah aturan dan sistem buatan Tuhan bukan lagi untuk mencari jalan beroleh ampunan, tetapi hendak menipu Tuhan. Butuh sisir yang tidak mudah patah dan bengkok untuk meluruskan semua kekusutan, sembari membiarkan rambut-rambut sehat meluruskan barisannya sendiri.”
“Sebaiknya jalan paralel antara membenahi sistem dan diri sendiri atau manusianya. Rangkaian sumber daya yang disusun paralel, arusnya berlipat lebih besar tetapi tegangan tetap.”
“Serial, lateral, fraktal atau kombinasinya juga tidak mengapa, teknis pelaksanaan di lapangan menyesuaikan dengan keadaan. Pertanyaan sebenarnya mau kah kita? Sebagai penonton pikiran kita berdua lebih jernih, saat masih pelaku ada dinding tebal yang menghalangi pandanganku melihat persoalan sebagaimana adanya yang menumbuhkan empati, dari sana ide-ide solusi bermunculan. Sebagai kontraktor atau pebisnis, saya melihat persoalan adalah peluang mendapatkan keuntungan finansial lewat solusi teknis yang kutawarkan. Kawanku yang politikus melihat sebagai batu loncatan untuk karir politiknya, kalau selesainya masalah menguntungkan untuknya maka ia akan mendukung penyelesaian masalah, tetapi kalau keuntungan datang dari masalah yang berlarut-larut tidak selesai-selesai ia akan mencegah persoalan terselesaikan, itulah mengapa seringkali muncul solusi menara gading, megah, mentereng, mengundang decak kagum tapi tidak menyelesaikan persoalan apa-apa malah menambah, atau sebaliknya ada masalah yang sengaja dibiarkan berlarut-larut karena merugikan lawan politik. Memang harus dimaukan dan dimampukan Tuhan, barulah aneka hijab bisa dirubuhkan.”
“Kapan terbangun sistem demikian? Siapa saja yang akan dibuat mau dan mampu oleh Tuhan? Ketimbang menunggu sistem dan orang yang dimaukan dan dimampukan Tuhan merubuhkan hijab, adakah yang bisa dilakukan sejak sekarang?” Tanyaku ambil melihat ruang rapat DPRD kota makin lengang ditinggal pulang.
“Persoalan selalu sepasang dengan solusi. Pasti ada, hanya soal waktu.”
“Solusi dan masalah selalu manusia sumbernya. Agama, ilmu pengetahuan dan politik itu sendiri, yang mestinya menjadi sumber solusi dan jalan keluar, di tangan manusia malah jadi sumber masalah.”
“Apa harus semua mesin yang menggantikan manusia baru semua persoalan teknis selesai dengan solusi teknis tanpa harus digoreng dan diplintir kemana-mana? Dalam konteks bangsa dan negara, andai struktur negeri kita jelas pemisahan antara pemimpin ideologis atau pemimpin bangsa dengan manajer negara atau pemimpin administratif, sudah banyak mengurangi masalah yang ada sekarang. Terpisah jelas antara persoalan politis dengan persoalan teknis dan manajerial. Kurangi peran manusia, perbanyak peran mesin yang tidak memiliki kepentingan apa-apa kecuali menyelesaikan persoalan yang disodorkan.”
“Persoalan ada untuk memanusiakan manusia, tetapi di setiap masalah kita malah bergerak ke arah yang menghilangkan kemanusiaan diri sendiri dan orang lain, menggunakan mesin apa tidak akan mendorong manusia semakin meninggalkan kemanusiaannya?” UPT Untad yang ia pimpin, dan divisi IT yang dipercayakan kepadaku baru saja mulai diterima menggantikan gaya kerja lama dari bekerja dengan mesin ketik listrik berupa komputer, jadi kerja bersama dalam jejaring komputer, sedang terancam tutup tahun depan karena dengan krisis listrik tidak akan mampu melayani pelanggan dengan komitmen 99% koneksi selalu tersedia.
“Setidaknya ketika mesin yang berlaku atau mengambil keputusan tidak manusiawi, keputusannya masih logis, memenuhi logika keadilan meski belum adil secara rasa karena pertimbangan emosional tidak dimiliki mesin. Tetap manusia yang menyetujui dan melakukan eksekusi sebagai gerbang penjaga.”
“Mungkin belum waktunya dan mesin sekarang belum cerdas. Kalau pun mesin mengambil alih sebagian besar fungsi administratif manusia skala bangsa dan negara, pada akhirnya mesin akan kembali seperti hal-hal lain yang difungsikan tidak sebagaimana mestinya oleh manusia yang menguasai dan mengendalikan.”
***
Rangkaian diskusi acak sekitar belasan tahun lalu, terangkai kembali menjadi satu benang merah, setelah riuhnya penolakan pada omnibus law yang masih setopik.
Kebijakan apa pun yang diambil oleh pemerintah pasti akan mengundang pro dan kontra karena sifat kebijakan dan keputusan yang mendua, tidak bisa dihindari oleh siapa pun yang sedang berkuasa, sebagai keputusan politis yang akan dicatat sejarah dan sebagai solusi teknis atas persoalan teknis.
Kesampingkan sementara aspek politis omnibus law, ambil sisi teknisnya dulu.
Benarkah omnibus law akan menyederhanakan kesemrawutan peraturan dan perundangan di negeri ini yang membuat investor lebih memilih Vietnam, Thailand dan Malaysia ketimbang ke Indonesia setelah hengkang dari Tiongkok? Apakah pertimbangan investor tidak ke Indonesia hanya karena masalah perundangan atau masih ada hambatan lain? Bagaimana dengan kondisi di lapangan yang terjadi hampir di semua kawasan industri, pungli-pungli sejak pembebasan lahan hingga pabrik mulai operasional membuat biaya produksi memiliki banyak pos yang membuat harga produk jadi mahal. Mengapa penolakan begitu masif? Benarkah omnibus law merugikan rakyat padahal diniatkan untuk menyejahterakan dan membahagiakan rakyat? Mampukah omnibus law mendongkrak kembali perekonomian nasional setelah terpuruk di masa pandemi Covid-19?
Ada banyak pernyataan dan dalih yang perlu pembuktian secara empiris.
Tidak seperti semasa di Palu, akses ke data primer dan sekunder begitu terbatas untuk diakses, namun minim bias disinformasi. Kali ini informasi dari sisi pemerintah dan wakil rakyat yang kali kedua kompak berusaha meloloskan undang-undang kontroversial menurut rakyat dan berbagai pihak, setelah RUU-KPK dan KUHP, tumpah ruah di internet. Baik melalui media konvensional maupun melalui media sosial. Benar-benar harus menyaring berkali-kali atau keracunan informasi.
Aneh, keduanya terasa benar, baik yang mendukung maupun yang menolak, dalil dan alasan yang dikemukakan sama-sama benar dan logis. Persoalan pro dan kontra di luar romantika demonstrasi yang mengadu sesama anak bangsa, di luar piagam penghargaannya nanti untuk siapa, tidak lebih hebat dari persoalan sepasang suami istri yang sama-sama sadar mereka butuh mobil, mampu beli mobil, tetapi masih berdebat harus beli mobil keluarga atau mobil niaga. Hanya masalah komunikasi yang akan terjalin jika pihak yang pro dan kontra sepakat bertemu kemudian berbincang, mungkin ada yang harus turun ke bawah, atau sebaliknya ada yang dianggap di bawah harus diajak naik berbincang di cakrawala yang sama.
Termasuk hadiah terindah dari reformasi 1998, rakyat dan unsur masyarakat lainnya bisa memprotes atau menggugat aturan yang menurut mereka akan merugikan di masa kini atau nanti dengan turun ke jalan atau mendaftarkan keberatannya ke Mahkamah Konstitusi keduanya cara menyampaikan keberatan atau permintaan koreksi yang dijamin undang-undang.
Lupakan dulu penolakan yang sudah masuk ke hal-hal teknis berupa konten pasal, ayat, dan butir dari omnibus law, karena pasti bisa diselesaikan, dengan menepikan drama politik dan romantika demonstrasi ‘hanya’ masalah teknis yang selesai dengan solusi teknis.
Periksa lebih dalam lagi, ke hal terkecil sebelum omnibus law lahir, mari periksa niat masing-masing.
Kalau yakin semua niatnya baik dan lurus, maka bisa disimpulkan cara-cara yang ditempuh dalam meloloskan omnibus law yang tidak sepenuhnya transparan tidak berasal dari niat yang buruk, hanya keinginan mengakselerasi produk kebijakan dengan membalik proses sebelum memproduksi sesuatu, yang alur normalnya dimulai dengan empati, eksplorasi, purwarupa, evaluasi purwarupa kemudian validasi terus menerus sampai produk yang diluncurkan benar-benar solusi yang dibutuhkan oleh pasar. Kali ini luncurkan produk dulu, keluhan dan protes masyarakat akan memperbaiki dan menyempurnakan selama dalam pemakaian.
Jika setiap RUU mendapat penolakan masyarakat sejak reformasi 1998, menunjukkan ada proses produksi RUU yang belum direformasi mengimbangi daya kritis rakyat pasca orde baru.
Ide melibatkan ‘mesin’ dalam urusan rutin yang mulai terpikirkan oleh pak Inal belasan tahun lalu, bisa mencegah terulangnya pemborosan energi, biaya, waktu, dan jatuhnya korban materi dan manusia di setiap gelombang demonstrasi.
Mesin sekarang tidak lagi sekadar mekanis, tetapi juga cerdas. Bahasa perundangan dan peraturan yang katanya tumpang tindih dan coba disederhanakan adalah bahasa hukum, bahasa logika yang sebagian besar premis ‘jika’ dan ‘maka’, bahasa yang fasih bahkan bahasa dasar semua mesin komputer. Algoritma pemrograman sudah berkembang pesat dibanding belasan tahun lalu. Misalnya, algoritma apriori bisa mengidentifikasi pasal mana ayat berapa akan ditolak atau diterima oleh siapa di negeri ini.
Algoritma apriori adalah algoritma klasik data mining, digunakan agar komputer dapat mempelajari aturan asosiasi, mencari pola hubungan antar satu atau lebih item dalam suatu dataset. Algoritma apriori banyak digunakan pada data transaksi atau biasa disebut market basket, misalnya sebuah swalayan memiliki market basket, dengan adanya algoritma apriori, pemilik swalayan dapat mengetahui pola pembelian seorang konsumen, jika seorang konsumen membeli item A , B, punya kemungkinan 50% dia akan membeli item C, pola ini sangat signifikan dengan adanya data transaksi selama ini. Penting tidaknya suatu aturan assosiatif dapat diketahui dengan dua parameter, support (nilai penunjang) yaitu persentase kombinasi item tersebut dalam database dan confidence (nilai kepastian) yaitu kuatnya hubungan antar item dalam aturan assosiatif. Aturan assosiatif biasanya dinyatakan dalam bentuk : {roti, mentega} -> {susu} (support = 40%, confidence = 50%), yang artinya : “Seorang konsumen yang membeli roti dan mentega punya kemungkinan 50% untuk juga membeli susu. Aturan ini cukup signifikan karena mewakili 40% dari catatan transaksi selama ini.” Analisis asosiasi didefinisikan suatu proses untuk menemukan semua aturan assosiatif yang memenuhi syarat minimum untuk support (minimum support) dan syarat minimum untuk confidence (minimum confidence).
Algoritma di atas, dengan beberapa penyesuaian, bisa memperhitungkan kemungkinan sebuah produk perundangan akan ditolak atau diterima masyarakat berikut sebabnya dan oleh siapa yang terpersonifikasi jelas dan mewakili berapa persen populasi.
Bahkan sebelum memproduksi kebijakan yang katakanlah penyederhanaan produk perundangan sebelumnya, algoritma lain, yaitu algoritma Hierarchical Clustering bisa melacak dan menyaring peraturan mana saja yang tumpang tindih.
Oleh algoritma clustering, data perundangan akan dikelompokkan menjadi cluster-cluster berdasarkan kemiripan satu data dengan yang lain. Prinsip dari clustering adalah memaksimalkan kesamaan antar anggota satu cluster dan meminimumkan kesamaan antar anggota cluster yang berbeda. Akan terlihat jelas, mana undang-undang, perpu, perpres, permen, perda dan aturan lain yang saling tumpang tindih, saling menghambat atau saling mendukung.
Senat Amerika Serikat telah menginisiasi penggunaan AI (artificial intelligence) berisi sekumpulan algoritma kompleks untuk produk perundangan. Indonesia juga mampu, sudah ada dan sisa merangkai semua yang dibutuhkan untuk membangun mesin yang dapat meringankan pekerjaan legislatif dan eksekutif dari kesalahan manusiawi berupa kesalahan teknis hingga mencegah akibat yang timbul dari kesalahan niat, fokus dengan urusan ideologis dan politis menjadi teladan bagi rakyat yang mewakilkan diri dan nasibnya sebagai warga negara kepada mereka.
Pertanyaan berikutnya setelah tahu mampu, mau kah?