Wartakita.id, SYDNEY — Di Archer Park, sebuah ruang hijau yang terjepit di antara debur ombak Bondi Beach dan hiruk pikuk kota, lilin-lilin Menorah raksasa baru saja dinyalakan. Itu adalah hari Selasa, 16 Desember 2025. Udara musim panas Sydney terasa hangat, membawa aroma laut yang bercampur dengan manisnya sufganiyot (donat goreng).
Matilda Bee Britvan, gadis kecil berusia 10 tahun dengan tawa yang renyah, sedang berdiri di dekat panggung utama. Matanya berbinar memantulkan cahaya lilin. Di dekatnya, duduk Alex Kleytman (87), seorang pria sepuh dengan tatapan teduh. Alex adalah saksi hidup dari kekejaman tergelap abad ke-20; ia selamat dari Holocaust, lolos dari kamp kematian Nazi di Eropa, dan memilih Australia sebagai tempat untuk menua dengan damai bersama istrinya, Larisa.
Pukul 19.30, kedamaian itu pecah. Bukan oleh sorak-sorai perayaan, melainkan oleh suara “krak-krak-krak” yang tajam dan berirama dari arah jembatan penyeberangan (footbridge) yang menghadap ke taman.
“Kembang api!” seru seorang anak kecil, polos. Namun Matilda tidak sempat menyadari kekeliruan itu. Peluru pertama menembus kerumunan.
Maut dari Jembatan Penyeberangan
Posisi penembak sangat strategis dan mematikan. Dari atas jembatan penyeberangan, dua pria—yang kemudian diidentifikasi sebagai Sajid Akram (50) dan putranya, Naveed Akram (24)—memiliki pandangan bebas ke arah kerumunan di bawah.
Berbekal senapan bolt action dan shotgun, pasangan ayah-anak ini melepaskan setidaknya 50 tembakan ke arah massa yang panik. Jeritan menggantikan tawa. Archer Park berubah menjadi zona perang dalam hitungan detik.
Matilda, gadis kecil itu, tewas di tempat. Alex Kleytman, yang sepanjang hidupnya berlari dari kematian, akhirnya terkejar oleh peluru kebencian saat berusaha melindungi istrinya. Sebuah ironi yang menyayat hati: selamat dari genosida Hitler, hanya untuk gugur di tangan fanatisme baru di pantai paling damai di dunia.
Sang Penjual Buah yang Menolak Lari
Di tengah kekacauan itu, Ahmed al Ahmed (42) sedang berada di dekat lokasi. Pria kelahiran Suriah ini adalah pemilik toko buah lokal yang dikenal ramah. Sebagai seorang Muslim yang taat dan imigran yang pernah merasakan pahitnya konflik di tanah kelahirannya, Ahmed tahu betul suara apa yang sedang ia dengar.
Naluri bertahan hidup memerintahkan siapa pun untuk tiarap atau lari menjauh. Namun, Ahmed melihat sesuatu yang lain.
Ia melihat Sajid Akram, sang ayah sekaligus otak serangan, sedang bergerak di posisi bawah jembatan, mungkin untuk mengisi peluru atau mencari sudut tembak baru. Sajid mengenakan celana khaki dan memegang senapan laras panjang.
Dalam momen yang menentukan sejarah malam itu, Ahmed tidak lari menjauh. Ia berlari menuju arah suara tembakan.
Dengan memanfaatkan kekacauan dan mobil-mobil yang terparkir sebagai pelindung, Ahmed menyelinap di belakang pelaku. Tanpa senjata, hanya bermodalkan nyali, ia menerjang Sajid Akram dari belakang.
“Dia menjatuhkannya ke tanah seperti singa,” ujar seorang saksi mata.
Pergulatan hidup-mati terjadi di atas aspal. Ahmed berhasil mencengkeram laras senapan Sajid, memutarnya, dan melucuti senjata tersebut dari tangan teroris itu. Menurut laporan kepolisian New South Wales, Ahmed bahkan sempat menodongkan senjata rampasan itu kembali ke arah pelaku untuk menguncinya agar tidak bergerak, memberi waktu emas bagi Polisi Taktis untuk merangsek masuk.
Aksi Ahmed memecah konsentrasi serangan. Naveed, sang anak yang berada di posisi lain, kehilangan dukungan tembakan. Dalam baku tembak berikutnya dengan polisi, Sajid tewas, dan Naveed berhasil dilumpuhkan dan ditangkap.
Ayah yang Mewariskan Kebencian, Ayah yang Mewariskan Keberanian
Tragedi Bondi menyingkap dua potret “Ayah” yang kontras secara ekstrem.
Di satu sisi, ada Sajid Akram. Investigasi menunjukkan ia dan putranya baru saja kembali dari Davao, Filipina, bulan lalu—sebuah perjalanan yang diduga kuat untuk “wisata teror” dan pelatihan militer. Di dalam mobil mereka, polisi menemukan bendera ISIS buatan tangan dan bahan peledak rakitan. Sajid adalah ayah yang memilih mewariskan racun ideologi kepada putranya, mengajak darah dagingnya sendiri menuju kehancuran.
Di sisi lain, ada Ahmed al Ahmed. Seorang ayah dan suami yang bekerja keras di toko buahnya. Ia tidak memiliki hubungan darah dengan komunitas Yahudi yang sedang merayakan Hanukkah. Ia berbeda agama, berbeda latar belakang etnis. Namun, ia memilih mewariskan teladan keberanian kemanusiaan.
Ketika Perdana Menteri Anthony Albanese mengunjungi Ahmed yang terbaring dengan perban di Rumah Sakit St. Vincent, ia tidak menahan pujiannya. “Anda adalah pahlawan Australia sejati, Ahmed. Anda melihat kejahatan, dan Anda berdiri melawannya.”
Cahaya di Atas Kegelapan
Malam ini, garis polisi kuning masih melingkari area sekitar Bondi Pavilion. Bunga-bunga mulai menumpuk di trotoar—mawar putih untuk Matilda, lili untuk Alex.
Namun, narasi yang tertinggal di benak warga Sydney bukanlah tentang keberhasilan teror ISIS. Narasi itu adalah tentang seorang pria Muslim Suriah yang menyelamatkan tetangga Yahudinya.
Dalam ajaran Yahudi, ada konsep Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Dalam ajaran Islam, ada prinsip bahwa menyelamatkan satu nyawa seperti menyelamatkan seluruh umat manusia.
Di Bondi Beach, pada malam Hanukkah 2025, Ahmed al Ahmed tidak sedang berkhotbah tentang kedua dalil tersebut. Ia sedang mempraktikkannya. Di bawah bayang-bayang jembatan penyeberangan itu, ia membuktikan bahwa darah kita semua berwarna merah yang sama.
[Catatan Redaksi] Artikel ini disusun berdasarkan fakta terverifikasi hingga pukul 20:00 WITA, 16 Desember 2025. Kami menghormati privasi keluarga korban dan menunggu hasil investigasi penuh kepolisian terkait jaringan teror di Filipina.























