WARTAKITA.ID — Jika kita mengetik kata kunci “Pejabat Laporkan Warga” di mesin pencari, ribuan hasil akan muncul dalam hitungan detik. Fenomena ini memunculkan stigma di masyarakat tentang maraknya “Pejabat Anti-Kritik”.
Namun, alih-alih sekadar membuat daftar nama (shaming), jauh lebih produktif jika kita membedah fenomena ini melalui kacamata data dan hukum: Mengapa ini terjadi? Dan di mana sebenarnya garis batas yang boleh dan tidak boleh dilangkahi?
Dalam demokrasi yang sehat, hubungan antara warga dan pejabat bukanlah hubungan satu arah. Warga berhak mengawasi, dan pejabat wajib berjiwa besar. Namun, distorsi sering terjadi karena gagal paham membedakan tiga hal fundamental: Kritik, Hinaan, dan Ancaman.
Untuk Warga: Membedakan “Suara Kritis” vs “Jari Jahat”
Seringkali netizen berdalih “ini negara demokrasi” saat melontarkan caci maki. Padahal, hukum (khususnya revisi UU ITE terbaru dan KUHP) membedakan dengan tegas antara kritik yang dilindungi konstitusi dan serangan personal yang bisa dipidana.
Berikut adalah panduan berbasis hukum untuk membedakannya:
1. Kritik (Konstitusional & Dilindungi)
Kritik fokus pada kinerja, kebijakan, atau keputusan. Tujuannya adalah perbaikan.
- Ciri-ciri: Berbasis data, menyasar jabatan/fungsi, menggunakan bahasa yang tajam namun tidak menyerang fisik.
- Contoh Aman: “Bapak Bupati X gagal total mengurus banjir. Data menunjukkan anggaran serapan drainase 0%, padahal kota sudah tenggelam.”
- Status Hukum: Aman. Pejabat publik tidak boleh memidanakan pernyataan ini.
2. Hinaan/Pencemaran Nama Baik (Delik Aduan)
Hinaan fokus pada personal, fisik, atau privasi yang tidak relevan dengan jabatan.
- Ciri-ciri: Menggunakan kata-kata kasar (kebun binatang), body shaming, menyerang urusan rumah tangga.
- Contoh Berbahaya: “Kepala Dinas itu bodoh, mukanya seperti [nama hewan], pantas saja istrinya selingkuh.”
- Status Hukum: Bisa dipidana jika pejabat tersebut melapor sendiri (Pasal 27A UU ITE / Pasal 310 KUHP).
3. Ancaman (Pidana Murni)
Ini adalah zona merah. Pernyataan yang mengandung niat mencelakakan fisik atau properti.
- Ciri-ciri: Menimbulkan rasa takut secara nyata.
- Contoh Pidana: “Tunggu saya di depan kantor, akan saya bakar mobilmu!” atau kasus Laras yang mengajak “Burn this building down”2.
- Status Hukum: Pidana keras (Pasal 29 UU ITE / Pasal 368 KUHP).
Untuk Pejabat: Doktrin “Telinga Tebal” dan Risiko Jabatan
Di sisi lain meja, para pejabat publik perlu memahami konsep Occupational Hazard atau risiko jabatan. Saat seseorang disumpah menjadi pejabat publik, saat itu pula sebagian hak privasinya tergerus oleh sorotan publik.
Data tren penegakan hukum menunjukkan bahwa pejabat yang reaktif dan sedikit-sedikit lapor polisi justru mengalami kerugian politik yang lebih besar, atau dikenal dengan Streisand Effect. Upaya untuk membungkam kritik justru membuat kritik tersebut semakin viral dan simpati publik hilang.
Baca Juga:
- Analisis Kasus Laras Faizati: Batas Tipis Antara Aktivisme dan Provokasi
- Membedah Isi RUU KUHP Terbaru: Poin-Poin Krusial yang Menjadi Sorotan
3 Syarat Kedewasaan Pejabat di Era Digital:
- Bedakan “Noise” dan “Voice”: Tidak semua komentar di media sosial harus ditanggapi, apalagi dipolisikan. Hinaan di kolom komentar seringkali hanyalah “sampah digital” (noise) yang akan hilang sendiri jika diabaikan. Fokuslah pada kritik substantif (voice) yang menuntut perbaikan kinerja.
- Pahami Perubahan UU ITE 2024: Revisi kedua UU ITE menegaskan bahwa pencemaran nama baik adalah delik aduan absolut. Artinya, Polisi tidak bisa memproses laporan jika bukan pejabat itu sendiri yang datang melapor. Tidak bisa lagi mewakilkan pada pengacara atau staf untuk melaporkan warga. Pertanyaannya: Apakah Bapak/Ibu pejabat punya waktu untuk bolak-balik kantor polisi hanya untuk mengurus komentar netizen?
- Jawab Data dengan Data: Jika dikritik tidak bekerja, jawablah dengan transparansi data kinerja. Membalas kritik dengan somasi hanya menunjukkan arogansi kekuasaan, bukan kompetensi kepemimpinan.
Kesimpulan: Menuju Demokrasi yang Waras
Daftar “Pejabat Anti-Kritik” akan terus bertambah panjang jika pejabat kita masih bermental feodal yang gila hormat.
Sebaliknya, daftar warga yang terjerat hukum juga akan bertambah jika netizen tidak belajar menahan jempol dari ujaran kebencian.
Kedewasaan demokrasi digital kita diuji di sini: Warga yang cerdas mengkritik tanpa menghina, dan pejabat yang “telinga tebal” menerima masukan tanpa baper.

























