JAKARTA – Sejak tahun lalu, emas telah menjadi aset primadona bagi investor di tengah banyak ketidakpastian. Setelah berhasil membukukan kinerja tahunan terbaiknya pada 2019, mampukah rekor tersebut terus berlanjut hingga tahun ini?
Sebagai informasi, emas mencatatkan kenaikan tahunan sekitar 18 persen pada 2019, menjadi kinerja terbaiknya sejak 2010. Ketegangan hubungan dagang antara AS dan China yang berlarut-larut pada tahun lalu menjadi faktor utama penguatan emas karena sentimen itu telah melukai minat investor terhadap aset berisiko.
Pun, gelombang pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral yang hampir terjadi di seluruh dunia, termasuk The Fed, telah mendukung emas hingga mendorong aset safe haven itu menyentuh level tertingginya di level US$1.566 per troy ounce pada tahun lalu.
Mengutip riset konsultan Metal Focus, permintaan global untuk emas pada 2019 naik ke level tertingginya dalam empat tahun. Dunia diprediksi telah mengonsumsi 4.370 ton emas pada tahun lalu, menjadi yang terbesar sejak 2015 dan naik sedikit dari konsumsi 2018 sebesar 4.364.
Sepanjang tahun berjalan 2020, sejumlah sentimen tampak masih berpihak terhadap emas. Diawali dengan ketegangan geopolitik di Timur Tengah hingga yang terbaru sentimen penyebaran virus corona telah meningkatkan kekhawatiran pasar terhadap potensi perlambatan ekonomi global.
Hal tersebut pun membuat emas menjadi satu-satunya komoditas yang berhasil membukukan kinerja tahun berjalan di zona hijau, yaitu naik sebesar 4,22 persen year to date (ytd).
Logam kuning tersebut juga berhasil membuat rekor baru pada tahun ini dengan menyentuh level US$1.613 per troy ounce, posisi tertinggi emas sejak enam tahun terakhir.
Mengutip riset terbaru World Gold Council, emas telah menjadi aset yang paling relevan di tengah kondisi pasar yang bergejolak saat ini.
Emas saat ini bukan hanya dipandang sebagai tempat lindung nilai oleh investor, tetapi tingkat return dari investasi emas sudah mulai diincar oleh para investor.
“Dalam dua dekade terakhir, return emas telah mengalahkan return aset investasi lain seperti US Stocks, dolar AS, dan obligasi AS,” tulis World Gold Council dalam risetnya bertajuk The Relevance of Gold as A Strategic Asset 2020, dikutip Minggu (16/2/2020).
Selain itu, banyak manajemen investasi yang mulai mendiversifikasi asetnya, menambahkan porsi emas sebagai instrumen pendulang keuntungannya.
Kini, emas pun tidak hanya mendapatkan keuntungan ketika pasar dalam tekanan saja. Logam mulia itu juga telah memberikan korelasi positif di saat saham dan aset berisiko lainnya tengah bergerak menguat.
Hal tersebut dikarenakan sifat emas sebagai barang mewah sehingga ketika investor semakin kaya dari imbal hasil yang didapatkan dari aset berisiko, permintaan emas pun tetap akan naik atas pembelian emas fisik mulai dari perhiasaan hingga emas batangan.
Sementara itu, menurut WGC setidaknya terdapat dua tantangan utama investor pada tahun ini, yaitu tingkat bunga yang rendah dan ketidakpastian ekonomi.
Rendahnya tingkat bunga acuan suatu negara sesungguhnya bisa mendorong investor untuk mengumpulkan aset berisiko, tetapi ketidakpastian di pasar keuangan seperti tensi geopolitik, serta hubungan dagang AS dan China masih menjadi penekan pertumbuhan ekonomi global.
Oleh karena itu, dengan relevansi dan sentimen yang beredar, WGC menilai prospek emas masih bullish pada tahun ini dengan didukung banyak katalis positif, yang mungkin kembali menjadi tahun terbaik bagi emas.
“Kami berharap bahwa banyak dinamika global yang diunggulkan selama beberapa tahun terakhir akan tetap mendukung emas pada 2020,” tulis World Gold Council.
WABAH CORONA
Mengutip riset Monex Investindo Futures, kekhawatiran pasar terhadap penyebaran virus corona yang belum tampak akan segera mereda masih akan menjadi penggerak pasar pada beberapa perdagangan ke depan sehingga semakin mendukung penguatan emas.
Selama para ilmuwan belum menemukan vaksin atas virus tersebut, pasar masih akan dibayangi kekhawatiran terhadap penyebaran yang lebih luas terhadap virus itu dan emas tetap menjadi jawara investasi.
Apalagi, jumlah korban jiwa telah mencapai lebih dari 1.000 orang, melebihi korban jiwa dari epidemi SARS pada 2002-2003 lalu. Sekitar 25 negara selain China pun telah mengkonfirmasi terjangkit virus tersebut.
Analis PT Monex Investindo Futures Andian mengatakan bahwa kekhawatiran pasar terhadap wabah virus corona diyakini masih akan menghambat perekonomian global. Hal itu memicu minat aset safe haven sehingga harga emas berpeluang naik meguji level resistan US$1.582 per troy ounce hingga US$1.586 per troy ounce.
“Sebaliknya, jika melemah emas akan menguji support US$1.562 per troy ounce hingga US $1.565 per troy ounce,” ujar Andia dalam publikasi risetnya, Minggu (16/2/2020).
Sementara itu, mengutip riset Valbury Asia Futures, harga emas terus menguji untuk naik ke level tertingginya. Pada pekan lalu pun, emas berhasil mengalami kenaikan mingguan terbesar dalam enam pekan terakhir yaitu naik 0,9 persen.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (14/2/2020), emas di pasar spot berada di level US$1.584,06 menguat 0,51 persen, sedangkan emas berjangka kontrak April 2020 di bursa Comex ditutup menguat 0,48 persen di level US$1.586,4 per troy ounce.
“Harga masih mencatatkan kenaikan karena investor bertaruh pada emas untuk melakukan hedge terhadap dampak ekonomi dari wabah virus corona. Saat ini level resistan emas di US$1.586,70 per troy ounce, sedangkan level support di US$1.575,45 per troy ounce,” tulis Valbury Asia Futures dalam publikasi risetnya, Minggu (16/2/2020).
Rata-rata Harga Emas Per tahun (US$/ per troy ounce)
Rata-rata Harga Emas 3 Bulan Terakhir
Sumber: World Bank, 2020
sumber artikel: bisnis.com