Indonesia, negeri dengan lebih dari 554.000 organisasi masyarakat (ormas), adalah cerminan semangat kolektif yang luar biasa. Dari “Persatuan Pembela Tanah Air” hingga “Paguyuban Pecinta Bakso Kuah Bening”, kreativitas ormas kita tak tertandingi.
Namun, di balik semangat itu, ada bayang-bayang gelap: ormas yang lebih mirip preman berseragam, memeras pedagang kecil dengan dalih “sumbangan sosial”.
Fenomena ini, bersama korupsi yang masih merajalela dan minimnya keteladanan pejabat publik, menunjukkan bahwa Indonesia masih berjuang menuju status negara maju.
Membawa kita pada satu kesimpulan: hukum harus menjadi panglima, dan pendidikan karakter harus menjadi fondasi. Tanpa keduanya, kemajuan ekonomi yang adil dan pemerintahan yang transparan hanyalah mimpi.
Cermin Lemahnya Penegakan Hukum
Data terbaru dari Kementerian Hukum dan HAM (2024) menunjukkan jumlah ormas di Indonesia terus bertambah, kini mendekati 560.000, jauh melebihi jumlah desa (83.000). Banyak ormas, sayangnya, menyalahgunakan statusnya. Laporan Amnesty International (2022) mencatat kasus intimidasi oleh ormas terhadap aktivis, sementara Human Rights Watch (2023) menyoroti lemahnya pengawasan terhadap organisasi yang bertindak di luar hukum. Di pasar tradisional, pedagang kerap menghadapi “pungutan keamanan” oleh ormas yang berlagak sebagai pelindung.
Bandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat, yang memiliki 1,5 juta organisasi nirlaba untuk 331 juta penduduk. Di sana, hukum ketat dan institusi seperti Southern Poverty Law Center mengawasi kelompok ekstremis, memastikan tindakan represif ditekan. Di Indonesia, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas belum diimplementasikan secara konsisten. Hukum yang lemah memungkinkan ormas beroperasi di wilayah abu-abu, menjadi “negara dalam negara”. Untuk menjadi negara maju, Indonesia harus menjadikan hukum sebagai panglima, menindak tegas ormas yang melanggar tanpa pandang bulu.
Melawan Mental Denial: Belajar dari yang Terbaik
Ada kecenderungan di kalangan kita untuk menolak perbandingan dengan negara maju seperti Amerika, dengan dalih, “Mereka sudah maju, kita masih berkembang!” Ini adalah mental denial yang harus kita lawan. Jika kita hanya membandingkan diri dengan negara yang setara atau lebih lemah dalam penegakan hukum, seperti beberapa tetangga di Asia Tenggara, kita hanya akan stagnan. Negara maju seperti Singapura atau Jepang menjadi patokan karena mereka telah membuktikan bahwa hukum yang tegas dan pendidikan yang kuat adalah kunci kemajuan.
Membandingkan dengan yang terbaik bukanlah merendahkan diri, melainkan menantang diri untuk melangkah lebih jauh. Jika kita terus berdalih bahwa kondisi kita “berbeda”, kita hanya akan terjebak dalam zona nyaman, sementara ormas represif dan korupsi terus menggerogoti potensi bangsa.
Korupsi: Penghalang Kemajuan Ekonomi
Korupsi adalah musuh lain yang menghambat Indonesia maju. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 oleh Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara, turun dari peringkat 110 pada 2023. Kasus korupsi pejabat publik, dari proyek infrastruktur hingga bansos, terus menciderai kepercayaan rakyat.
Hukum yang tegas, seperti penerapan sanksi berat dan penguatan KPK, adalah satu-satunya cara untuk memutus lingkaran setan ini. Tanpa penegakan hukum yang adil, pertumbuhan ekonomi tidak akan mensejahterakan rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir elit.
Pendidikan Karakter: Fondasi Bangsa
Hukum saja tidak cukup. Pendidikan karakter, yang diimbangi dengan keteladanan pejabat publik dan pesohor, adalah kunci untuk membentuk masyarakat yang sadar hukum dan berintegritas. Kurikulum pendidikan karakter harus dimulai sejak pra-sekolah hingga perguruan tinggi, menanamkan nilai-nilai Pancasila, kejujuran, dan tanggung jawab. Namun, pendidikan ini akan sia-sia tanpa teladan nyata. Ketika pejabat publik terlibat korupsi atau pesohor memamerkan gaya hidup hedonis, anak muda kehilangan panutan.
Studi dari Universitas Gadjah Mada (2024) menunjukkan bahwa kurangnya keteladanan dari figur publik berkontribusi pada rendahnya kesadaran hukum di kalangan generasi muda. Bayangkan jika pejabat menunjukkan integritas dan pesohor mempromosikan nilai positif—dampaknya bisa mengubah budaya bangsa. Pendidikan karakter yang kuat, didukung teladan, akan menciptakan generasi yang memahami kerja pemerintah dan menghargai keadilan.
Keteladanan: Jembatan Hukum dan Pendidikan
Minimnya keteladanan pejabat publik adalah luka lain dalam perjalanan Indonesia menuju kemajuan. Dari janji kampanye yang dilupa hingga skandal korupsi, rakyat sering kecewa. Keteladanan bukan sekadar slogan; ia adalah jembatan antara hukum dan pendidikan.
Pejabat yang hidup sederhana, transparan, dan taat hukum akan menginspirasi rakyat untuk melakukan hal yang sama. Begitu pula pesohor, yang memiliki pengaruh besar di media sosial, harus bertanggung jawab atas pesan yang mereka sampaikan.
Menuju Indonesia Maju
Hukum yang tegas dan pendidikan karakter yang kokoh adalah dua pilar yang saling menguatkan. Ketika hukum menjadi panglima, ormas represif dan korupsi dapat ditekan, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Pendidikan karakter, diperkuat oleh keteladanan, akan membentuk masyarakat yang sadar hukum dan mendukung pemerintahan yang transparan.
Hasilnya? Ekonomi yang mensejahterakan dalam rasa keadilan, di mana rakyat memahami dan menghargai kerja pemerintah. Dan dengan sendirinya, pertahanan dan keamanan, dan sektor-sektor lain mengikuti kemajuan yang telah dicapai oleh penegakan hukum, pendidikan dan keteladanan.
Indonesia tidak punya pilihan lain. Data menunjukkan bahwa negara maju seperti Singapura dan Jepang berhasil karena hukum yang kuat dan pendidikan yang menanamkan disiplin serta integritas sejak dini. Kita bisa meniru langkah mereka, tapi dengan cara Indonesia: berlandaskan Pancasila, dengan semangat gotong royong.
Hukum harus ditegakkan, pendidikan harus dimajukan, dan keteladanan harus dihidupkan. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa melangkah menjadi negara maju yang kita impikan.
Sumber Data: laporan Amnesty International (2022), Human Rights Watch (2023), Transparency International (2024), dan studi UGM (2024) untuk kredibilitas.