Wartakita, Bone – Selama ini, penilaian sekolah terhadap siswa lebih banyak ditujukan pada aspek pengetahuan atau kognitif. Para guru biasa menilai siswa lewat ujian tertulis, baik lewat pilihan ganda, menjawab titik-titik, memasangkan jawaban dan sedikit pertanyaan esai.
“Penilaian demikian tidak bisa sepenuhnya memperlihatkan kemampuan siswa. Bisa jadi malamnya siswa ada masalah dengan keluarga, tidak bisa tidur dan agak linglung sehingga tidak berhasil menjawab soal-soal ujian satu jam tersebut dengan baik. Dia sudah belajar sepanjang semester dan sehari-hari menunjukkan keaktifan belajar dan ketrampilan menganalisis, tapi ternyata nilainya lebih banyak ditentukan oleh satu jam ujian tersebut. Ini tentu tidak adil!” ujar Jamaruddin, Koordinator Provinsi USAID PRIORITAS untuk Sulawesi Selatan (10 Mei 2016).
Menurutnya, pada penilaian tradisional demikian, siswa hanya diberikan pilihan untuk merespon dan hanya mengingat informasi pengetahuan untuk menjawab pertanyaan. “Penilaian demikian gagal dalam mengungkap kinerja intelektual yang kompleks yang dibutuhkan dalam kehidupan,” ujarnya lebih lanjut.
Agar penilaian lebih holistik, USAID PRIORITAS telah melatih para guru untuk menggunakan model penilaian yang lebih objektif yaitu penilaian otentik. “Dengan modul dua dan tiga USAID PRIORITAS yang sejalan dengan kurikulum 2013 yang akan diterapkan secara nasional, para guru dilatih untuk melakukan penilaian terhadap siswa dengan lebih objektif lewati penilaian terhadap kinerja atau performance siswa berdasarkan penentuan kompetensi dasar sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang ingin dicapai, “ ujarnya.
Untuk menguasai model penilaian tersebut, para peserta dalam pelatihan USAID PRIORITAS dilatih untuk menentukan kriteria atau aspek yang akan dinilai dalam suatu pembelajaran, dan menentukan indikator aspek tersebut. “Penilaian seperti ini menitikberatkan pada produk dan proses pembelajaran.
Pada proses pembelajaran, guru-guru akan memperhatikan aktivitas, respon, kegiatan, minat, sikap, dan upaya-upaya siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, guru harus mampu mengumpulkan informasi untuk penilaian baik pada ranah kognisi, psikomotorik maupun afeksi,” ujarnya. Berdsarkan penilaian seperti ini, maka perkembangan, kemajuan dan kesulitan belajar siswa akan bisa diketahui dan bisa jadi bahan evaluasi, ujarnya.
Namun menurut Jamaruddin, seringkali guru mengalami kesulitan menentukan aspek dan indikator penilaian. “Mereka juga sering merasa tak cukup waktu, karena harus mengajar sambil menilai,” tandasnya.
Hal ini diamini oleh Sukayati, guru SDN Bajoe Bone. “Saya merasa kesulitan memberikan nilai angka dengan model penilaian seperti ini, karena setiap angka harus disertai keterangan alasan penilaiannya yang berbentuk rubrik,” ujarnya saat menerima pelatihan modul tiga USAID PRIORITAS bersama para pendidik dari 16 sekolah binaan USAID PRIORITAS di Bone, Sulsel.
“Pelatihan yang diberikan USAID PRIORITAS akan memudahkan para guru mendalami model penilaian seperti ini, baik menyusun maupun melaksanakannya pada saat pembelajaran,” pungkas Jamaruddin.
Di Sulawesi Selatan, USAID PRIORITAS melaksanakan pelatihan semacam itu di 13 Kabupaten/Kota yaitu Bantaeng, Takalar, Makassar, Maros, Pangkep, Parepare, Wajo, Enrekang, Tana Toraja, Soppeng, Pinrang, Sidrap dan Bone. (Ajieb)