Gempa bumi berkekuatan 6,2 skala Richter mengguncang Istanbul, Turkiye, Rabu (23/4/2025) pukul 12.49 waktu setempat, atau sekitar pukul 17.49 WITA. Guncangan terasa luas, memicu gelombang kepanikan di kota metropolitan yang dihuni lebih dari 16 juta jiwa.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Turkiye (AFAD), pusat gempa berada di Laut Marmara—hanya 40 kilometer dari Istanbul, dengan kedalaman 10 km. Guncangan terasa hingga ke kota-kota jauh seperti Izmir dan Bursa, bahkan memicu gempa susulan bermagnitudo 5,3.
Ironisnya, gempa ini terjadi bertepatan dengan Hari Anak Nasional, saat banyak keluarga dan anak-anak sedang berada di luar rumah. Akibatnya, lebih dari 151 orang terluka karena kepanikan—bukan oleh reruntuhan bangunan, melainkan aksi panik seperti melompat dari balkon atau terburu-buru keluar dari gedung.
Belum ada laporan mengenai korban jiwa, dan Warga Negara Indonesia (WNI) di Istanbul dilaporkan selamat. Menurut Duta Besar RI Achmad Rizal Purnama, sejauh ini tidak ada WNI yang menjadi korban. Konsulat Jenderal RI di Istanbul mencatat ada 1.707 WNI tinggal di kota tersebut.
Guncangan menyebabkan pemadaman listrik dan gangguan internet di sejumlah wilayah. Banyak warga memilih bermalam di ruang terbuka—taman kota, lapangan sekolah, hingga tenda-tenda darurat—sebagai bentuk kesiapsiagaan menghadapi gempa susulan.
Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyampaikan rasa syukur karena tidak ada kerusakan besar, namun mengajak rakyat tetap waspada. Sebab, bencana alam tak hanya soal statistik, tapi juga soal kesiapan kolektif dan empati lintas batas.
Bagi kita di Indonesia, negeri yang tak asing dengan getaran gempa, peristiwa di Istanbul adalah pengingat bahwa alam tidak tunduk pada perayaan manusia. Ia datang kapan saja, dan yang bisa kita lakukan adalah membangun budaya siaga, bukan sekadar reaktif.