Wartakita.id – Kasus anak 12 tahun bunuh ibu di Medan Sunggal mengguncang publik. Di balik keluarga harmonis, tersembunyi bahaya amarah terpendam remaja. Psikolog ingatkan pentingnya mengenali tanda-tanda ini sebelum terlambat.
Peristiwa mengerikan terjadi di Medan Sunggal, Rabu (10/12/2025). Seorang anak perempuan berusia 12 tahun tega menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri saat terlelap. Tindakan brutal ini memicu pertanyaan besar: apa yang mendorong seorang anak melakukan kekerasan fatal?
Gadis berinisial AI, pelajar SMP, diduga kesal karena kakaknya dimarahi ibu mereka malam sebelumnya. Amarah yang terpendam ini meledak menjadi tragedi. Kasus ini bukan sekadar insiden lokal, tapi alarm bagi seluruh orang tua di Indonesia.
Puncak Gunung Es Emosi Terpendam
Kepala Lingkungan V, Tono, menyaksikan langsung kepanikan warga pagi itu. Suara gaduh dari rumah korban memecah kesunyian. Saat tim medis tiba, sang ibu, Faizah Soraya (42), telah meninggal dunia. Luka tusukan yang ditemukan mencapai 20 titik.
Suami korban, Alham, berusaha keras menyelamatkan istrinya. Namun, takdir berkata lain. AI, anak bungsu dari dua bersaudara, kini berada dalam pemeriksaan polisi. Motif awal yang dianggap sepele—kemarahan atas teguran pada kakaknya—menjadi pemicu tragedi.
Keluarga ini dikenal akrab dan harmonis. Sang ibu selalu menemani dan menyiapkan kebutuhan anak-anaknya. Tidak ada yang menyangka keharmonisan itu menyimpan potensi bahaya. Ini menunjukkan bahwa penampilan luar keluarga tidak selalu mencerminkan kondisi emosional di dalamnya.
Mengapa Anak “Baik-Baik Saja” Bisa Membunuh?
Psikolog anak dan remaja, Dr. Rina Amelia, menjelaskan fenomena ini sebagai bottled-up emotion atau emosi yang terpendam. Anak-anak, terutama remaja, seringkali kesulitan mengekspresikan rasa marah, frustrasi, atau kecewa secara sehat.
Alih-alih menyalurkan emosi negatif, mereka memilih memendamnya. Tekanan dari lingkungan sekolah, pertemanan, atau bahkan dinamika keluarga bisa menjadi pemicu. Ketika emosi ini menumpuk, reaksi yang muncul bisa sangat ekstrem dan tidak terduga.
Dalam kasus AI, kemarahan terhadap teguran ibunya pada sang kakak bisa jadi hanya puncak. Ada kemungkinan akumulasi kekecewaan lain yang belum terselesaikan. Solidaritas saudara yang kuat bisa memicu adik merasa ikut marah dan bertindak impulsif.
Bahaya Amarah Terpendam pada Remaja
Remaja berada dalam fase pencarian jati diri yang rentan. Mereka sering merasa tidak dipahami atau diabaikan. Jika komunikasi keluarga tidak terbuka, anak akan cenderung menutup diri dan menyimpan masalahnya sendiri.
Amarah yang terpendam dapat bermanifestasi dalam berbagai cara. Mulai dari perubahan perilaku drastis, menarik diri dari sosial, hingga tindakan agresif. Dalam kasus ekstrem, seperti di Medan, bisa berujung pada kekerasan fatal.
Dr. Rina menekankan, “Anak yang terlihat diam dan patuh belum tentu baik-baik saja. Bisa jadi mereka sedang menyimpan luka emosional yang dalam. Kita sebagai orang tua wajib peka terhadap perubahan sekecil apapun.”
Kunci: Validasi Emosi Anak
Solusi utama untuk mencegah tragedi serupa adalah validasi emosi. Orang tua perlu menciptakan ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi.
Ketika anak merasa marah, sedih, atau kecewa, ajak mereka bicara. Dengarkan keluh kesah mereka dengan empati. Tunjukkan bahwa Anda memahami perasaan mereka, meskipun Anda tidak setuju dengan tindakannya.
Contohnya, jika anak marah karena dimarahi, jangan langsung membela diri. Katakan, “Ibu tahu kamu pasti kesal karena kakak dimarahi. Rasanya pasti tidak enak ya melihat kakak dimarahi.”
Strategi Komunikasi Efektif dengan Remaja
- Dengarkan aktif: Berikan perhatian penuh saat anak berbicara. Tatap mata mereka dan hindari menyela.
- Hindari menghakimi: Jangan langsung menyalahkan atau mengkritik. Fokus pada pemahaman perasaan anak.
- Ajarkan cara menyalurkan emosi: Beri alternatif sehat untuk meluapkan amarah, seperti menulis jurnal, berolahraga, atau berbicara dengan orang yang dipercaya.
- Beri contoh positif: Tunjukkan cara Anda sendiri mengelola emosi dengan sehat.
- Bangun kepercayaan: Ciptakan hubungan yang kuat agar anak merasa nyaman berbagi masalah.
Buku-buku parenting modern banyak membahas teknik komunikasi efektif dengan remaja. Mempelajari cara ini bisa menjadi investasi berharga untuk kesehatan mental keluarga.
“Keluarga harmonis bukan berarti tidak ada masalah, tetapi bagaimana keluarga tersebut mampu menyelesaikan masalah dengan sehat. Komunikasi terbuka adalah kunci utamanya.” – Dr. Rina Amelia
Kasus Medan Sunggal menjadi pengingat pahit. Jangan sampai kita terlambat menyadari bahwa anak yang terdiam di sudut kamar bisa jadi sedang berteriak minta tolong. Peka terhadap emosi anak adalah langkah pertama mencegah tragedi.
Jika Anda merasa kesulitan memahami atau menangani emosi anak, jangan ragu mencari bantuan profesional. Konsultasi dengan psikolog anak dapat memberikan panduan yang tepat.























