Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia, sebuah pemandangan tak biasa menghiasi langit di banyak tempat. Di bawah bendera Merah Putih yang sakral, berkibar selembar kain hitam bergambar tengkorak mengenakan topi jerami. Ini adalah “Jolly Roger”, bendera kelompok Bajak Laut Topi Jerami dari seri manga dan anime populer asal Jepang, One Piece.
Fenomena ini dengan cepat membelah opini publik. Di satu sisi, ia dianggap sebagai bentuk kreativitas dan ekspresi kritik yang cerdas. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa ini adalah tanda lunturnya penghormatan terhadap simbol negara. Untuk memahaminya, kita perlu menyelami dua dunia yang bertemu dalam fenomena ini: narasi resmi kebangsaan dan semangat perlawanan dalam sebuah cerita fiksi.
Sudut Pandang Pertama: Bendera Negara Bukan Lelucon
Bagi sebagian kalangan, terutama aparatur negara, pengibaran bendera selain Merah Putih dalam menyambut hari kemerdekaan adalah sebuah anomali yang mengkhawatirkan. Perspektif ini tidak lahir dari ruang hampa. Bendera Merah Putih bukan sekadar kain dua warna; ia adalah kristalisasi dari pengorbanan tak terhingga. Setiap helainya seolah ditenun dari tetesan darah para pahlawan dan air mata rakyat yang berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Dari sudut pandang ini, narasi yang dibangun adalah tentang penghormatan. Para pejabat di berbagai daerah mengimbau warga untuk fokus mengibarkan Merah Putih sebagai wujud cinta tanah air. Kekhawatiran mereka berdasar pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Peraturan ini secara spesifik mengatur tata cara penggunaan bendera negara untuk menjaga kehormatannya. Mengibarkan bendera lain—apapun itu—dianggap berpotensi mengalihkan fokus dan makna dari perayaan kemerdekaan itu sendiri.
Narasi ini semakin kuat ketika beberapa pihak melabeli fenomena ini sebagai upaya “memecah belah bangsa” atau tindakan “tidak menghormati”. Bagi mereka, kemerdekaan adalah momen sakral untuk bersatu di bawah satu simbol, yaitu Merah Putih, bukan memecahnya dengan simbol-simbol dari budaya pop asing. Intinya, bendera negara adalah warisan revolusi yang diraih dengan nyawa dan materi, sehingga menyejajarkannya dengan simbol fiksi dianggap sebagai sebuah degradasi nilai.
Sudut Pandang Kedua: Suara yang Tak Terdengar di Balik Simbol Fiksi
Di seberang spektrum, ada para pengibar bendera Jolly Roger. Bagi mereka, tindakan ini bukanlah bentuk pembangkangan terhadap negara, apalagi pelecehan terhadap Merah Putih. Justru sebaliknya, ini adalah ekspresi cinta pada Indonesia dengan cara yang berbeda.
Untuk memahami logika mereka, kita harus melihat makna Jolly Roger dalam konteks cerita One Piece. Dalam dunia rekaan Eiichiro Oda, kelompok Topi Jerami yang dipimpin Monkey D. Luffy bukanlah perompak jahat. Mereka adalah simbol perlawanan terhadap “Pemerintah Dunia”—sebuah entitas penguasa absolut yang korup, menutupi sejarah kelam, mempraktikkan diskriminasi, dan menindas rakyatnya demi status quo. Jolly Roger milik Luffy adalah lambang kebebasan, harapan, dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Para penggemar di Indonesia mengadopsi simbol ini sebagai metafora. Mereka merasa ada resonansi antara perjuangan Luffy dengan kondisi sosial yang mereka rasakan: ketimpangan ekonomi, keadilan yang terasa tumpul bagi yang lemah, dan suara rakyat yang seringkali diabaikan di tengah gemuruh narasi kemajuan. Mengibarkan Jolly Roger menjadi semacam “surat kaleng simbolik”, sebuah hidden transcript (naskah tersembunyi), di mana pesan kritik disampaikan secara halus dan hanya dipahami oleh mereka yang merasakan kegelisahan serupa.
Mereka pun berargumen bahwa tidak ada hukum yang dilanggar. Para pengibar bendera ini dengan sadar menempatkan Jolly Roger di bawah Merah Putih, tidak sejajar apalagi lebih tinggi. Ini adalah cara mereka menunjukkan bahwa loyalitas utama tetap pada Indonesia, namun di bawah naungan negara itu, ada aspirasi dan kritik yang ingin disampaikan. Mereka tidak sedang mengibarkan “bendera negara One Piece”, karena mereka tahu itu fiksi. Mereka menggunakan sebuah simbol universal dari cerita yang mereka sukai untuk menyuarakan harapan akan Indonesia yang lebih adil.
Kesimpulan Kami
Fenomena bendera Jolly Roger bukanlah sekadar tren sesaat. Ia adalah cerminan dari sebuah dialog yang kompleks antara negara dan warganya di era digital.
Di satu sisi, ada kekhawatiran yang sah tentang pentingnya menjaga marwah simbol negara yang telah diperjuangkan dengan sangat mahal, walau fakta bahwa menjaga marwah simbol tidak lebih penting dari menjaga implementasi nilai-nilai dan cita-cita yang diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan, termasuk kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang hampir tidak diberi ruang di era kolonial. Di sisi lain, ada sebuah generasi yang menemukan cara baru dan kreatif untuk menyuarakan aspirasi mereka, meminjam bahasa dari budaya pop yang mereka konsumsi sehari-hari.
Alih-alih langsung menghakimi sebagai tindakan patriotik atau tidak patriotik, fenomena ini membuka ruang pertanyaan yang lebih dalam: Sudahkah ruang-ruang aspirasi konvensional cukup untuk menampung suara semua warga? Bagaimana cara negara merespons kritik yang dibalut dalam simbolisme modern? Dan bagi kita semua, apa makna sejati dari merayakan kemerdekaan di tengah realitas sosial yang kita hadapi?
Pada akhirnya, bendera hitam bertengkorak itu mungkin hanyalah kain. Namun, harapan, kritik, dan perdebatan yang dikibarkannya bersama Merah Putih adalah nyata dan menjadi potret dinamika bangsa di usianya yang ke-80.