Wartakita.id, LUWU UTARA — Angin lembap khas Masamba, Luwu Utara, seringkali membawa serta harapan dan juga kepedihan. Di tengah hijaunya lanskap pedesaan, terselip sebuah SMA negeri yang menjadi saksi bisu sebuah kisah yang mengguncang nurani bangsa.
Ini adalah cerita tentang Abdul Muis (59) dan Rasnal (50-an), dua guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dedikasinya tak hanya terukir di papan tulis, tapi juga di hati 22 guru honorer yang mereka perjuangkan nasibnya.
Pada awalnya, ini adalah sebuah gestur sederhana: uluran tangan untuk menambal kegagalan sistem. Pada 2018, Rasnal, yang saat itu menjabat kepala sekolah, mendengar keluhan 22 guru honorer. Mereka mengajar, namun insentif mereka sering tak terbayar.
Rapat komite sekolah bersama orang tua digelar. Keputusannya kolektif: ada dana sukarela Rp20.000 per bulan. Yang tak mampu, gratis. Abdul Muis, dipercaya sebagai bendahara, mengelola dana itu dengan transparan untuk membayar insentif bensin Rp150.000–Rp200.000 per bulan agar 22 guru honorer itu tetap bisa datang mengajar.
“Saya niat ikhlas bantu sekolah, bukan koruptor,” ujar Abdul Muis. Namun, kebaikan yang tulus itu justru menyeret mereka ke jurang kehancuran karier.
Sebuah Niat Mulia yang Tersandung Jerat Hukum
Pada 2021, sebuah LSM melaporkan inisiatif ini sebagai “pungutan liar”.
Proses hukum bergulir. Pengadilan Negeri (PN) Masamba, yang memahami kondisi lapangan, memvonis mereka BEBAS. Namun, di tingkat Mahkamah Agung (MA), palu diketuk berbeda.
Pada 26 September 2023, Putusan MA Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 membatalkan vonis bebas itu. Abdul Muis dan Rasnal dinyatakan bersalah, dihukum 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta.
Vonis ini, bagaikan palu godam, menjadi dasar bagi Gubernur Sulawesi Selatan untuk meneken surat pemecatan mereka. Rasnal dipecat Agustus 2025. Abdul Muis menyusul Oktober 2025.
Bukan pemecatan hormat. Mereka dijatuhi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Hukuman paling kejam bagi seorang abdi negara, karena seluruh hak pensiun yang mereka kumpulkan puluhan tahun, hangus seketika.
Bagi Rasnal dan Muis, tuduhan itu adalah sebuah ironi pahit. Interpretasi ketat terhadap aturan “pungli”, tanpa melihat konteks kemanusiaan dan fakta bahwa mereka menambal kegagalan negara, telah merenggut martabat mereka.
Liku-liku Birokrasi dan Penderitaan di Balik Angka
Kisah Rasnal dan Muis adalah cerminan kerapuhan sistem pendidikan kita. Di satu sisi, ada peraturan yang kaku. Di sisi lain, ada realitas pilu ribuan guru honorer yang berjuang dengan gaji minim.
Ketika kabar pemecatan PTDH kedua guru ini merebak, dampaknya langsung terasa. Bukan hanya di Luwu Utara, tetapi menjalar ke seluruh penjuru negeri melalui media sosial. Tagar #SaveGuruMuis dan #GuruBukanKoruptor mendadak trending, menjadi megafon bagi suara-suara yang selama ini terpendam.
Gelombang Solidaritas dan Gerakan Nasional
Reaksi publik adalah taufan. Serikat guru terbesar di Indonesia, PGRI, bersama dengan anggota DPR RI, segera melayangkan protes keras. Mereka menuntut keadilan, menekankan bahwa tindakan mereka adalah kemanusiaan, bukan kejahatan.
Demo damai guru-guru dan siswa di Luwu Utara menjadi pemandangan sehari-hari. Sebuah petisi online yang menuntut rehabilitasi hukum bagi kedua guru tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari 200.000 tanda tangan, menunjukkan skala kemarahan dan solidaritas yang meluas.
PGRI Sulsel bersiap menempuh satu-satunya jalan tersisa: mengajukan Grasi kepada Presiden.
Titik Balik dari Istana: Keadilan Pun Turun
Tekanan publik yang masif, ditambah dengan advokasi dari berbagai pihak, akhirnya sampai ke telinga tertinggi.
Perjuangan PGRI untuk mengajukan grasi bahkan tidak perlu sampai selesai. Pada 12 November 2025, Istana bereaksi dengan sigap dan penuh pertimbangan. Presiden Prabowo Subianto turun tangan.
Melalui sebuah Keppres Darurat (Keputusan Presiden Darurat) yang diterbitkan malam itu, Presiden mengumumkan Rehabilitasi penuh bagi Rasnal dan Abdul Muis.

Keppres tersebut secara efektif membatalkan surat PTDH dari Gubernur. Mereka tidak hanya dikembalikan ke jabatan semula sebagai guru PNS, tetapi juga gaji, martabat, dan hak-hak pensiun mereka dipulihkan secara penuh.
Berita ini, seperti embun penyejuk di tengah gurun, menyebar cepat dan disambut dengan suka cita dan sujud syukur. Tagar #RehabilitasiGuruSulsel pun segera meroket, menjadi bukti kekuatan suara rakyat.
Intervensi Presiden ini bukan sekadar tindakan hukum, melainkan sebuah pernyataan moral yang kuat. Ini adalah pengakuan bahwa kebaikan tidak seharusnya dihukum, dan bahwa hukum harus memiliki wajah kemanusiaan.
Masa Depan Pendidikan dan Kesejahteraan Guru
Rehabilitasi Rasnal dan Abdul Muis adalah sebuah kemenangan, tetapi perjuangan belum usai. Kasus ini telah membuka mata banyak pihak tentang celah dalam regulasi dana komite sekolah dan pentingnya meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
Gubernur Sulawesi Selatan berjanji untuk mengevaluasi kembali aturan turunan, sebagai langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang.
Kisah Rasnal dan Muis menjadi penanda. Ini adalah epik modern tentang kemanusiaan, birokrasi, dan keadilan. Ini adalah pengingat bahwa terkadang, niat baik yang tulus bisa tersandung oleh interpretasi hukum yang kaku.
Namun, pada akhirnya, kekuatan solidaritas, suara publik, dan intervensi yang tepat dapat mengembalikan keadilan bagi para pahlawan tanpa tanda jasa di seluruh Indonesia.

























