Amerika, negeri yang sudah meluncurkan wahana ruang angkasa tanpa awak hingga mengorbit planet Pluto, dan wahana Voyager yang kini sedang berada di sisi terluar galaksi Bima Sakti, juga masih menggunakan dan menunggangi isu sesempit SARA untuk mendulang suara dan memenangkan pemilu.
Bedanya, di Amerika gontok-gontokan soal SARA jalan terus, tapi penelitian ilmiah, pembangunan, ekonomi, program pemerintah, tidak terganggu sampai terhenti. Kadang-kadang bingung sendiri, lalu apa fungsinya kepemimpinan politik di sana, romantisme?
Fokus ke negeri sendiri dulu.
Negara-negara di jazirah Arab mungkin tidak semuanya menggunakan sistem demokrasi, tapi sama juga menggunakan isu SARA dalam politik. Isu perbedaan suku, mahzab, moderat dan kolot, beda syiah dan sunni, dan kotak-kotak lain, bisa membuat Iraq, Yaman, Suriah, Libya dan Mesir yang kini mulai pulih, terpecah-belah dan berperang sesama mereka. Pasca wafatnya Rasulullah SAW, banyak dicatat sejarah bagaimana suku-suku di jazirah Arab saling menikam dari belakang dengan menggunakan isu suku, agama, mahzab, bahkan ada yang berani mengklaim dirinya sebagai nabi demi ambisi politik dan kekuasaan.
Di negeri lain kurang lebih sama, masih menunggangi isu SARA, tersamar atau terang-terangan. Tingkat kedewasaan manusia di bumi nyaris setara dalam memandang perbedaan dalam SARA.
Patut disyukuri perbedaan SARA di Indonesia walau selalu ada yang ingin memanfaatkannya sebagai taktik dan strategi berpolitik, masih bisa dipadamkan.
Mau diakui atau tidak, faktanya SARA gorengan empuk di setiap pesta demokrasi, baik oleh yang berkompetisi maupun oleh pihak yang ingin memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari suasana panas sebuah kompetisi. Diingkari atau tidak, konsolidasi sesama suku, agama, dan ras dengan menanamkan fanatisme sempit pasti terjadi dalam setiap pemilihan umum, baik yang terang-terangan atau terselubung.
Bila mendiang Robin Williams (1951-2014) menginginkan politikus peserta pemilihan umum di Amerika menggunakan kostum ala pembalap NASCAR agar ketahuan siapa saja pemodal korporasi dan personal yang bersama setiap kandidat, mungkin harus dilengkapi lagi dengan emblem kelompok unsur SARA yang bersamanya.
Salah? Belum tentu.
Tujuan pemilihan umum mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, penggunaan semua potensi untuk meraih suara dan dukungan malah terasa wajar dan demokratis. Ketimbang malu-malu dan munafik, lebih baik terbuka dan dipaksa dewasa memandang perbedaan dan melihat kenyataan demokrasi adalah sistem yang mahal di masyarakat yang masih pusing memenuhi haknya untuk sejahtera ketimbang memikirkan bagaimana memanfaatkan sebaik mungkin hak politiknya berupa suara.
Bila dewasa adalah kemampuan membedakan baik dan buruk, salah dan benar, maka kotak-kotak SARA bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan.
Politisi, kandidat dan pemilik suara mau tidak mau akan lebih dewasa bila ingin menjadikan unsur SARA sebagai tunggangan maupun acuan dalam memilih kandidat.
Pada masyarakat yang dewasa memandang SARA, hasutan kebencian, spin-off isu, fitnah, dan fakta, tidak perlu dijerat dengan undang-undang ITE, penistaan, ajakan kebencian dan lain-lain, tidak akan ditanggapi masyarakat.
Pola ‘pemasaran’ para politisi akan bergeser, dari memandang potongan kue SARA sebagai potensi pasar untuk digarap, menjadi satu kue utuh tanpa potongan, di mana hanya potensi kepemimpinan dan kemampuan sejahterakan pemilik suara yang laku di jual. Raja-raja kecil dalam kelompok SARA juga kehilangan jualan musiman.
Pertanyaannya, bagaimana agar masyarakat Indonesia bisa lebih dewasa dalam memandang SARA? Masyarakat tergantung para politisi dan pemimpinnya.
Dukungan suara yang berbasis SARA akan selalu ada, siapa yang bisa melarang rasa bangga dan rasa terwakilkan karena kesamaan salah satu dari tiga unsur SARA yang berada pada kontestan.
Politisi yang tidak dewasa dan tidak ingin mendewasakan masyarakat tentu akan memandang kue SARA sebagai makanan empuk, memandang SARA sebagai kue demografi mayoritas dan minoritas pemilik suara, bukan sebagai manusia pemilik hak suara, yang ingin dimanusiakan dan mengamanatkan tanggung jawab kepadanya.
Kedewasaan para politisi dan masyarakat bukan proses sejajar dan paralel. Ada banyak unsur yang menyebabkan saling ‘over-lap’ dalam proses menuju dewasa. Saling mendahului dalam tahapan mendewasakan diri.
Ketika seorang politisi berhasil memandang dirinya dan masyarakat bukan sebagai bagian kecil kelompok SARA, masyarakat yang belum benar-benar dewasa dengan SARA akan terkejut ketika calon pemimpin yang tidak berasal dari kelompok SARA mayoritas. Kadang sama kagetnya dengan dengan kelompok minoritas SARA yang memang memiliki kapabilitas memimpin sebuah daerah. Sama-sama belum dewasa memandang perbedaan SARA. Meskipun demokrasi berdasarkan suara paling banyak tanpa embel-embel berasal dari suara kelompok SARA mayoritas atau minoritas.
Sebelum kepanikan membesar dan makin mudah ditunggangi oleh siapapun. Semua kelompok dalam SARA mari jujur dan sportif dengan diri sendiri.
Apa poinnya menjadikan SARA patokan memilih politisi yang mencalonkan diri?
Bila kandidat berasal dari kelompok SARA minoritas, yang akan dipimpinnya kelak kelompok SARA mayoritas yang berbeda dengannya, pemilik kekuasaan sebenarnya dalam demokrasi karena pemilik suara terbanyak. Bila berasal dari kelompok SARA mayoritas, kelompok minoritas yang akan dipimpinnya juga memiliki ‘nilai tukar’ yang seimbang dengan jumlah kelompok mayoritas, hukum kesimbangan dan keadilan.
Belum ada poin logis menjadikan SARA sebagai patokan memilih. Romantisme semata? Mungkin kurang dalam dan kurang sensitif menggali SARA, bagaimana dengan perbedaan akidah?
Apakah akidah seseorang bisa menjamin akan menjadikannya pemimpin yang adil? Belum tentu.
Akidah dari agama apapun bila masih melihat perbedaan tidak berasal dan sepengetahuan Tuhan yang sama, akidahnya belum lurus. Akidah yang masih memandang dirinya paling selamat tapi belum mati dan bertemu Tuhan untuk membenarkan klaimnya, klaimnya tanpa dasar. Masih lebih berdasar akidah seseorang yang ingin meraih keselamatan di kehidupan sesudah mati dengan menjadi pembawa keselamatan bagi sesama saat hidup tanpa memandang perbedaan kemasan akidah.
Kegaduhan pilkada di DKI Jakarta yang masih bereskalasi dan masih ada yang berusaha menggorengnya hingga hangus meski telah ditetapkan tersangka, berasal dari salah satu poin penting akidah umat Islam, salah satu rukun iman, percaya pada kitab-kitab suci (taurat, injil dan qur’an).
Berlarut-larut dan melebar kemana-mana jelas tidak sehat untuk sebuah negeri yang sistem dan orang dalam organisasi tata negaranya belum sestabil Amerika, kembali masyarakat yang menjadi korban.
Kecuali bila ingin mengagendakan kebencian dan lain-lain, untuk melawan dugaan agenda terselubung yang mulai dihembus-hembuskan. Menjadikan kasus ini sebagai batu loncatan untuk melawan banyak hal sekaligus, rasanya tidak dewasa. Hanya membuktikan jumlah mayoritas tapi masih miskin kualitas bersaing dalam sebuah kesepakatan sistem.
Redaktur pribadi, sebagai warga negara, awam, dan muslim, yang masih bisa berbaik sangka bahwa politik masih bisa dijadikan saluran membaikkan diri sendiri dan sesama, memandang surah Al Maidah 51 sebagai koreksi bagi politisi dan masyarakat, baik yang mengimani atau tidak.
Surah berikut ayat yang turun saat Baginda Nabi SAW. mengalami beberapa kali pengkhianatan dari kaum Nasrani dan Yahudi, adalah kesempatan mengoreksi sejarah bagi umat Nasrani dan Yahudi, bahwa apa yang dilakukan oleh pendahulunya terhadap Rasulullah SAW dan umat Islam, tidak akan terulang pada generasi kini, dan sudah ada yang membuktikan sebelumnya bisa setia. Kalau pun terulang, NKRI memiliki mekanisme hukum yang berusaha membingkai perbedaan SARA menjadi keutuhan NKRI seadil mungkin.
Juga kesempatan mengoreksi diri bagi umat Islam, bila sampai tak memiliki pemimpin atau kawan setia yang berasal dari sesama muslim, ada yang salah. Atau bila masih memiliki pemimpin yang beragama Islam tapi tidak mampu berlaku adil baik pada yang seiman mapun yang berbeda keyakinan, juga masih ada yang salah, karena pemimpin adalah gambaran masyarakat yang dimpimpinnya. Tenang dan berserah diri, toh tidak ada kebaikan atau keburukan yang akan ditimpakan kecuali dengan sepengetahuan dan seijin Tuhan.
Kekuasaan, sama seperti kebahagiaan bukan tujuan hidup, tapi alat dan cara menjalani hidup agar lebih bermanfaat.