Senja merayap di Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Udara dingin menusuk tulang, serupa dengan rasa dingin yang merayapi hati warga pengungsian. Di balik tenda darurat dan tumpukan puing, terdengar helaan napas panjang Isbahanur (35). Ia menatap nanar ke arah jalanan berlumpur yang memisahkan desanya dari dunia luar.
Sudah 12 hari sejak air bah menerjang. Lumpur setinggi dua meter masih menyelimuti rumah-rumah di Desa Babah Krueng dan Riseh. Kendaraan tak bisa lewat. Akses terputus. Isbahanur berbisik, suaranya tercekat, “Pak Presiden, belum ada bantuan dari Pemerintah Indonesia hingga saat ini ke pedalaman ini.”
Keterisolasian di Tengah Bencana
Kabel listrik yang putus dan menara telekomunikasi yang roboh membuat pedalaman Sawang bagai terlempar ke masa lalu. Komunikasi terputus total. Kabar tentang bantuan yang mungkin datang hanya menjadi bisik-bisik tanpa kepastian.
Setiap pagi, warga berjuang kembali ke puing-puing rumah mereka. Mengais sisa-sisa barang, membersihkan lumpur yang lengket dan berat. Tangan kasar mereka bekerja tanpa lelah, berharap menemukan sesuatu yang bisa diselamatkan.
Senandung Lauk Air Mata
Di pengungsian, stok beras masih ada. Para relawan mulai berdatangan membawa mi instan dan telur. Namun, lauk pauk menjadi masalah. Isbahanur menyebutnya dengan getir, “kuah ie mata.” Sayuran yang tersisa direbus begitu saja, dimakan dengan sedikit garam. Itulah satu-satunya penghiburan di tengah kelaparan.
“Kami menyebutnya lauk air mata,” ungkap Isbahanur, matanya berkaca-kaca. “Karena yang kami makan hanya sayur rebus. Tak ada lauk lain.”
Permohonan Mendesak
Isbahanur mewakili suara warga dua desa terisolasi: Babah Krueng dan Riseh. Lumpur tebal menutupi jalan, bagai tirai tebal yang memisahkan mereka dari bantuan.
Kebutuhan mendesak bukan hanya makanan. Obat-obatan, selimut hangat, kelambu untuk melindungi dari nyamuk, dan pakaian layak pakai menjadi prioritas utama. Bantuan tersebut sangat dibutuhkan agar kehidupan warga bisa sedikit demi sedikit kembali normal.
“Pak Presiden, warga kami belum merasakan bantuan dari Pemerintah Indonesia hingga hari ini. Tolong instruksikan seluruh kekuatan Presiden bantu kami,” ujar Isbahanur dengan suara penuh harap.
Banjir di Aceh telah melanda 18 kabupaten/kota. Ribuan rumah rusak, fasilitas umum lumpuh. Di Aceh Utara dan Aceh Timur, banjir mulai terjadi sejak 22 November 2025. Namun, di pedalaman Sawang, kepedihan terasa lebih dalam karena isolasi.
Di tengah keputusasaan, suara Isbahanur menjadi pengingat. Bahwa di balik data statistik bencana, ada wajah-wajah manusia yang berjuang. Mereka adalah bukti nyata bahwa jurnalisme humanis harus terus menyuarakan yang tak terdengar.























