Suatu hari baginda Ali bin Abu Thalib menerima laporan dari salah seorang warganya. Beliau tidak langsung mempercayai informasi yang dibawanya. “Apakah engkau melihatnya sendiri?”, tanya Khalifah Ali memeriksa kembali. “Tidak, ya Amirulmukminin.” Jawab warga yang membawa informasi. “Sekalipun engkau melihatnya sendiri, namun tanpa seseorang yang menyaksikanmu melihat, informasimu tidak bisa kujadikan dasar mengambil keputusan, apalagi kamu hanya mendengarnya dari orang lain.” Kira-kira begitu gambaran kehati-hatian seorang Khalifah dalam menyaring informasi yang diterimanya.
Walau di masa sekarang kecanggihan kamera dan alat perekam bisa menggantikan saksi, data digital tetap tidak serta merta dapat dipercaya, editor multimedia berpengalaman mampu dengan mudah mengganti dan mengedit gambar diam atau bergerak.
Trolls
Keburukan memang tidak pernah istirahat, kebaikan juga tidak boleh berhenti membaikkan. Meskipun ramainya hoax, rumor dan berita palsu membuat jengah mereka yang mengakrabi “trolls” di jaman mailing list, forum, bulletin board service masih mendominasi media bersosialisasi di internet.
Jengah melihat ‘trolls’ berevolusi menyesuaikan diri dengan format media sosial sekarang yang memungkinkan trolls memamah biak lebih cepat, lebih canggih, namun perangkat pintar bermain media sosial belum seluruhnya berada di tangan seseorang yang mau memintarkan diri. Ironisnya sebagian lain yang sepintar atau lebih pintar dari perangkatnya kadang lebih suka pintar sendiri, malah ada yang terdorong ikut membodohi.
Entah siapa netizen pertama yang menggunakan nama”Trolls” untuk menyebut posting topik diskusi atau komentar yang memancing amarah dan kebencian, nama yang diambil dari makhluk mitologi yang awalnya lucu, menyenangkan, namun menjadi monster jahat pemakan segala. Seperti kebencian yang memakan segala kebaikan, membuat apa atau siapa yang dibenci tak lagi memiliki sedikit pun kebaikan. Trolls monster mitologi akan kembali mungil, lucu, dan menyenangkan hanya jika diabaikan, berhenti mengajaknya main.
Dalam membuat topik diskusi dan komentar yang menyulut kemarahan dan kebencian, para Trolls bekerja sendiri-sendiri, mereka adalah individu-individu yang menikmati sudut pandang dari atas helikopter melihat orang lain sebagai pion, menikmati pertempuran yang dipicu olehnya dari atas, memberi amunisi pada semua kubu baik berupa motivasi kebencian atau peluru.
Asal kecanduannya pada permusuhan, kebencian, dan kepuasannya terpenuhi, para trolls tidak peduli perbuatannya bisa mengakibatkan keutuhan sebuah keluarga, komunitas, bahkan bangsa tercabik. Tidak cukup dengan satu-dua kali, para Trolls akan terus mencari korban-korban lain yang mudah dipancing kebencian dan amarahnya. Trolls adalah sebutan untuk pelaku sebuah aktifitas buruk dengan data dan informasi.
Berita Palsu
Melihat ilustrasi di atas, berita palsu hanya salah satu dari banyak saluran limbah kotoran yang coba dibendung dengan kaidah jurnalistik dan kode etik profesi jurnalis.
Di era media sosial dan internet, setiap pengguna media sosial bisa dan tak ada yang melarang membuat dan menyebar berita, walau belum memenuhi kaidah jurnalistik untuk disebut berita. Konsekuensi hukum untuk yang membuat dan menyebarkan berita palsu tentu ada, namun tidak mendadak bisa menyelesaikan akibat yang ditimbulkan. Menangkap pembakar hutan tidak langsung membuat hutan kembali rimbun.
Saluran limbah ilustrasi di atas bukan hanya untuk para pengguna internet (netizen) atau pewarta warga, media utama dan besar pun diam-diam atau terang-terangan kadang menggunakan salah satu saluran limbah di atas. Tanpa diminta, para trolls individu akan memanfaatkan setiap saluran limbah di atas untuk kepuasannya pribadi.
Rumus tidak terpengaruh berita palsu dan saluran limbah lainnya, baik yang dibingkai dengan kaidah ilmiah, atau yang dibingkai dengan gaya menulis rayuan pulau kelapa ala sastra melayu, sebenarnya amat mudah. Sama dengan cara menghadapi trolls, abaikan. Semua saluran limbah di atas bentuk evolusi trolls menjadi lebih canggih, terorganisir dengan target membentuk opini yang terukur.
Ketika tak ada lagi yang dapat dipercaya, hati nurani akan bersuara, kembali ke diri masing-masing. Semua keterpihakan yang disusupkan dalam saluran limbah pasti memihak seseorang atau sesuatu, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak memihak diri sendiri.
Hoax
Menurut Nares, hoax berasal dari kata “Hocus”, yang berarti menipu. Hocus sendiri merupakan mantra sulap yang merupakan kependekan dari “Hocus Pocus”, atau menipu. Juga bisa dianggap seperti bunyi yang dikeluarkan seseorang saat ‘muntah’, setali tiga uang dengan berita palsu. Konten hoax biasanya berisi sesuatu yang bombastis, heboh, luar biasa ajaib, atau luar biasa buruk.
Tak hanya para trolls yang suka memanfaatkan hoax, media utama dan pewarta warga tak jarang terjebak dengan hoax karena unsur ‘kejadian luar biasa’ yang menjadi konten utama setiap hoax. Apa lagi era media digital kompetisi siapa paling cepat memuat, kadang mengalahkan kaidah jurnalistik, siapa yang paling akurat.
Tutup Mata, Tutup Mulut dan Tutup Kuping
Resep paling ampuh menghadapi trolls, berita palsu dan hoax, utamanya pada setiap perlehatan politik seperti pemilihan umum, membuat media independen (pewarta warga dan netizen) maupun media utama sulit tak menjadi partisan, minimal simpatisan, termasuk media kami sendiri, wartakita.
Media yang menjadi partisan berarti: pembaca, pendengar dan penonton hanya akan disodorkan informasi dan berita yang mereka ingin diketahui, menyembunyikan apa yang tak ingin diketahui.
Tutup mata, mulut dan kuping, kembali ke hati nurani dan pikiran masing-masing, lakukan studi dari data dan informasi yang dicari sendiri. Miliki minimal dua atau tiga konfirmasi untuk setiap data dan informasi, buang kecenderungan hanya ingin mengetahui apa yang disukai, lalu tentukan pilihan, jangan lupa berdoa.